Sabtu, November 13, 2010

MANUSIA SOMBONG, SUKA MENGHINA/MENYAKITI ORANG LAIN, KERAS KEPALA, SOK PANDAI SERTA MENIMBULKAN SUASANA GERAH DALAM KERJA


Dalam sebuah web tentang ajaran Hindu yaitu agama yang saya peluk, saya baca tentang Dasa Mala. Menurut Upanisad, dasa mala adalah sepuluh sifat-sifat manusia yang buruk dan yang patut dihindari dalam upaya menumbuhkembangkan kesucian dan keluhuran budi. Dalam tulisan blog saya kali ini karena saya akan membahas tentang kesombongan yang sering membuat orang disekitarnya sakit hati maka saya akan singgung yang namanya Kulina. Juga tentang Kuhaka yakni sifat keras kepala. Keras kepala yang saya maksud disini adalah yang negatife. Sebab boleh saja orang keras kepala kalau itu untuk kebaikan dan ada dasarnya yang kuat (bukan asal ngomong). Selain itu juga tentang Sapta Timira.
Hampir dua tahun ini saya kenal orang yang menurut saya memiliki sifat-sifat buruk yang membuat orang-orang disekitarnya gerah, tidak nyaman, sakit hati, tersinggung, direndahkan dan akibat-akibat buruk lainnya. Saya menulis blog ini bukan untuk menjelek-jelekkan seseorang. Hanya dengan cara inilah saya menyalurkan uneg-uneg yang mengganjal dihati. Jadi mohon maaf kalau ada dari para pembaca yang tidak setuju dengan cara saya ini dengan alasan saya suka menjelek-jelekkan seseorang. Toh ini juga pendapat saya atau opini saya.
Orang ini boleh dibilang kawan saya juga karena ia ada dalam komunitas kami yang kehadirannya dalam komunitas kami karena melaksanakan tugas sesuai dengan aturan yang berlaku. Jadi suka tidak suka ya ia memang ditugaskan dikomunitas ini. Maka, oleh karena tugas maka jadilah ia disebut rekan saya.
Kegerahan, keresahan, ketidaknyamanan yang hampir dua tahun kami rasakan ini disebabkan oleh sifat-sifat kulina dan kuhaka yang ada pada orang ini. Ia sombong banget. Yang ia sombongkan adalah “kepandaiannya”. Saya sengaja isi tanda petik disini karena pengertian kepandaian itu kan luas. Pandai itu relatif. Pandai dalam bidang apa dulu, kan begitu. Pandai hanya dalam satu bidang ilmu tentu tidak dapat dijadikan tolok ukur, dan dengan tolok ukur tersebut kemudian dipakai sebagai parameter untuk menilai orang lain. Sungguh tidak bijaksana kalau tidak dapat dikatakan sangat sombong dan sekaligus menggelikan. Katakanlah orang ini pandai dalam bidang ilmu matematika (ini hanya contoh, oknum yang saya maksud menguasai satu bidang ilmu tertentu) begitu ada orang lain yang tidak atau belum bisa matematika lantas orang itu disebut atau di cap bodoh dengan kata-kata yang menghina dan merendahkan sekali yang mana dapat menyinggung perasaan dan membuat orang yang disebut “bodoh” tersebut sakit hati? Padahal setiap orang dilahirkan dengan bakat yang berbeda-beda. Boleh saja dia belum menguasai matematika, tapi orang yang dihina ini memiliki kemampuan yang baik dalam bidang ilmu lainnya.
Rekan kerja saya ini yang dengan “kepandaian” yang dimilikinya mempunyai kebiasaan yang sangat tidak bijaksana yakni suka mengecam orang lain didepan umum atau dihadapan orang banyak. Terkesan dengan kemampuannya itu ia ingin menunujukkan dihadapan orang banyak itu bahwa ia orang pandai. Ia memamerkan kepandaiannya itu dengan merendahkan orang lain didepan umum. Beberapa contoh peristiwa yang pernah saya saksikan sendiri. Suatu ketika di tempat kami ada suatu pelatihan dimana dalam pelatihan ini tentu ada nara sumbernya. Nah saat si nara sumber lagi memberikan materinya kepada peserta, rekan saya --yang sombong ini-- sengaja ikut menyusup jadi peserta (padahal ia juga adalah salah satu nara sumber yang akan ikut memberikan materi dalam acara ini). Nah saat nara sumber tersebut lagi asik-asiknya mengajar eh rekan saya ini melakukan interupsi kemudian mengatakan bahwa apa yang disampaikan si nara sumber tersebut kuarang tepat. Selanjutnya dengan panjang lebar dan dengan kesan menggurui menyebutkan tentang permen ini permen itu (eh permen itu manisan ya bung!). Rekan saya ini memojokkan si nara sumber sampai mati kutu dibuatnya. Saya yang menyaksikan ini merasa tidak enak. Pikir saya, apa tidak lebih baik si nara sumber itu diberitahukan dengan baik-baik tapi tidak didepan peserta pelatihan. Cara yang dilakukan oleh rekan saya ini yang menurut saya sangat tidak bijaksana. Terkesan sombong dan ingin menonjolkan diri bahwa ia pandai. Ia sombong dengan kepandaiannya. Pernahkah ia berpikir bagaimana kalau ia yang diperlakukan oleh orang lain seperti apa yang ia lakukan terhadap nara sumber itu? Hal seperti saya contohkan diatas itu bukan satu-satunya atau sekali itu ia lakukan tapi beberapa kali ia lakukan ditempat lain. Jadi sudah cukup banyak orang yang direndahkan dan jadi korban oleh cara-cara yang ia lakukan ini.
