Sabtu, September 15, 2012

KELIRUMOLOGISME DAN KEKELIRUAN YANG BERDAMPAK POSITIF

Sufiks -isme berasal dari Yunani -ismos, Latin -ismus, Perancis Kuna -isme, dan Inggris -ism. Akhiran ini menandakan suatu faham atau ajaran atau kepercayaan. Beberapa agama yang bersumber kepada kepercayaan tertentu memiliki sufiks –isme (Wikipedia Bahasa Indonesia). Misalnya Buddhisme mereka yang beragama Buda, Taoisme dstnya. Ada juga Atheisme yaitu orang yang tidak percaya dengan keberadaan Tuhan dengan segala peran dalam kehidupan manusia dan alam semesta ini. Kelirumologisme? Apa pas ya disebut demikian kalau saya menulis tentang kelirumologi? Ah berlebihan ya? Tapi karena ini cenderung guyon yang mengarah ke ranah humor biarlah disebut kelirumologisme saja. (He he semoga tidak ada yang mengkritisi apalagi sampai didemontrasi bahkan disusupi provokator sehingga menimbulkan kerusuhan dimana-mana dengan mengorbankan harta bahkan….amit-amit nyawa!) Last but not least tulisan ini kan temanya kelirumologi, jadi kalau pun keliru eh malah kebetulan lagi. Kita lanjut, sufiks isme pada istilah kelirumologi disini jangan dipikirkan terlalu serius bahwa saya ini berpahaman keliru ha ha ha (biar tampang saya saja yang keliru). Ah sudahlah jangan serius-seriusan ah. Kita beringan-ringan saja. Seperti sudah saya tulis dalam catatan saya sebelumnya tentang Kelirumologi bahwa yang dimaksud Kelirumologi adalah istilah humoris untuk merujuk kepada beberapa kekeliruan logika dalam pembentukan frasa dan kata yang sudah terlalu sering dipakai pengguna Bahasa Indonesia sehingga dianggap benar. Hal ini berhubungan langsung dengan keliru. Dalam kenyataannya sehari-hari bukan sekedar istilah saja tapi dalam prilaku juga terjadi kekeliruan yang karena terbiasa dilakukan pada akhirnya mentradisi menjadi sesuatu prilaku yang dianggap “benar”. Konon pada zaman dahulu kala ada suatu paham yang beranggapan bahwa bumi ini datar. Pada sudut-sudut tertentu ada tiang-tiang yang menyangga lagit ini. Pada zaman itu kalau ada manusia yang beranggapan lain dari itu bisa dihukum berat bahkan dihukum mati! Namun seiring dengan meningkatnya pengetahuan manusia yang berimbas pada kemajuan teknologi akhirnya manusia mengetahui dan dapat membuktikan bahwa ternyata bumi ini bulat ! Beberapa tahun yang silam saya mempunya teman kerja sekantor (kini beliau sudah pindah kerja ke kantor lain di kabupaten lain dan kabar terakhir beliau sudah pensiun). Pada suatu hari beliau curhat ke saya, “Pak Agung, kemarin saya masuk-keluar toko sepanjang Jalan Sulawesi. Tapi, satu pun dari toko-toko itu tidak ada yang menjual kain blue jean putih! Yang terjadi malah penjaga tokonya bengong kayak kebo”. Saya tidak dapat menahan rasa geli saya yang mengaduk-aduk perut ini. Bagaimana tidak? Beliau menyampaikan masalahnya dengan begitu lugu apa adanya. “Ialah Pak Wayan, mana ada toko yang menjual blue jean putih? Sudah Blue (biru) eh pakai putih lagi. Temitis (reinkarnasi) lagi 100 kali pun Pak tidak akan ketemu! Tentu saja pedagangnya bengong seperti kebo. Rasanya kebo juga ga ngerti!” kata saya. Setelah saya jelaskan beliau akhirnya mengerti dan malah ikut tertawa geli! Beberapa penulis yang menulis tentang kelirumologi mengatakan bahwa kekeliruan manusia dalam berprilaku dan bertindak tidak selalu berdampak negatif. Bahkan beberapa diantaranya malah menguntungkan serta menjadi suatu rahmat! Disuatu Desa hiduplah seorang pemuda. Pemuda ini tidak perlu saya sebutkan namanya. Ia sudah bertahun-tahun menderita suatu penyakit. Berbagai upaya ia dan keluarganya lakukan untuk mengubati penyakit ini agar sembuh. Mulai dari dokter dari berbagai rumah sakit baik dalam negeri bahkan luar negeri. Namun tidak juga sembuh-sembuh. Bahkan kemudian juga berobat ke berbagai tabib, dukun, paranormal dan “orang pintar” lainnya, namun juga tidak sembuh-sembuh. Ia sudah putus asa, bahkan saking putus asanya suatu hari pada puncak perasaan prustasinya, ia meminum urinenya (urine=air kencing). Diluar dugaan ternyata beberapa hari kemudian penyakitnya pun sembuh total! Kisah nyata dari suatu tindakan dan prilaku yang dianggap keliru oleh sebagian masyarakat terutama dari kalangan intelektual dan yang berpikiran mengutamakan logika adalah kasus “Batu Sakti” nya Ponari asal Megaluh Jombang Jawa Timur ini. “Dukun Cilik” yang fenomenal dan menggemparkan Indonesia beberapa tahun silam itu dari sudut pandang tertentu dapat juga dimasukkan ke ranah kelirumologi. Suatu hari Ponori bermain hujan-hujanan di halaman terbuka. Tiba-tiba petir menyambar ke arahnya. Ponori merasakan kepalanya seperti terhantam benda keras berupa batu sebesar kepalan tangan. Disusul kemudian ia merasakan sekujur tubuhnya dijalari rasa panas. Sesaat kemudia ia melihat sebuah batu sebesar kepalan tangan berwarna merah. Batu itu ia pungut dan dibawanya ke rumah. Mbok Legi nenek Ponari membuang batu tersebut ke semak-semak jauh dari rumahnya. Tapi aneh, ketika si nenek kembali ke rumahnya ternyata batu tersebut sudah kembali ditempatnya semula. Suatu hari salah seorang tetangga Ponari menderita sakit panas disertai muntah-muntah. Ponari mendatangi tetangganya itu sambil membawa “Batu Sakti” nya. Ia celupkan batu itu kedalam gelas berisi air lalu air itu ia berikan kepada si sakit. Aneh bin ajaib, si tetangga pun segera sembuh setelah meminum air tsb. Kesembuhan tetangganya oleh batunya Ponari itu dengan cepat menyebar dari mulut ke mulut sampai jauh ke daerah lain. Apalagi berbagai media massa memberitakan kejadian ini, dalam waktu singkat Ponari pun menjadi terkenal keantero tanah air bahkan manca Negara sebagai Dukun Cilik. Banyaklah pasien yang sudah menderita penyakit tahunan dan berobat kemana-mana namun belum juga sembuh kemudian datang ke Ponari. Jadi, tidak hanya mereka yang berpendidikan dan berwawasan rendah saja yang menguinjungi Ponari, bahkan orang-orang yang bangga dengan logika dan akal sehatnya pun pada berduyun-duyun mendatangi Ponari agar disembuhkan. Terlepas dari sisi logika karena tulisan ini tidak mengupas logika dukun cilik Ponari dengan batu saktinya itu, tapi menyangkut dari sudut pandang beberapa orang bahwa prilaku keliru para pasien namun (katanya) berhasil sembuh berkat minum obat air dari “batu sakti” milik Ponari. Kalau pun itu prilaku keliru akibat sugesti, namun betapapun juga kekeliruan ini membawa berkah dengan kesembuhan dari suatu penyakit yang diderita bertahun-tahun. Ponari pun mendadak kaya raya. Bahkan para tetangganya manjadi “pebisnis” dadakan. Ada yang menjual berbagai makanan terutama air mineral. Membuka jasa parkir dsbnya. Wah banyak yang diuntungkan dari suatu tindakan yang dianggap keliru ini. Nah, bukankah ini yang dapat disibut dengan kekeliruan yang berdampak positif? Ada yang penyakitnya sembuh, ada yang kaya mendadak (Ponari dan keluarga) dan kecipratan rejeki (para tetangganya Ponari yang berjualan dan jadi tukang parkir dsbnya) Why not? Ah membahas kekeliruan atau sesuatu yang dianggap keliru dalam hidup ini tentu tak habis-habisnya bukan?

