Jumat, Agustus 24, 2012

KRAMA BALI SENGANCAN INOVATIF INDIK MEADOLAN SARANA UPAKARA AGAMA HINDU

Catatan: NIKI TULISAN KANGIN-KAUH UTAWI "RAOS KUTANG-KUTANG" Mangkin krama Bali sampun sengancan kreatif dan inovatif dalam hal indik meadolan. Mangkin irage sekancan gampang metumbasan bahan-bahan anggen upakara Agama Hindu. Yening dumun dua utawi tigang warsa sane kelintang irage sade sukeh lan rumit ngerereh bahan-bahan anggen kelengakapan upakare puniki. Yening mangkin rasane jeg serba gampang karena inovatif krame Baline meadolan. Ipun semakin terasah naluri bisnisnya tahu akan kebutuhan krama Bali menyangkut bahan-bahan upekara puniki. Sekadi hukum pasare ada permintaan ada penawaran. Bahkan akeh sampun sane ngelaksanayang “jemput bola” pelaksana ipun indik meadolan puniki. Sebenernya titiang dumun sekitar dua puluhan tahun yang lalu sampun punya pemikiran sekadi sane sampun kelaksanayang oleh pedagang krama Bali puniki. Nenten je titiang medewek ririh utawi sok pintar. Nanging punapi kaden sane ngeranayang lamunan titiang aneh-aneh kemanten. Waktu nike tiang berpikir mengapa ya orang-orang Bali cq para pedagang dalam soal cara berdagang dan menawarkan barang dagangannya tidak dan kurang proaktif mendatangi para pembelinya? Tapi mereka malas-malasan serta pasif dan hanya menunggu datangnya pembeli? Mengapa ya umpamanya pada saat-saat seperti menjelang Galungan dan Kuningan serta hari-hari suci yang sarat dengan kegiatan ritual justru para pedagang ini tidak mengejar-ngejar pembelinya sampai ke rumah-rumah misalnya. Misalnya datang saja ke sebuah kompleks perumahan dimana dalam kompleks perumahan ini masyarakatnya identik dengan orang-orang Bali yang sibuk dan tidak punya waktu untuk membuat kelengkapan sarana upakara agama Hindu karena bekerja di Hotel, perusahaan swasta yang mana waktu mereka untuk menyiapkan sarana upakara ritual Agama Hindu Bali sangat terbatas? Misalnya menawarkan Penjor yang jadi maupun setengah jadi. Bila perlu mungkin disertai dengan servis ataupun jasa memasang penjor. Demikian juga menawarkan kebutuhan-kebutuhan lainnya seperti menjual "canang", "segehan" dll. Sebab dimana ada hal-hal yang bersifat kepepet dan mendesak disanalah peluag bisnis itu timbul dan asumsinya pastilah laku dan laris. Nah "Krama Bali" mestinya peka dan tajam penciumannya soal ini. Itu pemikiran tiang beberapa puluh tahun yang lalu. Tapi kini semua itu sudah jadi kenyataan. Tiang sangat gembira sekali dan setuju banget. Tentu dalam segala hal akan timbul pro dan kontra. Ada yang berpikiran bahwa apa yang tiang pikirkan itu adalah bentuk suatu kemalasan dsbnya. Namun yang setuju tentu juga punya alasan tersendiri misalnya praktis dsbnya. Namun apapun itu hanyalah soal berbeda cara berpikir. Dan pada masa kini perbedaan pola pikir itu adalah bagian dari demokrasi bukan? Terlepas dari masalah pro dan kontra namun ini sejalan dengan waktu akhirnya krama kita juga akan melakukannya. Bahkan krama yang dulu dan awalnya paling vocalpun pada akhirnya bahkan larut dan ikut juga melakukannya. Sekali lagi ini hanyalah soal waktu apalagi kata orang-orang pintar bahwa perubahan itu adalah kekal. Contoh gampang seperti yang pernah tiang alami. Sekitar dua puluh tahun yang lalu pada saat tiang "ngayah" di tempat salah satu keluarga tiang yang meninggal dunia. Pada saat itu tiang "ngayah" dan membantu ikut menempel dan menghias "wadah"Saat itu tiang keceplosan bilang pada mindon tiang sane sareng ajak "ngayah" dengan nada guyon, “Bagaimana ya kalau wadah ini dikasi roda di tiap sudutnya lalu kita dorong kan praktis dan tidak memberatkan warga banjar yang memanggulnya?” demikian tiang guyon. Tiba-tiba salah satu “nak lingsir” yang ikut mengarsiteki "wadah" itu mendamprat tiang dengan emosi, “Sekalian aja kamu pakai ambulan ke keburan kan lebih praktis !” katanya dengan logat yang tajam mengecam tiang. Sebagai generasi muda, tentu tiang ga berani nanggapi dan rasanya “tulah” dan murtad melakukannya. Tiang pun diam saja. Tapi kini, sekitar dua dasa warsa ucapan tiang itu, beberapa krama Bali terutama