Ia juga mempunya sifat iri. Bila ada orang lain dipuji-puji didepannya akan kemampuan orang lain itu dalam suatu bidang ilmu, mimik dan air mukanya memperlihatkan kesinisan pertanda dari ketidaksenangannya. Suatu ketika salah satu teman saya bercerita bahwa ia punya pisau dengan harga 200 ribu rupiah, eh tiba-tiba si sombong ini berkata, “Saya punya pisau yang harganya 1 juta rupiah!” katanya dengan pongah. Saya hanya dapat geleng-geleng kepala saja, kok ada ya orang seperti ini?
Rekan saya (saya berat hati mengatakan ia rekan saya) ini juga keras kepala. Keras kepala ada juga yang baik (positif) asal pendapatnya itu ada dasarnya. Tapi keras kepala yang tidak jelas dasarnya. Ini namanya ia mau menang sendiri atau asbun alias asal bunyi/ngomong. Bekerja disebuah lembaga Negara tentu setiap pekerjaan itu ada aturannya atau tupoksinya, petunjukknya, acuannya dsbnya. Semua itu bisa berupa SK, buku pedoman dsbnya, tapi orang ini sering kukuh dengan pendapatnya tentang suatu hal berkaitan dengan tugas yang harus dikerjakan. Lucunya saat diperlihatkan buku-buku petunjuk yang mengatur pekerjaan itu sebagai dasarnya eh ia masih kukuh dengan pendapatnya bahkan tidak mengindahkan petunjuk tersebut (dalam hati saya bilang: kalau lo pandai ngapain lo ga jadi Dirjen saja. Kan buku-buku petunjuk tersebut dikonsep oleh para pejabat tinggi yang notabene para pakar yang setidaknya bergelar doctor). Ah dasar lo sombong! (Dalam sebuah lagu Bali klasik ada syair yang berisi nasihat bijaksana; "Ede ngaden awak bise, depang anake ngadanin". Betapa kita dinasehati oleh para leluhur kita lewat lagu ini agar jangan sekali-sekali menjadi orang sombong yang mengagul-agulkan kepandaian. Hendaklah tetap rendah hati kendati pandai. Seperti ilmu padi, semakin berisi semakin merunduk).
Cara orang ini mengoreksi pekerjaan teman-teman juga sering menjengkelkan dan menyakitkan. Terkesan ingin menguji. Hal ini sering dikuatkan oleh kata-kata yang keluar dari mulutnya yang bernada sinis, “Saya kira teman-teman disini sudah pada pandai eh…..” demikianlah kata-kata yang keluar dari mulutnya yang tidak pernah membuat orang-orang disekitarkan merasa nyaman. Bahkan seorang waker yang notabene posisinya paling rendah di lembaga kami saja bisa menilai betapa sifat orang ini membuatnya tidak nyaman. Saya pernah mengikuti seminar ke PR an (PR = Public Relation). Pakar PR ini mengatakan, sebenarnya gampang saja menilai sifat-sifat baik seorang pemimpin (dalam konteks ini kepala; kepala lembaga). Jika seorang pesuruh dilembaga itu begitu senang dengan kepala lembaga dimana ia mengabdi, itu pertanda bahwa pemimpin itu orang yang memiliki sifat-sifat baik. Secara tindakan misalnya saat si kepala lembaga itu turun dari mobilnya maka si pesuruh/waker itu akan mendatanginya dan bilang, “Pak biar saya yang bawain tas Bapak” dstnya, dsbnya. Lha ini, jangankan menyapa, dekat dengan si kepala saja ia sudah tidak senang). Indikasi lainnya adalah: setiap orang tidak betah datang ke kantor dimana si sombong ini menjadi kepala. Setiap ia datang ke kerumunan bawahannya, maka para bawahannya yang tadinya ngumpul pada membubarkan diri. Dan itu sesuai sekali dengan apa yang dikatakan oleh pakar PR tadi dan saat ini sedang terjadi dilembaga kami.
Dalam ajaran agama yang saya anut yakni agama Hindu, ada juga yang disebut dengan SAPTA TIMIRA. Sapta Timira antara lain: 1. Surupa yaitu sombong karena ganteng/cantik. 2. Dana yaitu sombong karena kaya. 3. Guna sombong karena pandai. 4. Kulina yaitu sombong dan suka menghina dan menyakiti hati orang lain. 5. Yowana yaitu sombong akan keremajaan. 6. Kasuran yaitu sombong karena menang. 7. Sura yaitu mabuk/tidak sadarkan diri karena makanan/minuman yang berlebihan. Dari Sapta Timira yang diuraikan diatas ini yang paling menonjol selama ini kami raskan adalah Surupa, Dana, Guna, Kulina yang tersirat dari prilaku oknum ini. Tentang Surupa, memang sih samar-samar tersirat dari sifatnya namun sesekali muncul juga terutama akan kelihatan jika dalam berkomunikasi dan berinteraksi ia terlihat lebih antusias jika berhadapan orang yang cantik (kalau dengan orang dekil seperti waker kami, tampak sekali ia kurang perhatian). Dana atau sombong akan kekayaan, seperti yang saya contohkan diatas bagaimana reaksinya ketika seorang rekan saya bilang punya pisau seharga 200 ribu rupiah ia nyeletuk dan bilang punya pisau yang harganya 1 juta rupiah. Pokoknya sombong tidak mau kalah dari orang lain (mungkin dalam segala hal). Guna yaitu sombong karena pandai, ia tunjukkan dengan sikapnya hampir setiap waktu seperti sudah diuraikan diatas yaitu suka merendahkan kemampuan orang lain didepan umum atau didepan para peserta saat ada suatu pelatihan. Atau contoh lainnya, ia juga pernah bilang bahwa para Pembina dari lembaga atasan kami adalah orang-orang bodoh yang tidak sepantasnya memberikan pembinaan di lembaga kami. “Lain kali janganlah mengirimkan orang-orang bodoh itu untuk membina kami” demikian katanya (sombong banget. Sombong karena merasa dirinya pandai. Ingat ia cuma merasa dirinya “pandai”. Jadi yang bilang ia pandai hanya dirinya. Entah orang lain, apa ada yang bilang ia orang pandai. Yang saya dengar selama ini hanya bahwa orang ini sombong!). kemudian Yowana yaitu tentang keremajaan/kemudaan? Biar tidak mengada-ada, belum pernah saya lihat ia membanggakan bahwa ia remaja/muda. Lha gimana mau muda remaja kalau usia sudah diatas kepala 4?) Kasura yaitu sombong karena menang. Kalau sifat yang ini pada orang yang saya maksud akan muncul ada kaitannya dengan sifat Guna dan Kulina. Ia yang merasa dirinya pandai karena kepandaiannya itu timbullah kesombongannya disertai sifat suka menghina dan menyakiti orang lain yang dianggapnya bodoh didepan umum, setidaknya akan timbul bahwa ada terbersit rasa kemenangan disini. Kemudian Sura yaitu mabuk/ tidak sadarkan diri karena makanan/ minuman yang berlebihan, jika diterjemahkan begitu saja ya memang belum pernah saya lihat secara badani ia suka mabuk-mabukan karena minuman. tapi kalau dilihat dari prilakunya, ia memang mabuk akan kepandaiannya.
Membicarakan tentang kuhaka, kulina, dana, guna, yang ada dalam diri orang ini tentu tidak akan habis-habisnya dan akan menghabiskan berlembar-lembar kertas atau halaman weblog ini. Namun dari hasil pendapat orang lain yang pernah kenal orang ini, 99 persen mengatakan ia adalah orang sombong! Saya tidak pernah sengaja melakukan investigasi tentang karakter orang ini, tapi setiap saya ketemu dengan orang yang kenal mendalam dengan sifat orang ini karena pernah cukup waktu sebagai rekan kerja dalam 1 lembaga, maka orang tersebut tanpa saya minta akan membicarakan tentang oknum ini dengan nuansa yang negatif. Bahkan mantan atasannya sebelum ia mutasi kelembaga kami sekarang ini pernah keceplosan bilang, “Saya tidak butuh orang pintar, yang saya butuhkan adalah orang yang dapat saya ajak kerja sama” demikian kata beliau. Jadi…. Apa salah penilaian saya atau orang-orang yang kenal dia kemudian sampai pada saya bahwa ia ini memang orang yang sesuai saya gambarkan seperti yang terdapat dalam ajaran Dasa Mala dan Sapta Timira ini?
Sekali lagi, saya tidak bermaksud menjelek-jelekkan teman sendiri yang tentunya kelakuan saya ini dapat dinilai tidak terpuji, “Apa Anda dapat dibilang orang baik-baik kalau Anda suka menuliskan di blog ini tentang ketidakbaikan sifat teman Anda?” kira-kira seperti itu kemungkinan kritikan yang akan saya terima. Namun sekali lagi saya katakan sekalian saya mohon maaf atas tulisan saya ini, inilah uneg-uneg saya yang juga dirasakan beberapa rekan saya lainnya dalam satu lembaga dimana kami dibuat gerah, tidak nyaman, tersinggung (ada juga yang sakit hati) serta sifat kurang kondusif lainnya. Jika didiamkan terus menerus akan menimbulkan suasana kerja yang tidak produktif. Kami yang selalu disalahkan, begini salah, begitu salah, juga ada kesan mencari-cari kesalahan, tidak bisa memberikan motivasi, yang ada malah pembunuhan karakter yang dapat menurunkan motivasi untuk menjadi orang yang lebih baik dan ada peningkatan kinerja dikemudian hari.

Kamis, Oktober 21, 2010

PANDAI MENASIHATI TAPI TIDAK BISA MEMBERIKAN CONTOH


“Anak-anak morokok itu tidak baik karena dapat mengganggu kesehatan baik kesehatan sendiri maupun orang lain disekitarnya” demikian nasihat seorang guru kepada murid-muridnya saat mengajar di kelas. Anehnya Pak Guru yang memberikan nasihat itu malah asik menghisap-hisap rokoknya dan menghembuskan asap rokoknya keudara sehingga udara di ruangan kelas dipenuhi asap rokok dan tercemar. Beberapa murid yang ikut menghirup asap rokok itu sampai terbatuk-batuk. Itu hanyalah sebuah ilustrasi dimana dalam ilustrasi diatas digambarkan bahwa kadangkala seseorang begitu pandai menasihati orang lain akan tetapi tidak disertai contoh nyata dari si pemberi nasihat.
Mengapa saya membuat ilustrasi seperti diatas? Ya karena saya mengalaminya sendiri. Beberapa hari yang lalu tepatnya hari Jumat tanggal 14 Oktober 2010 seseorang menasihati saya. Orang itu sebenarnya lebih muda 2 tahun dari saya. Disini saya bukan mempersoalkan usianya dia yang lebih muda dan menganggapnya lancang menasihati orang yang lebih tua darinya yakni saya ini. Tidak, saya bukan orang –setidaknya merasa – berpikiran kolot seperti itu. Saya tidak diskriminatif soal usia dalam hal-hal tertentu seperti masalah nasihat ini. Yang menimbulkan ganjalan dihati saya sampai saat ini adalah orang yang menasihati saya itu persis seperti Pak Guru yang menasihati murid-muridnya seperti yang di ilustrasikan dalam pembukaan tulisan ini.
Kejadiannya begini, saat itu saya dipanggil karena beliau (beliau yang oleh karena beberapa syarat terpenuhi ditunjuk dan dipercaya menjadi seorang kepala). Saya dan seorang teman (sebenarnya ada 4 teman, 2 orang lainnya permisi pulang) dipanggil oleh beliau (mungkin atas laporan seseorang. Saya bilang mungkin karena saya tidak melihat. Tapi saya berani bilang mungkin karena tanpa laporan seseorang apa mungkin beliau mengetahui mengingat ruang beliau dengan tempat saya bicara berjarak 10 meter dan dihalangi oleh tembok-tembok dan beberapa ruangan? Ini logika lho). sebenarnya saya guyon saja nyeletuk begini, “Ya, kalau saya ingat uangnya akan saya kembalikan”. Kata-kata itu keceplosan begitu saja saat seorang teman menanyakan apakah uang transport yang saya dan kawan-kawan lainnya terima itu pemberian atau pinjaman kantor yang menugaskan saya mengikuti suatu acara (acara/tugas kantor tentunya) di luar daerah? Dan apakah akan dikembalikan? Celetukan saya yang keluar begitu saja dari pikiran alam bawah sadar saya itu rupanya ada salah seorang rekan menyampaikannya ke atasan saya itu. Disinilah saya menerima nasihat yang mirip banget dengan apa yang disampaikan Pak Guru dalam ilustrasi diatas pada muridnya. “Pak Agung yang namanya meminjam itu pasti mengembalikan”.
Ya kalau kita meminjam (apapun itu kan Pak?) mesti mengembalikannya. Jadi ingat minjam, ingat mengembalikannya. Tentu saya terima dan senang banget menerima nasihat itu….seandainya saya dan kawan-kawan selalu melihat contoh seperti apa yang dinasihati itu. Tapi disinilah persoalannya. Kadangkala seseorang begitu pandainya menasihati orang lain tapi sayang tidak disertai contoh, tentu saja yang paling penting adalah contoh dari orang yang memberikan nasihat tersebut. Nah kenapa kemudian muncul celetukan saya yang spontan itu? Celetukan saya itu adalah celetukan yang keluar dari alam bawah sadar saya yang selama ini sering disuguhi hal-hal yang tidak sesuai antara perkataan dan perbuatan. Terutama sekali oleh beliau yang memberikan nasihat. Semua itu terekam oleh alam bawah sadar saya dan terakumulasi lalu terlontar dalam celetukan tersebut. Coba saja, beliau pernah meminjam wireless milik kantor yang notabene juga berarti milik pemerintah (karena tempat saya kerja ini lembaga pemerintah). Tapi sampai 4 bulan barang tersebut tidak juga dikembalikan ke kantor sehingga muncul pikiran, ini barang mau dipinjam atau mau dimiliki sendiri? Kalau pun akhirnya dikembalikan itu bukanlah dikembalikan secara tulus ke kantor, tapi karena trik teman-teman saja. Sebab kalau langsung meminta beliau mengembalikan itu tidak salah, hanya ini menyangkut perasaan yang ewuh pakewuh saja dari para bawahan terhadap atasannya (meski sudah dikembalikan namun barang tersebut dalam keadaan rusak dan tidak lengkap. Padahal saat dipinjam dalam keadaan baik dan utuh).
Apa yang saya sebutkan itu hanyalah satu contoh saja. Saat ini beliau masih meminjam LCD Proyektor beserta layarnya (sampai saat ini tanggal 22 Oktober 2010 belum juga dikembalikan setelah sebulan dipinjam). Tulisan yang saya buat ini bukanlah untuk bermaksud menjelek-jelekkan seseorang, tetapi marilah kita menjadi insan yang baik dan benar (apakah kita ini insan pemerintah atau swasta yang penting sebagai warga Negara Indonesia sehingga kelak kita menjadi Negara yang dikenal sebagai bangsa yang bersih dan dihormati. Apaka lagi sebagai abdi Negara seperti PNS misalnya. Sebab waktu kita disumpah salah satu bunyi teksnya adalah lebih mengutamakan tugas dari pada kepentingan pribadi. Dapat membedakan mana tugas dan mana kepentingan pribadi tentunya). Dipemerintahan, seorang atasan (sama dengan seorang guru di sekolah) dapatlah menjadi contoh, sehingga saat beliau memberi nasihat kepada bawahannya si bawahan dapat menerima dengan legowo. Bagaimana si bawahan mau menerima nasihat dengan tulus dan senang hati kalau si atasan yang memberikan nasihat tidak dapat memberikan contoh? Seorang pemimpin adalah di depan member contoh dan menjadi teladan, ditengah-tengah dapat memberikan semangat, dan dibelakang mengawasi. Ahya, saya lupa kalau seorang kepala itu itu belum tentu seorang pemimpin. Kepala adalah jabatan. Jabatan yang dipercayakan kepada seseorang untuk memimpin sebuah lembaga. Tapi pemimpin? Ada yang bilang pemimpin itu dilahirkan. Jadi seseorang yang punya bakat sebagai pemimpin sudah dibawa semenjak ia lahir, contohnya Bung Karno (benar tidaknya, anda cari saja di buku-buku atau di web-web yang kini begitu banyak tersebar di dunia “maya” tentang apa itu pemimpin dan apa itu kepala serta apa perbedaannya). Dan beliau ini bisa saja hanya seorang kepala tapi bukan seorang pemimpin.
Terlepas apakah beliau itu seorang kepala atau pemimpin bukanlah topik utama tulisan ini. Yang paling penting disini adalah JANGANLAH HANYA BISA MENASEHATI, NAMUN BERIKANLAH CONTOH sehingga orang-orang yang menerima nasihat anda merasa senang dan berterima kasih. Lha, bagaimana mau menasihati orang lain kalau diri sendiri saja tidak dapat memberikan contoh?