Rabu, September 12, 2012

KELIRUMOLOGI

Istilah kelirumologi dicetuskan oleh Jaya Suprana. Jaya Suprana adalah seorang yang multi talenta. Sebenarnya tanpa saya sadari, saya sudah menikmati kreativitas beliau sejak saya SD di tahun 70 an. Namun saya tidak tahu kalau beliaulah dibalik semua kreativitas yang saya nikmati itu. Waktu itu zamannya tentu belum secanggih sekarang yang mana dunia komunikasi dan informasinya sangat dahsyat! Pada masa itu hiburan sangat sedikit dan bentuknya terbatas. Denpasar watu itu masih seperti sebuah kota kecamatan. Makanya bila ada suatu hiburan pastilah bakal ramai disaksikan masyarakat. Yang lagi ngetop pada masa itu dari hiburan pertunjukan tradisional dapat dihitung dengan jari. Misalnya Drama Gong Abianbase Gianyar, Drama Gong Kacang Dawa dengan lakon spektakulernya “Sukrasena”, Drama Gong Puspa Anom Banyuning Singaraja yang terkenal dengan "Sam Pek Eng Tay" nya. Drama-drama Gong itu sering mentas di Wantilan Pemedilan Denpasar (sekarang pasar Pemedilan). Ada juga wayang kulit Ida bagus Buduk yang sering mentas dari Banjar ke Banjar sebagai pelengkap upacara Panca Yadnya seperti otonan, odalan dsbnya. Ada juga beberapa gedung bioskop di pusat kota Denpasar seperti Indra dan Wisnu di Jalan Gajahmada, Jaya di Jalan Kartini (Wisata dan Kumbasari belum ada). Bioskop-bioskop itu khusus memutar film. Film yang terkenal produksi Hollywood (Amerika), Bollywood (India), Tankywood (Indonesia), dan Mandarin/Hongkong. Itu yang mendominasi pertunjukan bioskop kala itu. Namun khusus untuk pertunjukan film pada masa itu termasuk konsumsi kalangan menengah keatas (kalaupun saya dapat menonton itu pun karena nyerobot film untuk keluarga ABRI yang dilaksanakan tiap hari Jumat). Ya hanya itu sajalah hiburan yang ada. Di kalangan masyarakat kelas bawah seperti saya ini ya paling mampu menonton pertujukan gratis semisal Wayang Kulit atau belakangan muncul film misbar alias kalau gerimis atau hujan pastilah bubar! Yang notabene semuanya gratis! Film misbar biasanya di putar di lapangan terbuka yang saat itu masih ada seperti lapangan (khususnya di Desa Saya Pemecutan Kaja Denpasar Utara misalnya Lapangan SD Percobaan Tulang Ampiang Sekarang SMP 5 Denpasar?), Lapangan Paldam (sekarang tempat pameran musiman), yang lebih jauh seperti lapangan Lila Buana, Lapangan Pekambingan (sekarang sudah menjadi komplek pertokoan). Belakangan baik Gedung Lila Buana maupun Wantilan Pemedilan juga dipakai pemutaran dan pertunjukan film. Hanya saja tentu saja gedung kelas 3 (Film-film baru biasanya di putar di gedung-gedung utama seperti Wisata Theater, Denpasar Theater dan Kumbasari Theater. Gedung-gedung kelas 2 nya Indra, Wisnu dan Jaya Theater) film-film yang sudah lama dan kedaluarsa baru diputar di lapangan Misbar. Sedangkan untuk hiburan rumahan pada saat itu adanya hanya radio saja. Radio yang memutar lagu-lagu yang saat kini dikenal dengan lagu-lagu nostalgia dan legend. Misalnya dari dalam negeri seperti Koes Plus, Panbers, The Mercy, The God Bless, The Llyod dsbnya. Dari luar negeri The Beatles, The Rolling Stones, Led Zepplin, Deep Purple, Abba, dsbnya. Sedangkan Televisi muncul di Bali sekitar tahun 1975 an. Keluarga saya sendiri baru punya TV tahun 1978 tepat saat perhelatan Piala Dunia 1978 di Argentina dimana saat itu tuan rumah menjadi Juara Dunia dengan bintangnya yang terkenal Mario Kempes. Kalau bacaan yang lagi digandrungi saat itu adalah komik seperti Kho Ping Hoo, komik bergambar karya Ganesh TH dengan Si Buta Dari Gua Hantunya, Jan Mintaraga, Teguh Santosa, Absony dll. Majalah yang ngetop seperti Aktuil dsbnya. Game Elektronik dan Game Online? Kebayang saja tidak. Kebanyakan kita mainnya di alam seperti main layangan, main kelereng, main dan mancing di sungai, sepak bola dan permainan tradisional lainnya. Kembali ke tema kita tentang kelirumologi dan pencetusnya yakni Bapak Jaya Suprana. Ya saya telah paparkan sedikit kondisi Denpasar Kota Kelahiran saya dengan situasi dan kondisinya era 70 an. Mengapa saya paparkan Denpasar era itu dan kaitannya dengan Bapak Jaya Suprana? Pada saat itu saat dimana kami sangat minim hiburan, beliau dengan perusahaan Jamu Cap Jago Semarangnya sudah merambah sampai ke pelosok-pelosok Desa antero Indonesia termasuk Bali tentunya (Waw, saya juga keliru nulis nih. Yang benar Djamu Tjap Djago,tapi karena tulisan ini tentang kelirumologi ya biar aja nulisnya keliru. Biar mantap! ). Ini bukan masalah Jamu Jagonya yang sangat terkenal waktu itu. Tapi saya menikmati kreativitas beliau waktu itu tanpa saya sadari. Saya tidak sadar karena waktu saya SD saat itu saya tidak tahu kalau Jamu jago serta segala inovasi dan kreasi beliau via Jamu Jago tidak saya ketahui. Yang saya tahu ya menikmati kreasi beliau itu. Dengan mobil box yang bersosok unik dengan hiasan dekorasi kotak-kotak dengan berbagai warna-warni. Bila mobil ini datang dan parkir di Pusat Desa (biasanya diperempatan jalan), maka masyarakat berduyun-duyun mendatanginya. Ini bukan mereka memburu produk jamunya (maaf Pak Jaya Suprana) tapi menunggu hiburan yang akan dipertunjukkan sebagai selingan dan pemancing datangnya konsumen. Setelah dengan pengeras suara menjajakan produknya dan (mungkin) beberapa saset jamunya laku, maka akan dilanjutkan serta diselingi oleh pertunjukkan hiburan yang notabene adalah kreasinya Bapak Jaya Suprana sang pemilik perusahan Jamu Jago. Yang paling saya suka adalah beberapa orang kate yang menari-nari mengikuti irama musik. Mereka menari-nari diatas mobil bok dengan lucunya. Sekali lagi tanpa saya sadari, saya sudah menikmati kreasi beliau semenjak saya SD (saya lupa entah kelas berapa saya saat itu. Rasanya sekitar kelas 4 lah). Belakangan setelah saya duduk dibangku sekolah menengah atas di era 80 an, kembali saya menikmati kreativitas beliau. Hanya saja kali ini dalam bentuk tulisan di koran yang disebut kolom. Awalnya saya kira ini hanya tulisan bersifat guyonan saja. Tapi logika saya jalan, masa sih kalau tulisan guyonan harian Kompas yang terkenal itu mau memuatnya? Namun setelah saya baca, saya malah jadi ketagihan. Ya karena tulisan ini ringan, gampang dicernak otak saya yang tidak cerdas dan berkesan main-main diselipi banyak selorohan. Tapi setelah saya baca ternyata isinya bukanlah hal yang boleh dibilang sepele. Nampaknya sepele tapi sebenarnya serius dan sangat menyentil kebiasaan dalam kehidupan kita dalam bermasyarakat. Beliau menyebutnya kelirumologi. Nah dari istilahnya saja sepertinya main-main dan rada guyon. Mana ada kelirumologi? Apa itu kelirumolog?. Sudah keliru pakai logi lagi. Yang umum yang pernah saya dengar dan baca ya misalnya psycologi, anthropologi, geologi dllnya. Kelirumologi? He he kok seperti guyonan? Apalagi setelah belakangan saya lebih mengetahui mengenai sosok atau profil beliau lewat media massa, saya semakin geli saja. Image saya tentang beliau adalah sosok yang sangat lucu. Ya lucu pisiknya, lucu ide-idenya, lucu krativitas dan inovasinya. Misalnya beliau adalah seorang kartunis yang tidak jauh-jauh amat dengan dunia perlucuan. Beliau seorang pengusaha, pelukis (pelukis kartun), humoris, pianis, penulis, pernah juga saya saksikan beliau sebagai presenter atau host sebuah acara talk show di salah satu stasiun televisi nasional, pencetus Musium Record Indonesia (MURI), mengadakan berbagai perlombaan yang unik-unik dan aneh serta menggelikan seperti Lomba Diam, Lomba