sekali di Kota Denpasar sudah tidak tabu lagi kalau ke setra “wadahnya” menggunakan roda dan di dorong oleh "krama banjarnya"! Kembali ke konteks inovasi Krama Bali dalam soal meadolan sarana “upakara” Agama Hindu di Bali. Ke depan rasanya tentu perlu lebih ditingkatkan lagi. Karena disatu sisi bagi Krama Bali yang sibuk dikarenakan tugas dan profesinya semisal bekerja di Hotel, perusahaan swasta dsbya dimana sangatlah menyita waktu dan ketat dengan izin atau liburan sehingga tentu juga sangat berpengaruh dengan aktivitasnya dalam membuat dan menyiapkan bahan-bahan atau sarana upakara ini sehingga salah satu alternatifnya tentu saja membeli. Bagi mereka ini, tidak usalah tabu untuk membeli. Apakah membeli "sanggah cucuk", bahan "penjor", "klangsah" dsbnya. Mengapa kita mesti memaksa-maksain diri untuk “mengulat klakat” misalnya padahal kita ga ahli soal yang begituan? Biar saja Krama Bali kita yang dapat waktu dan ahli membuat itu kemudian dengan keahliannya itu lalu kita nilai dengan uang? Seperti kata seorang pejabat tinggi, "Serahkan saja pada ahlinya !". Dengan demikian maka roda perekonomian Krama Bali akan hidup dan berputar! yang ahli dalam soal membuat kelengkapan “upakara Panca Yadnya” ini menjual hasil buah keahliannya itu, sedangkan para pekerja Hotel dan swasta dsbnya tsb dengan penghasilannya dari profesinya sebagai karyawan kemudian membeli buah tangan dari krama Bali yang trampil dengan keahlian membuat bahan atau kelengkapan “Upakara Panca Yadnya” ini. Ah tulisan tiang yang mutunya amburadul ini hanyalah contoh kecil saja dari beberapa persoalan yang sering menimbulkan pro kontra di masyarakat terutama di pedesaan dimana sifat gotong royong dan kekerabatan masih kental. Tentu sekali lagi ada yang setuju dan yang tidak setuju, namun pada akhirnya waktulah yang menjadi penentu. Apakah kita “Krama Bali” yang dalam hal mempersiapkan upakara keagamaan serta adat istiadat ini masih kukuh mempertahankan cara-cara lama (dresta kuna) yang tertradisikan turun-temurun dengan argumentasi “mule keto” dan takut melakukan perubahan. Atau "Krama Bali" yang karena kondisi serta profesinya untuk mencari sesuap nasi di perkotaan sehingga kurang waktu untuk mempertahankan tradisi lama yang memerlukan banyak waktu untuk melaksanakannya. Jika dikarenakan alasan adat serta awig-awig yang berlaku di Desa dan lingkungannya kemudian mereka dipaksa melakukan sesuatu yang bukan keahliannya dan karena “pemaksaan” oleh aturan tsb pada akhirnya mereka harus melepaskan dan meninggalkan profesinya, bukankah kondisi ini akan semakin membuat krama kita itu hidupnya secara ekonomi akan murat-marit? Kemudian pekerjaan yang mereka tinggalkan itu diambil orang dari luar Bali yang mana mereka tentunya tidak akan mengembangkan tradisi Bali meski mereka bekerja di Bali dan ini adalah pengorbanan besar yang akan sangat merugikan Bali (kini bahkan orang “Jawa” bahkan sudah bisa membuat “canang” dan menjualnya). Dan jujur saja, segala pembiayaan untuk berbagai upakara keagamaan kita di Bali dan di Denpasar utamanya, hasil pengamatan tiang secara langsung adalah: 90 % krama Bali masih mengandalkan warisan leluhurnya untuk membiayai semua upacara Panca Yadnyanya. Hanya segelintir saja yang menggunakan "dakin lima" untuk membiayai upacara Panca Yadnya tsb. Tidaklah kemudian heran kalau ada perumpamaan yang sarat guyon bahwa: "Orang Bali jual tanah beli bakso, Orang Jawa jual bakso beli tanah". Maaf yang dimaksud "Jawa" disini bukanlah ditujukan untuk etnis Jawa saja. Karena konotasi "Jawa" disini artinya Jauh (sebutan untuk para pendatang dari luar Bali). Kemudian akan timbul lagi keluhan krama Bali bahwa “orang luar Bali” mengambil lahan pekerjaan krama Bali. Demikian seterusnya, apa itu yang kita inginkan terjadi? Sedangkan untuk melaksanakan upakara keagaam di Bali ini bukankah kita memerlukan biaya yang tidak sedikit? Tiang akan ceritakan tentang suatu katakanlah ini suatu kasus. Begini, salah seorang krabat dekat tiang pernah menampung anak desa di rumahnya. Anak Desa ini drop out SD kelas 5 karena