bersiul, dan entah apalagi karena banyaknya kegiatan beliau yang unik-unik seunik sosok penampilan dan mimik beliau (Ah kalau saja ada orang yang mengadakan lomba....maaf kentut, saya ingin ikut). Beliau banyak mengorbitkan orang-orang yang bentuk fisiknya aneh. Misalnya orang dengan tubuh tertinggi di Indonesia, orang bertubuh terkecil di Indonesia. Bahkan orang-orang bertubuh pendek sudah sejak lama beliau lakukan sewaktu saya masih SD dan seperti saya ceritakan dalam awal tulisan ini. Yaitu sekelompok orang kate yang dijadikan penghibur dalam mobil box Jamu Jagonya (belakangan saya pernah dengar selentingan kalau beliau ini masih bersaudara dengan pemilik Jogger Pabrik kata-kata di Kuta. Rasanya cocok juga karena bukankah boss Jogger ini juga punya produk dengan ide yang aneh-aneh, unik, juga lucu? Coba aja pabrik kata-kata?). Meski beliau tidak kenal saya dan tidak tahu siapa saya (padahal beliau dan saya sama-sama lahir di Denpasar). Namun bila saya kaitkan dengan beliau, saya sangat terinspirasi dengan beliau. Dan ini semenjak kecil. Belakangan juga saya mendapat motivasi dari beliau saat saya membaca disebuah media kalau tulisan-tulisan beliau yang dulunya berbentuk kolom yang dimuat di Koran Kompas diterbitkan dalam bentuk buku bertajuk KALEIDOSKOPI KELIRUMOLOGI. Saya pun menikmati tulisan-tulisan beliau tentang kelirumologi itu. Kemudian dalam salah satu seri buku kelirumologinya beliau mengundang penulis tamu untuk ikut mengisi dan mengirimkan sebuah tulisan. Tulisan yang lolos seleksi akan dimuat dalam buku beliau. Dan saya pun mencoba menulis kemudian mengirimkan kepada beliau. Saya lupa tahunnya, sekitar tahun 1999 lah. Dan....ternyata tulisan saya dimuat! Disusul kemudian sebulannya saya diberikan sertifikat dengan tanda tangan beliau (sayang sertifikat tersebut kini telah hilang!). Inilah dia, saya boleh dibilang “berjodoh” dengan beliau. Betapa tidak? Semenjak saya menyaksikan hasil kreasi beliau sewaktu saya SD di era 70 an, kemudian era 80 an saat saya SMA sangat menggemari tulisan kolom beliau di harian Kompas dan juga beberapa kartun beliau. Saya pun sebenarnya seorang kartunis dan beberapa kali kartun saya dimuat di harian lokal di Denpasar ini. Hanya saja saya tidak meneruskan bakat dan hobby saya membuat kartun ini. Tentang kelirumologi. Terus terang saya sudah lupa apa sih deskripsi atau difinisi kelirumologi itu? Maklumlah sudah puluhan tahun yang silam saya membacanya. Lagian saya tidak sempat mengklipingnya serta tidak mengoleksi buku Kaleidoskopi Kelirumologinya. Namun untunglah saya ini kini hidup di zaman IT yang serba canggih dimana sekali klik sudah dapat informasi yang kita inginkan. Kebetulan laptop yang saya pakai mengetik tulisan ini juga berhubungan dengan Internet. Jadi, lewat Mbah Google saya telusuri saja tentang kelirumologinya Bapak Jaya Suprana. Nah ini diantarnya saya peroleh dari Wikipedia berbahasa Indonesia mengenai apakah itu Kelirumologi? Sebelumnya terima kasih kepada web Wikipedia Indonesia. Kelirumologi adalah istilah humoris untuk merujuk kepada beberapa kekeliruan logika dalam pembentukan frasa dan kata yang sudah terlalu sering dipakai pengguna Bahasa Indonesia sehingga dianggap benar. Hal ini berhubungan langsung dengan keliru. Jika diurai, 'kelirumologi' berasal dari kata 'keliru' yang artinya 'salah', dan 'logi (logos)' yang artinya 'ilmu'. Dua kata tersebut jika hendak digabungkan, maka seharusnya berbunyi kelirulogi, bukan 'kelirumologi'. Akan tetapi Jaya Suprana sengaja menggunakan kata yang 'salah' tersebut untuk sekadar menjelaskan, bahwa istilah baru yang diciptakannya memang untuk mengajak kita semua menjadi peka terhadap kesalahkaprahan. Masih berkaitan dengan uraian di Wikipedia, Beberapa pihak sangat diuntungkan oleh kelirumologi. Terutama produk-produk yang popularitasnya meningkat setelah kekeliruan ini terjadi dan masyarakat menjadikannya sebagai identitas suatu produk atau jasa dibanding mengingatnya sebagai merk. Misalnya produk Aqua atau Pentium. Secara positif, kelirumologi penyebutan merk adalah keberhasilan upaya marketing yang salah satu tujuannya memengaruhi perilaku masyarakat terhadap kesenangan suatu produk. Dan yang ini mengenai pencetusnya, Kelirumologi pertama dicetuskan oleh Jaya Suprana, pengusaha jamu asal Kota Semarang yang juga pendiri Museum Rekor Indonesia. Sebagai pemikir, Jaya kerapkali memperdalam berbagai literatur baik dari buku maupun media lainnya untuk mempelajari kekeliruan yang terlanjur dianggap benar di tengah masyarakat. Dari hasil olah pikirnya itu, Jaya menerbitkan buku berjudul Kaleidoskopi Kelirumologi. Buku tersebut mengajak pembaca agar lebih kritis terhadap semua hal yang dianggap benar padahal sebenarnya salah. Jadi, kelirumologi adalah ilmu yang mempelajari tentang kekeliruan menyebutkan suatu kata atau kalimat yang sudah dianggap benar di tengah masyarakat. Karena gagasannya, tokoh dengan segudang julukan ini (antara lain: pianis, kartunis, seminaris, humorolog, jamulog, kelirumolog), Jaya Suprana dikenal sebagai Bapak Kelirumologi. Dulu, secara berkala, Jaya Suprana juga menuliskan artikel-artikel tentang kelirumologi di majalah bulanan Indonesia Intisari, setiap artikel membahas sebuah istilah yang salah kaprah. Nah demikianlah tentang kelirumologi serta pencetusnya. Meski terkesan ide serta tema tulisan beliau itu guyon, namun kalau direnungkan bukan lagi sekedar guyon nyerempet humor tapi sebenarnya menyentil cara pikir dan berprilaku kita dalam masyarakat menyikapi dan berkaitan dengan tatanan kehidupan yang berlaku di masyarakat, bangsa dan negara. Salah satu contohnya dalam kehidupan keseharian, saya ambil saja perilaku kita berlalu lintas di jalan raya. Misalnya saat kita melewati sebuah Traffic Light (Lampu pengatur lalu lintas). Warna yang paling umum digunakan untuk lampu lalu lintas adalah merah, kuning, dan hijau. Merah menandakan berhenti atau sebuah tanda bahaya, kuning menandakan hati-hati, dan hijau menandakan boleh memulai berjalan dengan hati-hati. Namun dalam prakteknya kenyataannya tidaklah demikian. Saat saya melaju melewati traffic light ini, sebenarnya saya sadar dan masih ingat dengan peraturannya dan ingin taat dengan peraturan tentang lampu rambu lalulintas ini. Misalnya lampu kuning mengisyaratkan hati-hati dan mengurangi kecepatan untuk siap-siap berhenti karena warna berikutnya adalah menyalanya lampu merah tanda berheti. Tapi dalam kenyataannya justru lampu kuning malah kebanyakan para pengguna lalu lintas justru menancapkan gas kendaraannya kencang-kencang. Ya termasuk saya juga. Soalnya kalau saya pelan-pelan, wah malah saya bisa “disikat” dari belakang oleh pengendara lainnya. Ya terpaksalah ikut tancap gas cari selamat! Nah lama-kelamaan akan terjadi kekeliruan pemahaman bahwa LAMPU KUNING PADA TRAFFIC LIGHT ADALAH UNTUK TANCAP GAS kendaraannya. Nah inilah yang dimaksud keliru dalam berprilaku atau berlalu lintas dalam hal ini. Hal-hal yang seperti inilah yang dibahas dalam kelirumologi dalam bentuk tulisan selama dan sementara ini. Kasus Traffic Light hanyalah salah satu contoh kecil saja. Kekeliruan yang sering dilakukan yang pada akhirnya kekeliruan ini mentradisi kemudian dianggap benar! Masih banyak lagi prilaku keliru dari kita keseharian yang tentunya tidak akan habis-habisnya kalau dibahas dalam tulisan atau pun seminar dsbnya. Sekarang kita sedikit paham mengenai apakah KELIRUMOLOGI itu.

Jumat, Agustus 24, 2012

KRAMA BALI SENGANCAN INOVATIF INDIK MEADOLAN SARANA UPAKARA AGAMA HINDU

Catatan: NIKI TULISAN KANGIN-KAUH UTAWI "RAOS KUTANG-KUTANG" Mangkin krama Bali sampun sengancan kreatif dan inovatif dalam hal indik meadolan. Mangkin irage sekancan gampang metumbasan bahan-bahan anggen upakara Agama Hindu. Yening dumun dua utawi tigang warsa sane kelintang irage sade sukeh lan rumit ngerereh bahan-bahan anggen kelengakapan upakare puniki. Yening mangkin rasane jeg serba gampang karena inovatif krame Baline meadolan. Ipun semakin terasah naluri bisnisnya tahu akan kebutuhan krama Bali menyangkut bahan-bahan upekara puniki. Sekadi hukum pasare ada permintaan ada penawaran. Bahkan akeh sampun sane ngelaksanayang “jemput bola” pelaksana ipun indik meadolan puniki. Sebenernya titiang dumun sekitar dua puluhan tahun yang lalu sampun punya pemikiran sekadi sane sampun kelaksanayang oleh pedagang krama Bali puniki. Nenten je titiang medewek ririh utawi sok pintar. Nanging punapi kaden sane ngeranayang lamunan titiang aneh-aneh kemanten. Waktu nike tiang berpikir mengapa ya orang-orang Bali cq para pedagang dalam soal cara berdagang dan menawarkan barang dagangannya tidak dan kurang proaktif mendatangi para pembelinya? Tapi mereka malas-malasan serta pasif dan hanya menunggu datangnya pembeli? Mengapa ya umpamanya pada saat-saat seperti menjelang Galungan dan Kuningan serta hari-hari suci yang sarat dengan kegiatan ritual justru para pedagang ini tidak mengejar-ngejar pembelinya sampai ke rumah-rumah misalnya. Misalnya datang saja ke sebuah kompleks perumahan dimana dalam kompleks perumahan ini masyarakatnya identik dengan orang-orang Bali yang sibuk dan tidak punya waktu untuk membuat kelengkapan sarana upakara agama Hindu karena bekerja di Hotel, perusahaan swasta yang mana waktu mereka untuk menyiapkan sarana upakara ritual Agama Hindu Bali sangat terbatas? Misalnya menawarkan Penjor yang jadi maupun setengah jadi. Bila perlu mungkin disertai dengan servis ataupun jasa memasang penjor. Demikian juga menawarkan kebutuhan-kebutuhan lainnya seperti menjual "canang", "segehan" dll. Sebab dimana ada hal-hal yang bersifat kepepet dan mendesak disanalah peluag bisnis itu timbul dan asumsinya pastilah laku dan laris. Nah "Krama Bali" mestinya peka dan tajam penciumannya soal ini. Itu pemikiran tiang beberapa puluh tahun yang lalu. Tapi kini semua itu sudah jadi kenyataan. Tiang sangat gembira sekali dan setuju banget. Tentu dalam segala hal akan timbul pro dan kontra. Ada yang berpikiran bahwa apa yang tiang pikirkan itu adalah bentuk suatu kemalasan dsbnya. Namun yang setuju tentu juga punya alasan tersendiri misalnya praktis dsbnya. Namun apapun itu hanyalah soal berbeda cara berpikir. Dan pada masa kini perbedaan pola pikir itu adalah bagian dari demokrasi bukan? Terlepas dari masalah pro dan kontra namun ini sejalan dengan waktu akhirnya krama kita juga akan melakukannya. Bahkan krama yang dulu dan awalnya paling vocalpun pada akhirnya bahkan larut dan ikut juga melakukannya. Sekali lagi ini hanyalah soal waktu apalagi kata orang-orang pintar bahwa perubahan itu adalah kekal. Contoh gampang seperti yang pernah tiang alami. Sekitar dua puluh tahun yang lalu pada saat tiang "ngayah" di tempat salah satu keluarga tiang yang meninggal dunia. Pada saat itu tiang "ngayah" dan membantu ikut menempel dan menghias "wadah"Saat itu tiang keceplosan bilang pada mindon tiang sane sareng ajak "ngayah" dengan nada guyon, “Bagaimana ya kalau wadah ini dikasi roda di tiap sudutnya lalu kita dorong kan praktis dan tidak memberatkan warga banjar yang memanggulnya?” demikian tiang guyon. Tiba-tiba salah satu “nak lingsir” yang ikut mengarsiteki "wadah" itu mendamprat tiang dengan emosi, “Sekalian aja kamu pakai ambulan ke keburan kan lebih praktis !” katanya dengan logat yang tajam mengecam tiang. Sebagai generasi muda, tentu tiang ga berani nanggapi dan rasanya “tulah” dan murtad melakukannya. Tiang pun diam saja. Tapi kini, sekitar dua dasa warsa ucapan tiang itu, beberapa krama Bali terutama sekali di Kota Denpasar sudah tidak tabu lagi kalau ke setra “wadahnya” menggunakan roda dan di dorong oleh "krama banjarnya"! Kembali ke konteks inovasi Krama Bali dalam soal meadolan sarana “upakara” Agama Hindu di Bali. Ke depan rasanya tentu perlu lebih ditingkatkan lagi. Karena disatu sisi bagi Krama Bali yang sibuk dikarenakan tugas dan profesinya semisal bekerja di Hotel, perusahaan swasta dsbya dimana sangatlah menyita waktu dan ketat dengan izin atau liburan sehingga tentu juga sangat berpengaruh dengan aktivitasnya dalam membuat dan menyiapkan bahan-bahan atau sarana upakara ini sehingga salah satu alternatifnya tentu saja membeli. Bagi mereka ini, tidak usalah tabu untuk membeli. Apakah membeli "sanggah cucuk", bahan "penjor", "klangsah" dsbnya. Mengapa kita mesti memaksa-maksain diri untuk “mengulat klakat” misalnya padahal kita ga ahli soal yang begituan? Biar saja Krama Bali kita yang dapat waktu dan ahli membuat itu kemudian dengan keahliannya itu lalu kita nilai dengan uang? Seperti kata seorang pejabat tinggi, "Serahkan saja pada ahlinya !". Dengan demikian maka roda perekonomian Krama Bali akan hidup dan berputar! yang ahli dalam soal membuat kelengkapan “upakara Panca Yadnya” ini menjual hasil buah keahliannya itu, sedangkan para pekerja Hotel dan swasta dsbnya tsb dengan penghasilannya dari profesinya sebagai karyawan kemudian membeli buah tangan dari krama Bali yang trampil dengan keahlian membuat bahan atau kelengkapan “Upakara Panca Yadnya” ini. Ah tulisan tiang yang mutunya amburadul ini hanyalah contoh kecil saja dari beberapa persoalan yang sering menimbulkan pro kontra di masyarakat terutama di pedesaan dimana sifat gotong royong dan kekerabatan masih kental. Tentu sekali lagi ada yang setuju dan yang tidak setuju, namun pada akhirnya waktulah yang menjadi penentu. Apakah kita “Krama Bali” yang dalam hal mempersiapkan upakara keagamaan serta adat istiadat ini masih kukuh mempertahankan cara-cara lama (dresta kuna) yang tertradisikan turun-temurun dengan argumentasi “mule keto” dan takut melakukan perubahan. Atau "Krama Bali" yang karena kondisi serta profesinya untuk mencari sesuap nasi di perkotaan sehingga kurang waktu untuk mempertahankan tradisi lama yang memerlukan banyak waktu untuk melaksanakannya. Jika dikarenakan alasan adat serta awig-awig yang berlaku di Desa dan lingkungannya kemudian mereka dipaksa melakukan sesuatu yang bukan keahliannya dan karena “pemaksaan” oleh aturan tsb pada akhirnya mereka harus melepaskan dan meninggalkan profesinya, bukankah kondisi ini akan semakin membuat krama kita itu hidupnya secara ekonomi akan murat-marit? Kemudian pekerjaan yang mereka tinggalkan itu diambil orang dari luar Bali yang mana mereka tentunya tidak akan mengembangkan tradisi Bali meski mereka bekerja di Bali dan ini adalah pengorbanan besar yang akan sangat merugikan Bali (kini bahkan orang “Jawa” bahkan sudah bisa membuat “canang” dan menjualnya). Dan jujur saja, segala pembiayaan untuk berbagai upakara keagamaan kita di Bali dan di Denpasar utamanya, hasil pengamatan tiang secara langsung adalah: 90 % krama Bali masih mengandalkan warisan leluhurnya untuk membiayai semua upacara Panca Yadnyanya. Hanya segelintir saja yang menggunakan "dakin lima" untuk membiayai upacara Panca Yadnya tsb. Tidaklah kemudian heran kalau ada perumpamaan yang sarat guyon bahwa: "Orang Bali jual tanah beli bakso, Orang Jawa jual bakso beli tanah". Maaf yang dimaksud "Jawa" disini bukanlah ditujukan untuk etnis Jawa saja. Karena konotasi "Jawa" disini artinya Jauh (sebutan untuk para pendatang dari luar Bali). Kemudian akan timbul lagi keluhan krama Bali bahwa “orang luar Bali” mengambil lahan pekerjaan krama Bali. Demikian seterusnya, apa itu yang kita inginkan terjadi? Sedangkan untuk melaksanakan upakara keagaam di Bali ini bukankah kita memerlukan biaya yang tidak sedikit? Tiang akan ceritakan tentang suatu katakanlah ini suatu kasus. Begini, salah seorang krabat dekat tiang pernah menampung anak desa di rumahnya. Anak Desa ini drop out SD kelas 5 karena sudah tidak mampu membiayai pendidikannya dikarenakan ayahnya meninggal. Sedangkan ibunya hanyalah seorang ibu rumah tangga yang tidak punya pekerjaan. Sejatinyalah ia orang miskin. Nah di Denpasar ini si anak yang diajaknya untuk membantu dirumahnya itu oleh krabat tiang ini punya hati mulia untuk menyekolahkan lagi si anak Desa ini. Singkat cerita, si anak pun dapat menyelesaikan pendidikan SDnya dengan baik. Saat krabat tiang ini berniat untuk menanggung si anak Desa ini ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi yakni SMP, tiba-tiba dating utusan dari Desa asal anak ini. Si anak ini diminta kembali ke Desanya untuk “Ngayah Desa”. Hal ini dikarenakan ia tidak punya ayah maka sebagai anak tunggal dan laki-laki pula maka menurut “awig-awig” Desanya ialah yang bertugas menggantikan ayahnya untuk “ngayah” di Desanya. Si anak Desa pun kembali ke Desanya. Maka gagalah usaha krabat tiang yang berhati mulya itu untuk menjadikan si anak Desa ini orang yang memiliki masa depan yang lebih baik dari pada nasib orang tuanya di Desa. Dan di Desanya pun ia “lepug” ngayah Desa. Bila ada suatu kegiatan adat, kegiatan ritual keagamaan (“Panca Yadnya”)di Desa tsb, maka ia pun “ngayah” dan juga kena “ayah-ayahan” seperti beberapa butir kepala, beberapa lembar klangsah dsbya. Sedangkan untuk bahan “ayah-ayahan” itu ia memerlukan uang untuk membelinya. Tentu beda dengan krama desanya yang lain dikarenakan masih punya tegalan dengan segala berbagai jenis tetanaman yang bisa dipetik semisal kelapa dsbnya. Sedangkan si anak Desa ini? Ia betul-betul miskin dan hanya punya “tegak umah” kurang dari setengah are. Nah, disatu sisi dibebankan dengan berbagai tugas kegiatan di Desa sebagai pengganti orang tuanya dan juga “ayah-ayahan” Desa dalam bentuk mentahan seperti beberapa butir kelapa dsbnya itu. Ya kalau hanya sekali dua kali, tapi kegiatan upacara adat di Desanya intensitasnya terbilang padat dan sering sehingga tentu secara ekonomi sangatlah memberatkannya. Disisi lain ia tidak memeiliki pekerjaan dan juga pemasukan serta masa-masa mudanya dimana saat-saat masa menuntut ilmu terbuang dan tidak adanya kesempatan dikarenakan oleh peraturan di Desanya yang tidak memberikan toleransi untuk itu. Tentu juga sangat mempengaruhi masa depan anak ini. Maka, ia akan mengulangi lagi nasib sang ayah almarhum. Tidakkah ada kesempatan si anak Desa ini merubah nasibnya? Kapankah lingkaran setan ini dapat diputus? Jika tidak, kelak keturunan si Anak Desa ini juga akan mengulanginya lagi? Lalu, apakah generasi “Krama Bali” terutama oleh situasi peraturan Desanya akan seperti ini turun temurun? Suka tidak suka, masih ada Desa di beberapa pelosok Bali yang menerapkan aturan adatnya ketat seperti di Desa anak ini. Nah, ini hanyalah salah satu contoh kasus dimana jika kita kurang bijaksana dan mengabaikan sisi humanisme maka pada masa yang akan datang kita “Krama Bali” juga akan terkendala dengan persoalan-persoalan seperti ini. Sekali lagi, tulisan ini hanyalah “raos kutang-kutang” namun siapa tahu juga dapat menginspirasi terutama krama Bali yang hidup dan berhadapan dengan kondisi, situasi kekinian. Bukankah Agama Hindu kita tercinta menyuratkan serta menyiratkan tentang Desa, Kala, Patra? Apa itu artinya. Tiang pernah dengar "pekrimik" beberapa “Krama Bali” bahwa kita terutama di pedesaan lebih takut pada adat yang notabene buatan manusia dibandingkan Agama yang notabene wahyu Ide Betare. Sekali lagi tulisan ini hanyalah “raos kutang-kutang”, Jika tidak berkenaan mohon dimaafkan dan jangan diingat dan anggap tidak pernah ada dan membacanya. Namun siapa tahu tulisan ini menginspirasi bagi Anda dari kalangan kawula muda utamanya yang kelak akan menerima tongkat estafet sebagai penerus tradisi leluhur kita di Bali.
Keterangan Foto : Krama Bali semakin kreatif dan inovatif dalam berjualan alat-alat dan bahan upakara Agama Hindu. Misalnya menjelang Galungan dan Kuningan 29 Agustus 2012 ini. Mereka jemput bola dengan menjajakan barang dagangannya diatas mobil mendatangi rumah warga/konsumen.

Rabu, Mei 16, 2012

KEKUASAAN CENDERUNG SEWENANG-WENANG DAN KORUP !

Manusia adalah makhluk paling cerdas yang diciptakan Tuhan. Manusia adalah makhluk beradab. Sebagai makhluk yang memiliki akal budi yang kemudian membuatnya jadi beradab. Dari sebab ini kemudian melahirkan budaya yang salah satu outputnya adalah adat. Yang mana adat istiadat mempunyai tujuan mulia dan memuliakan manusia serta sebagai wahana salah satu fungsi sosialnya untuk mencapai kesejahteraan lahir dan batin. Namun seperti dalam wacana kearifan lokal menyebutkan bahwasanya sifat-sifat dalam kehidupan ini bagaikan mata uang yang memiliki dua sisi yakni sisi baik serta sisi buruk atau rwa bineda gebitulah istilahnya. Sisi baiknya seperti sudah disinggung diatas dalam tulisan ini adalah untuk mencapai kebahagian lahir dan batin. Namun disisi lain tak jarang bahkan sering dipakai untuk tujuan-tujuan yang tidak baik. Di Bali dimana masyarakatnya sarat dengan kegiatan-kegiatan adat yang notabene sebagai wahana pengejawantahan ajaran Agama Hindu kemudian oleh segelintir oknum yang picik, Adat sering dimanfaatkan atau ditunggangi oleh rasa egoisme oknum picik tersebut untuk menekan sesamanya bahkan saudaranya! Tentu si oknum yang merasa dirinya lebih superior baik secara material dan sosial terhadap pihak yang inferior. Tidak sedikit yang inferior ini kemudian termarginalkan dalam masyarakat dan lingkungannya! Sudah saatnya kini adat ditempatkan pada tujuannya yang benar sesuai niat mulia leluhur kita membuatnya, sehingga adat-istiadat membuat semua umat kita merasa nyaman melaksanakannya. Bukannya beban dan juga bukan karena tekanan oleh wawasan picik segelintir oknum yang terlibat dan melibatkan diri di dalamnya. Sehingga dengan demikian, umat kita kemudian mencari jalan lain yang berbeda dari tradisi kebiasaan dilingkungannya sebagai jalan pintas untuk mengatasi persoalan yang tidak mampu diatasinya dan tiadanya solusi dari masalah yang dihadapinya. Itu masih mending, tidak sedikit kemudian muncul pikiran keluar dari komunitasnya yang sudah terwariskan secara turun-temurun sejak leluhurnya. Dan kini oleh tekanan oknum-oknum picik itu membuat mereka berniat PINDAH AGAMA! Yadnya yang baik mulai dilaksanakan dari pikiran yang baik dan bertujuan mulia. Kemudian dilaksanakan oleh yang memiliki rasa Bhakti dan rasa mengabdi yang tulus ikhlas. Akan semakin manjadi baik bila para penentu di dalam pelaksanaan Yadnya ini memiliki wawasan keagamaan dan landasan sastra agama sehingga memiliki dasar yang baik dan kuat dalam pelaksanaan Yadnya. Jangan dimulai dari pikiran-pikiran yang dikuasai rajasik dan tamasik! Suryak Siu serta pikiran-pikiran yang jauh sekali dari pikiran suci, tulus ikhlas, damai untuk suatu kemuliaan dan kebahagiaan lahir batin bersama-sama. Dengan demikian semoga Yadnya yang dilakdanakan dapat diterima oleh Tuhan ! Kata-kata dalam wacana bijak: PEMILIK KEKUASAAN CENDERUNG SEWENANG-WENANG DAN KORUP ! Tak terkecuali dalam masyarakat kita di Bali ! YA TUHAN, SEMOGA PIKIRAN YANG BAIK DATANG DARI SEGALA PENJURU !

Sabtu, Oktober 15, 2011

TERINSPIRASI DAN TERMOTIVASI OLEH ORANG-ORANG YANG BERHATI MULIA


Hati saya selalu tergetar kalau melihat orang-orang yang berhati mulia dan berjiwa sosial. Lebih-lebih kalau mereka berprofesi pendidik dan berkecimpung dalam dunia pendidikan. Kemarin malam Sabtu 15 Oktober 2011, hati saya juga tergetar dalam tayangan Kick Andy di Metro TV tentang seorang wanita muda bernama Sinta Ridwan (kalau ga salah begitu namanya). Seorang penderita Lupus yang menurut dokter hidupnya hanya tingal 10 tahun kedepan. Ia juga menulis buku tentang kisah hidupnya dengan judul “BERTEMAN DENGAN KEMATIAN” dengan sub judul “CATATAN GADIS LUPUS”. Meski saya belum sempat mebaca buku beliau, namun dari judulnya saja sudah tersirat keharuan. Beliau yang usianya mungkin separuh kurang dari usia saya yang kini berkepala lima ini sungguh berjiwa sosial dan berhati mulia. Saat ini selain sebagai mahasiswa S2 Jurusan Filologi Universitas Padjadjaran, beliau juga menekuni aksara sunda dan mengajarkannya kepada mereka yang berminat mengenal budaya leluhurnya. Bahkan dalam jangka panjang beliau juga akan mempelajari aksara-aksara yang berada diseluruh Nusantara ini. Sungguh mulia sekali obsesi beliau itu. Kini beliau mempunyai sebuah kelas dimana beliau memiliki murid sekitar 40 an dan rata-rata dan sebagian besar berusia masih muda. Apa yang beliau lakukan yakni mengajarkan aksara sunda kepada para peminatnya, se sen pun beliau tidak memungut bayaran. Benar-benar mulia sekali. Mulia, selain mengajar tanpa memungut bayaran se sen pun, juga tidak lupa dengan warisan leluhurnya dan berupaya melestarikannya. Hati saya jadi tergetar dan terharu. Juga tersisip rasa malu. Ya malu, saya bertanya, apa yang sudah saya berikan kepada masyarakat dan bangsa saya ini? Sumbangan apa yang berarti dan bermanfaat yang sudah saya berikan kepada mereka yang membutuhkan setidaknya yang berguna bagi mereka? Kembali kepada orang-orang yang berjiwa mulia dan sosial ini. Selain beliau, saya juga pernah lihat di sebuah stasiun TV yang menayangkan prilaku mulia dan sosial yang juga dilakukan oleh seorang wanita. Wanita ini juga masih muda, tapi saya lupa nama beliau. Beliau pergi menuju tengah hutan di pedalaman kalimantan. Beliau bertemu dengan suku-suku terasing dan masih nomaden seperti suku dayak dan sebagainya. Dengan meninggalkan segala kesenangan duniawinya dimana selayaknya usia sebaya beliau sedang lagi suka-sukanya berhura-hura dengan segala kegembiraan mudanya bersama rekan-rekan sebayanya. Namun semua itu beliau tinggalkan dan lebih memilih hidup ditengah-tengah suku terasing dan komunitas masyarakat terpinggirkan dan belum tersentuh modernitas serta pendidikan. Disinilah beliau mengabdikan dirinya untuk memberdayakan mereka tanpa pamrih dan memperoleh serta mengharapkan imbalan se sen pun. Ah sekali lagi sungguh mulia hati mereka. Ya Tuhan, ditengah-tengah dunia dimana saat ini sebagian besar masyarakat menjadikan materi itu adalah Dewa, ternyata masih ada orang-orang seperti Sinta Ridwan dan Mbak yang pergi kepedalaman itu. Saya memang saat ini berprofesi sebagai pendidik untuk mereka anggota masyarakat yang kurang beruntung mendapatkan pendidikan di bangku sekolah formal. Namun pekerjaan saya ini jujur saja awalnya bukanlah panggilan jiwa saya. Namun karena dituntut oleh tugas serta tupoksi pekerjaan saya. Dan, saya memndapatkan honor dari pekerjaan saya kendati itu relatif kecil namun tetap saja saya mendapat imbalan dari pekerjaan saya tersebut. Namun demikian, dalam menunaikan tugas akhir-akhir ini saya tidaklah terlalu memikirkan imbalan dari apa yang saya perbuat. Perbuatan mulia Mbak Sinta Ridwan (maaf kalau namanya salah) dan Mbak yang pergi kepedalam Kalimantan itu sangat menginspirasi saya semakin mencintai tugas saya. Saya juga sangat terinspirasi oleh film “LASKAR PELANGI’ terutama sekali akan dedikasi seorang ibu guru yang bernama Ibu Muslimah dan Pak Harfan. Saya sering mengidentikkan diri saya seperti mereka. Dan menurut saya ini sah-sah saja. Dan ini merupakan cara saya untuk memotivasi diri agar saya memiliki rasa tanggung jawab terhadap pekerjaan dan profesi saya. Saya juga punya suatu obsesi, ingin sekali mengumpulkan anak-anak yang tidak mampu seperti gelandangan dan pengemis yang sering menadahkan tangannya dari rumah ke rumah, dari toko ke toko, dari pasar ke pasar, dan juga berserakan di jalan raya dan lampu merah. Mengumpulkan mereka ke suatu tempat yang meski sederhana. Dan disana ingin saya didik mereka CALISTUNG alias membaca, menulis, dan berhitung. Setidaknya meski sedikit, saya sudah menyumbangkan sesuatu kepada orang-orang yang papa seperti mereka ini. Lagian, dalam ajaran Agama saya -Hindu- dalam Catur Marga bahwa Jnana Marga (Jalan Ilmu Pengetahuan) merupakan Yadnya tertinggi. Sebab, memberikan ilmu pengetahuan kepada sesama tanpa pandang bulu dan pamrih adalah sangat mulia. Bagi saya, saya tidak malu meski memiliki pengetahuan yang cetek. Lebih baik berbuat sekecil apapun ketimbang tidak berbuat sama sekali. Saya orang yang paling tidak suka banyak bicara, dan saya lebih suka banyak berbuat. Setidaknya dengan berbuat saya harapkan akan ada hasilnya. Maksud saya, dalam masyarakat kita semakin banyak yang melek huruf. Hanya saja, dari mana ya saya memulainya? Ada yang dapat memberikan saran?

Rabu, Juni 22, 2011

UNPK PAKET C PERIODE I 2011 DAN NILAI-NILAI PANCASILA YANG TERPINGGIRKAN


UNPK Pendidikan Kesetaraan Paket C dilaksanakan hari Selasa tanggal 5 Juli 2011 sampai dengan hari Jumat tanggal 8 Juli 2011. Pada hari H pelaksanaan UNPK Paket C tersebut tepat bersamaan dengan perayaan hari besar keagamaan bagi umat Hindu terutamanya di Pulau Bali. Perayaan hari keagamaan ini sudah dimulai hari Selasa tanggal 5 Juli 2011 yakni hari Penampahaan Galungan. Kemudian hari Rabu tanggal 6 Juni 2011 adalah puncaknya yakni hari Raya Galungan serta hari Kamis adalah Umanis Galungan. Jadi rentetan hari-hari yang disebutkan diatas adalah hari-hari yang sangat penting buat umat Hindu. Namun justru pada saat itulah UNPK Paket C dilaksanakan secara nasional. Tentu bagi peserta UNPK Paket C dari dan di Provensi Bali yang notabene mayoritas penduduknya beragama Hindu hal seperti ini menimbulkan dilemma. Meski secara nasional hari raya Galungan dan Kuningan belum diakui sebagai hari libur keagamaan dan menjadi libur nasional, setidaknya sebagai sesama anak bangsa yang merupakan bagian NKRI ini sepatutnya para pengambil keputusan di pemerintah pusat cq Departeman Pendidikan Nasional mempertimbangkan perasaan masyarakat Bali dan umat hindu. Apa yang terjadi pada UNPK gelombang pertama bulan Juli ini sungguh sudah mencederai perasaan masyarakat Pulau Dewata ini. Memang sudah ada usaha dari pihak petinggi pendidikan di Bali melakukan dan mengadakan pendekatan serta melakukan loby loby dengan pihak terkait di Jakarta. Terakhir ada kabar burung bahwa UNPK akan diundur menjadi hari Selasa tanggal 19 Juli 2011 sampai tanggal 22 Juli 2011. Namun kapan pastinya UNPK Paket C khusus untuk Bali ini dilaksanakan belum ada kepastiannya. Bukan bermaksud memperkeruh suasana atau membesar-besarkan atau mengompor-ngompori dari pelaksanaan UNPK yang tepat di hari besar Umat Hindu ini, dari apa yang telah diputuskan oleh pengambil keputusan di Jakarta dapat diambil kesimpulan serta dikaitkan dengan apa yang ramai dibicarakan berbagai kalangan akhir-akhir ini bahwa nilai-nilai Pancasila kini sudah mulai dilupakan dan terpinggirkan. Dan UNPK Paket C periode pertama bulan Juli ini semakin menguatkan indikasi tersebut. Para pengambil keputusan sudah tidak memiliki kepekaan sosial serta rasa keadilan dan bertoleransi dalam berbangsa dan bernegara. Namun demikian semoga ini hanyalah sebuah kealpaan sebagai manusia biasa dan bukan suatu kesengajaan apalagi ingin bermaksud mencederai masyarakat Bali cq umat Hindu di Indonesia. Semoga pada masa-masa yang akan datang dalam mengambil keputusan dalam bidang tertentu para pengambil keputusan tersebut lebih mengemukakan azas keadilan yang sesuai dengan rasa keadilan seperti telah tersurat dan tersirat yang terkandung dalam Pancasila sebagai dasar NKRI (smt).

Sabtu, November 13, 2010

MANUSIA SOMBONG, SUKA MENGHINA/MENYAKITI ORANG LAIN, KERAS KEPALA, SOK PANDAI SERTA MENIMBULKAN SUASANA GERAH DALAM KERJA


Dalam sebuah web tentang ajaran Hindu yaitu agama yang saya peluk, saya baca tentang Dasa Mala. Menurut Upanisad, dasa mala adalah sepuluh sifat-sifat manusia yang buruk dan yang patut dihindari dalam upaya menumbuhkembangkan kesucian dan keluhuran budi. Dalam tulisan blog saya kali ini karena saya akan membahas tentang kesombongan yang sering membuat orang disekitarnya sakit hati maka saya akan singgung yang namanya Kulina. Juga tentang Kuhaka yakni sifat keras kepala. Keras kepala yang saya maksud disini adalah yang negatife. Sebab boleh saja orang keras kepala kalau itu untuk kebaikan dan ada dasarnya yang kuat (bukan asal ngomong). Selain itu juga tentang Sapta Timira.
Hampir dua tahun ini saya kenal orang yang menurut saya memiliki sifat-sifat buruk yang membuat orang-orang disekitarnya gerah, tidak nyaman, sakit hati, tersinggung, direndahkan dan akibat-akibat buruk lainnya. Saya menulis blog ini bukan untuk menjelek-jelekkan seseorang. Hanya dengan cara inilah saya menyalurkan uneg-uneg yang mengganjal dihati. Jadi mohon maaf kalau ada dari para pembaca yang tidak setuju dengan cara saya ini dengan alasan saya suka menjelek-jelekkan seseorang. Toh ini juga pendapat saya atau opini saya.
Orang ini boleh dibilang kawan saya juga karena ia ada dalam komunitas kami yang kehadirannya dalam komunitas kami karena melaksanakan tugas sesuai dengan aturan yang berlaku. Jadi suka tidak suka ya ia memang ditugaskan dikomunitas ini. Maka, oleh karena tugas maka jadilah ia disebut rekan saya.
Kegerahan, keresahan, ketidaknyamanan yang hampir dua tahun kami rasakan ini disebabkan oleh sifat-sifat kulina dan kuhaka yang ada pada orang ini. Ia sombong banget. Yang ia sombongkan adalah “kepandaiannya”. Saya sengaja isi tanda petik disini karena pengertian kepandaian itu kan luas. Pandai itu relatif. Pandai dalam bidang apa dulu, kan begitu. Pandai hanya dalam satu bidang ilmu tentu tidak dapat dijadikan tolok ukur, dan dengan tolok ukur tersebut kemudian dipakai sebagai parameter untuk menilai orang lain. Sungguh tidak bijaksana kalau tidak dapat dikatakan sangat sombong dan sekaligus menggelikan. Katakanlah orang ini pandai dalam bidang ilmu matematika (ini hanya contoh, oknum yang saya maksud menguasai satu bidang ilmu tertentu) begitu ada orang lain yang tidak atau belum bisa matematika lantas orang itu disebut atau di cap bodoh dengan kata-kata yang menghina dan merendahkan sekali yang mana dapat menyinggung perasaan dan membuat orang yang disebut “bodoh” tersebut sakit hati? Padahal setiap orang dilahirkan dengan bakat yang berbeda-beda. Boleh saja dia belum menguasai matematika, tapi orang yang dihina ini memiliki kemampuan yang baik dalam bidang ilmu lainnya.
Rekan kerja saya ini yang dengan “kepandaian” yang dimilikinya mempunyai kebiasaan yang sangat tidak bijaksana yakni suka mengecam orang lain didepan umum atau dihadapan orang banyak. Terkesan dengan kemampuannya itu ia ingin menunujukkan dihadapan orang banyak itu bahwa ia orang pandai. Ia memamerkan kepandaiannya itu dengan merendahkan orang lain didepan umum. Beberapa contoh peristiwa yang pernah saya saksikan sendiri. Suatu ketika di tempat kami ada suatu pelatihan dimana dalam pelatihan ini tentu ada nara sumbernya. Nah saat si nara sumber lagi memberikan materinya kepada peserta, rekan saya --yang sombong ini-- sengaja ikut menyusup jadi peserta (padahal ia juga adalah salah satu nara sumber yang akan ikut memberikan materi dalam acara ini). Nah saat nara sumber tersebut lagi asik-asiknya mengajar eh rekan saya ini melakukan interupsi kemudian mengatakan bahwa apa yang disampaikan si nara sumber tersebut kuarang tepat. Selanjutnya dengan panjang lebar dan dengan kesan menggurui menyebutkan tentang permen ini permen itu (eh permen itu manisan ya bung!). Rekan saya ini memojokkan si nara sumber sampai mati kutu dibuatnya. Saya yang menyaksikan ini merasa tidak enak. Pikir saya, apa tidak lebih baik si nara sumber itu diberitahukan dengan baik-baik tapi tidak didepan peserta pelatihan. Cara yang dilakukan oleh rekan saya ini yang menurut saya sangat tidak bijaksana. Terkesan sombong dan ingin menonjolkan diri bahwa ia pandai. Ia sombong dengan kepandaiannya. Pernahkah ia berpikir bagaimana kalau ia yang diperlakukan oleh orang lain seperti apa yang ia lakukan terhadap nara sumber itu? Hal seperti saya contohkan diatas itu bukan satu-satunya atau sekali itu ia lakukan tapi beberapa kali ia lakukan ditempat lain. Jadi sudah cukup banyak orang yang direndahkan dan jadi korban oleh cara-cara yang ia lakukan ini.
Ia juga mempunya sifat iri. Bila ada orang lain dipuji-puji didepannya akan kemampuan orang lain itu dalam suatu bidang ilmu, mimik dan air mukanya memperlihatkan kesinisan pertanda dari ketidaksenangannya. Suatu ketika salah satu teman saya bercerita bahwa ia punya pisau dengan harga 200 ribu rupiah, eh tiba-tiba si sombong ini berkata, “Saya punya pisau yang harganya 1 juta rupiah!” katanya dengan pongah. Saya hanya dapat geleng-geleng kepala saja, kok ada ya orang seperti ini?
Rekan saya (saya berat hati mengatakan ia rekan saya) ini juga keras kepala. Keras kepala ada juga yang baik (positif) asal pendapatnya itu ada dasarnya. Tapi keras kepala yang tidak jelas dasarnya. Ini namanya ia mau menang sendiri atau asbun alias asal bunyi/ngomong. Bekerja disebuah lembaga Negara tentu setiap pekerjaan itu ada aturannya atau tupoksinya, petunjukknya, acuannya dsbnya. Semua itu bisa berupa SK, buku pedoman dsbnya, tapi orang ini sering kukuh dengan pendapatnya tentang suatu hal berkaitan dengan tugas yang harus dikerjakan. Lucunya saat diperlihatkan buku-buku petunjuk yang mengatur pekerjaan itu sebagai dasarnya eh ia masih kukuh dengan pendapatnya bahkan tidak mengindahkan petunjuk tersebut (dalam hati saya bilang: kalau lo pandai ngapain lo ga jadi Dirjen saja. Kan buku-buku petunjuk tersebut dikonsep oleh para pejabat tinggi yang notabene para pakar yang setidaknya bergelar doctor). Ah dasar lo sombong! (Dalam sebuah lagu Bali klasik ada syair yang berisi nasihat bijaksana; "Ede ngaden awak bise, depang anake ngadanin". Betapa kita dinasehati oleh para leluhur kita lewat lagu ini agar jangan sekali-sekali menjadi orang sombong yang mengagul-agulkan kepandaian. Hendaklah tetap rendah hati kendati pandai. Seperti ilmu padi, semakin berisi semakin merunduk).
Cara orang ini mengoreksi pekerjaan teman-teman juga sering menjengkelkan dan menyakitkan. Terkesan ingin menguji. Hal ini sering dikuatkan oleh kata-kata yang keluar dari mulutnya yang bernada sinis, “Saya kira teman-teman disini sudah pada pandai eh…..” demikianlah kata-kata yang keluar dari mulutnya yang tidak pernah membuat orang-orang disekitarkan merasa nyaman. Bahkan seorang waker yang notabene posisinya paling rendah di lembaga kami saja bisa menilai betapa sifat orang ini membuatnya tidak nyaman. Saya pernah mengikuti seminar ke PR an (PR = Public Relation). Pakar PR ini mengatakan, sebenarnya gampang saja menilai sifat-sifat baik seorang pemimpin (dalam konteks ini kepala; kepala lembaga). Jika seorang pesuruh dilembaga itu begitu senang dengan kepala lembaga dimana ia mengabdi, itu pertanda bahwa pemimpin itu orang yang memiliki sifat-sifat baik. Secara tindakan misalnya saat si kepala lembaga itu turun dari mobilnya maka si pesuruh/waker itu akan mendatanginya dan bilang, “Pak biar saya yang bawain tas Bapak” dstnya, dsbnya. Lha ini, jangankan menyapa, dekat dengan si kepala saja ia sudah tidak senang). Indikasi lainnya adalah: setiap orang tidak betah datang ke kantor dimana si sombong ini menjadi kepala. Setiap ia datang ke kerumunan bawahannya, maka para bawahannya yang tadinya ngumpul pada membubarkan diri. Dan itu sesuai sekali dengan apa yang dikatakan oleh pakar PR tadi dan saat ini sedang terjadi dilembaga kami.
Dalam ajaran agama yang saya anut yakni agama Hindu, ada juga yang disebut dengan SAPTA TIMIRA. Sapta Timira antara lain: 1. Surupa yaitu sombong karena ganteng/cantik. 2. Dana yaitu sombong karena kaya. 3. Guna sombong karena pandai. 4. Kulina yaitu sombong dan suka menghina dan menyakiti hati orang lain. 5. Yowana yaitu sombong akan keremajaan. 6. Kasuran yaitu sombong karena menang. 7. Sura yaitu mabuk/tidak sadarkan diri karena makanan/minuman yang berlebihan. Dari Sapta Timira yang diuraikan diatas ini yang paling menonjol selama ini kami raskan adalah Surupa, Dana, Guna, Kulina yang tersirat dari prilaku oknum ini. Tentang Surupa, memang sih samar-samar tersirat dari sifatnya namun sesekali muncul juga terutama akan kelihatan jika dalam berkomunikasi dan berinteraksi ia terlihat lebih antusias jika berhadapan orang yang cantik (kalau dengan orang dekil seperti waker kami, tampak sekali ia kurang perhatian). Dana atau sombong akan kekayaan, seperti yang saya contohkan diatas bagaimana reaksinya ketika seorang rekan saya bilang punya pisau seharga 200 ribu rupiah ia nyeletuk dan bilang punya pisau yang harganya 1 juta rupiah. Pokoknya sombong tidak mau kalah dari orang lain (mungkin dalam segala hal). Guna yaitu sombong karena pandai, ia tunjukkan dengan sikapnya hampir setiap waktu seperti sudah diuraikan diatas yaitu suka merendahkan kemampuan orang lain didepan umum atau didepan para peserta saat ada suatu pelatihan. Atau contoh lainnya, ia juga pernah bilang bahwa para Pembina dari lembaga atasan kami adalah orang-orang bodoh yang tidak sepantasnya memberikan pembinaan di lembaga kami. “Lain kali janganlah mengirimkan orang-orang bodoh itu untuk membina kami” demikian katanya (sombong banget. Sombong karena merasa dirinya pandai. Ingat ia cuma merasa dirinya “pandai”. Jadi yang bilang ia pandai hanya dirinya. Entah orang lain, apa ada yang bilang ia orang pandai. Yang saya dengar selama ini hanya bahwa orang ini sombong!). kemudian Yowana yaitu tentang keremajaan/kemudaan? Biar tidak mengada-ada, belum pernah saya lihat ia membanggakan bahwa ia remaja/muda. Lha gimana mau muda remaja kalau usia sudah diatas kepala 4?) Kasura yaitu sombong karena menang. Kalau sifat yang ini pada orang yang saya maksud akan muncul ada kaitannya dengan sifat Guna dan Kulina. Ia yang merasa dirinya pandai karena kepandaiannya itu timbullah kesombongannya disertai sifat suka menghina dan menyakiti orang lain yang dianggapnya bodoh didepan umum, setidaknya akan timbul bahwa ada terbersit rasa kemenangan disini. Kemudian Sura yaitu mabuk/ tidak sadarkan diri karena makanan/ minuman yang berlebihan, jika diterjemahkan begitu saja ya memang belum pernah saya lihat secara badani ia suka mabuk-mabukan karena minuman. tapi kalau dilihat dari prilakunya, ia memang mabuk akan kepandaiannya.
Membicarakan tentang kuhaka, kulina, dana, guna, yang ada dalam diri orang ini tentu tidak akan habis-habisnya dan akan menghabiskan berlembar-lembar kertas atau halaman weblog ini. Namun dari hasil pendapat orang lain yang pernah kenal orang ini, 99 persen mengatakan ia adalah orang sombong! Saya tidak pernah sengaja melakukan investigasi tentang karakter orang ini, tapi setiap saya ketemu dengan orang yang kenal mendalam dengan sifat orang ini karena pernah cukup waktu sebagai rekan kerja dalam 1 lembaga, maka orang tersebut tanpa saya minta akan membicarakan tentang oknum ini dengan nuansa yang negatif. Bahkan mantan atasannya sebelum ia mutasi kelembaga kami sekarang ini pernah keceplosan bilang, “Saya tidak butuh orang pintar, yang saya butuhkan adalah orang yang dapat saya ajak kerja sama” demikian kata beliau. Jadi…. Apa salah penilaian saya atau orang-orang yang kenal dia kemudian sampai pada saya bahwa ia ini memang orang yang sesuai saya gambarkan seperti yang terdapat dalam ajaran Dasa Mala dan Sapta Timira ini?
Sekali lagi, saya tidak bermaksud menjelek-jelekkan teman sendiri yang tentunya kelakuan saya ini dapat dinilai tidak terpuji, “Apa Anda dapat dibilang orang baik-baik kalau Anda suka menuliskan di blog ini tentang ketidakbaikan sifat teman Anda?” kira-kira seperti itu kemungkinan kritikan yang akan saya terima. Namun sekali lagi saya katakan sekalian saya mohon maaf atas tulisan saya ini, inilah uneg-uneg saya yang juga dirasakan beberapa rekan saya lainnya dalam satu lembaga dimana kami dibuat gerah, tidak nyaman, tersinggung (ada juga yang sakit hati) serta sifat kurang kondusif lainnya. Jika didiamkan terus menerus akan menimbulkan suasana kerja yang tidak produktif. Kami yang selalu disalahkan, begini salah, begitu salah, juga ada kesan mencari-cari kesalahan, tidak bisa memberikan motivasi, yang ada malah pembunuhan karakter yang dapat menurunkan motivasi untuk menjadi orang yang lebih baik dan ada peningkatan kinerja dikemudian hari.