sudah tidak mampu membiayai pendidikannya dikarenakan ayahnya meninggal. Sedangkan ibunya hanyalah seorang ibu rumah tangga yang tidak punya pekerjaan. Sejatinyalah ia orang miskin. Nah di Denpasar ini si anak yang diajaknya untuk membantu dirumahnya itu oleh krabat tiang ini punya hati mulia untuk menyekolahkan lagi si anak Desa ini. Singkat cerita, si anak pun dapat menyelesaikan pendidikan SDnya dengan baik. Saat krabat tiang ini berniat untuk menanggung si anak Desa ini ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi yakni SMP, tiba-tiba dating utusan dari Desa asal anak ini. Si anak ini diminta kembali ke Desanya untuk “Ngayah Desa”. Hal ini dikarenakan ia tidak punya ayah maka sebagai anak tunggal dan laki-laki pula maka menurut “awig-awig” Desanya ialah yang bertugas menggantikan ayahnya untuk “ngayah” di Desanya. Si anak Desa pun kembali ke Desanya. Maka gagalah usaha krabat tiang yang berhati mulya itu untuk menjadikan si anak Desa ini orang yang memiliki masa depan yang lebih baik dari pada nasib orang tuanya di Desa. Dan di Desanya pun ia “lepug” ngayah Desa. Bila ada suatu kegiatan adat, kegiatan ritual keagamaan (“Panca Yadnya”)di Desa tsb, maka ia pun “ngayah” dan juga kena “ayah-ayahan” seperti beberapa butir kepala, beberapa lembar klangsah dsbya. Sedangkan untuk bahan “ayah-ayahan” itu ia memerlukan uang untuk membelinya. Tentu beda dengan krama desanya yang lain dikarenakan masih punya tegalan dengan segala berbagai jenis tetanaman yang bisa dipetik semisal kelapa dsbnya. Sedangkan si anak Desa ini? Ia betul-betul miskin dan hanya punya “tegak umah” kurang dari setengah are. Nah, disatu sisi dibebankan dengan berbagai tugas kegiatan di Desa sebagai pengganti orang tuanya dan juga “ayah-ayahan” Desa dalam bentuk mentahan seperti beberapa butir kelapa dsbnya itu. Ya kalau hanya sekali dua kali, tapi kegiatan upacara adat di Desanya intensitasnya terbilang padat dan sering sehingga tentu secara ekonomi sangatlah memberatkannya. Disisi lain ia tidak memeiliki pekerjaan dan juga pemasukan serta masa-masa mudanya dimana saat-saat masa menuntut ilmu terbuang dan tidak adanya kesempatan dikarenakan oleh peraturan di Desanya yang tidak memberikan toleransi untuk itu. Tentu juga sangat mempengaruhi masa depan anak ini. Maka, ia akan mengulangi lagi nasib sang ayah almarhum. Tidakkah ada kesempatan si anak Desa ini merubah nasibnya? Kapankah lingkaran setan ini dapat diputus? Jika tidak, kelak keturunan si Anak Desa ini juga akan mengulanginya lagi? Lalu, apakah generasi “Krama Bali” terutama oleh situasi peraturan Desanya akan seperti ini turun temurun? Suka tidak suka, masih ada Desa di beberapa pelosok Bali yang menerapkan aturan adatnya ketat seperti di Desa anak ini. Nah, ini hanyalah salah satu contoh kasus dimana jika kita kurang bijaksana dan mengabaikan sisi humanisme maka pada masa yang akan datang kita “Krama Bali” juga akan terkendala dengan persoalan-persoalan seperti ini. Sekali lagi, tulisan ini hanyalah “raos kutang-kutang” namun siapa tahu juga dapat menginspirasi terutama krama Bali yang hidup dan berhadapan dengan kondisi, situasi kekinian. Bukankah Agama Hindu kita tercinta menyuratkan serta menyiratkan tentang Desa, Kala, Patra? Apa itu artinya. Tiang pernah dengar "pekrimik" beberapa “Krama Bali” bahwa kita terutama di pedesaan lebih takut pada adat yang notabene buatan manusia dibandingkan Agama yang notabene wahyu Ide Betare. Sekali lagi tulisan ini hanyalah “raos kutang-kutang”, Jika tidak berkenaan mohon dimaafkan dan jangan diingat dan anggap tidak pernah ada dan membacanya. Namun siapa tahu tulisan ini menginspirasi bagi Anda dari kalangan kawula muda utamanya yang kelak akan menerima tongkat estafet sebagai penerus tradisi leluhur kita di Bali.
Keterangan Foto : Krama Bali semakin kreatif dan inovatif dalam berjualan alat-alat dan bahan upakara Agama Hindu. Misalnya menjelang Galungan dan Kuningan 29 Agustus 2012 ini. Mereka jemput bola dengan menjajakan barang dagangannya diatas mobil mendatangi rumah warga/konsumen.

Tidak ada komentar: