Selasa, November 10, 2009

BERSYUKUR


Dalam pembinaan dan pengarahannya kepada PNS di Kota Denpasar pada bulan Oktober dan Nopember 2009 ini dimana aku sudah 2 kali mengikutinya, Bapak Sekretaris Kota Denpasar A. A. Ngurah Rai Iswara mengatakan, hendaknyalah kita selalu bersyukur atas nikmat yang diberikanNYA karena kita berprofesi sebagai PNS.
Aku sangat setuju dan sepaham dengan pikiran beliau itu. Ini bukan bentuk penjilatan karena beliau adalah atasanku sebagai PNS di Pemkot ini. Hal ini jauh-jauh hari sudah aku tuangkan pada blogku yang berjudul “CURAHAN HATI SEORANG PNS 2” sebelum Bapak Sekretaris memberikan pengarahan seperti itu. .
Masih ribuan orang ingin menjadi PNS. Lihat saja pendaftaran penerimaan PNS di BKD Kota Denpasar dan juga tempat-tempat lainnya di negeri ini. PNS yang dibetuhkan hanya beberapa ratus orang (Denpasar mencari 400 orang), tapi lihatlah, para pelamar yang ikut mendaftar sudah mendekati 7000 orang (saat blog ini kutulis). Ini artinya, bahwa profesi PNS sangat diminati oleh masyarakat kita.
Sedangkan disisi lain, diantara PNS masih juga banyak yang kurang profesional dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tupoksinya. Mengapa? Ya, karena mereka tidak pernah bersyukur atas pekerjaan yang sudah mereka peroleh. Ada yang malas-malasan, ada yang mengeluh, mengomel, ada yang masuk kerja sudah siang dan pulang lebih dini dan sebagainya. Ada saja alasan para PNS yang tidak bisa bersyukur ini sebagai pembenaran atas prilakunya. Jobnya tidak sesuai dengan keahliannyalah, Instansi dimana yang bersangkutan dimutasi kurang berkenan di hatinyalah, dan sebagainya dan lain-lainnya.
Bahkan saya pernah mendengar kasak-kusuk diantara teman-temanku, bahwa seorang PNS yang dimutasi ke kantorku mengatakan bahwa ia kurang suka bekerja di tempatnya yang baru ini. Ia juga konon bilang bahwa semenjak dimutasi ke kantor ini pendapatannya menurun. Ia juga konon bilang dengan pongahnya bahwa ia hanya cukup beberapa bulan saja di tempat ini bekerja sesudah itu akan pindah dan akan mutasi ke sebuah Instansi (sambil menyebutkan sebuah Instansi yang dikenal “basah” dan di inginkan oleh banyak PNS). Kalau besik-bisik yang KONON itu sampai benar ada, aku cuma bisa geleng-geleng kepala saja sambil berbisik “Emang pemerintah ini milik Bapak Moyang lo? kok se enaknya saja mau pindah kesana-kemari sekehendak hatinya?”. Apa sudah lupa ya terhadap bunyi sumpah PNS yang diucapkan dibawah acungan kitab suci bahwa saya akan lebih mengutamakan tugas Negara dari pada kepentingan pribadi; siap ditempatkan dimana saja diseluruh wilayah Negara Republik Indonesia. Lha ditempatkan di Kota Denpasar yang notabene Kota Internasional karena menjadi tujuan utama wisatawan dunia dan juga notabene wilayahnya tidak begitu luas dan tidak ada wilayah yang terbelakang ini saja sudah mengeluh, apalagi kalau di tempatkan di pedalaman Irian Jaya atau Kalimantan, bisa-bisa mati dia.
Ironisnya, disisi lain masih banyak saudara kita yang nganggur, masih banyak yang ingin menjadi PNS, tapi toh diantara kita malah masih ada yang kurang bisa bersyukur. Masih mengeluh, meggerutu atau meminjam istilah Pak Sekot yakni mekapal Rusia “ngemig-mig”. “Kalau saudara-saudara masih saja “ngemig-mig”, silahkan saja membuat surat pengunduran diri dari PNS. Masih banyak dan ribuan orang yang mengantri dibelakang saudara ingin menjadi PNS”.
Ya, sebaiknya begitu ketimbang mengeluh, “ngemig-mig”, malas-malasan, dan berbagai bentuk prilaku sebagai wujud rasa kurang mensyukuri nikmatNYA. Kantorku yang satu atap dengan BKD Kota Denpasar, tahu betul kondisi para pelamar itu. Setiap hari aku disuguhi wajah-wajah penuh harap untuk dapat diterima menjadi PNS. Mungkin segala doa sudah dipanjatnya. Sudah ribuan personifikasi TUHAN disebutkan. Aku sangat trenyuh melihat mereka, sedih dan ingin menangis. Mereka harus antri panas-panasan, keringatan, belum makan-minum, kelelahan dan banyak lagi bentuk beban yang tergurat di wajah mereka yang tidak dapat aku lukiskan.
Sungguh akan sangat berdosa kita yang sudah mapan menjadi PNS malah kurang bersyukur dengan berbagai ekspresi ketidakpuasan dan sangat berlawanan dengan ekspresi anak-anak, adik-adik, dan saudara-saudara kita yang melamar PNS itu. Akan lebih baik saudara-saudaraku para PNS yang saat ini masih kurang dapat bersyukur untuk sekali waktu memantau penerimaan PNS di kota anda agar dapat mengambil pelajaran dan hikmah dari apa yang anda lihat disana. Dengan demkikian semoga saja hati anda tersentuh kemudian terjadi perubahan dalam diri anda untuk dapat bersyukur dan tentu yang terpenting dan signifikan adalah sikap mental yang selama ini kurang professional menjadi lebih profesional.
Blogku ini, sekali lagi aku sampaikan pada setiap tulisanku bukanlah kutulis untuk menggurui atau sok paling sudah menjalankan dan melaksanakan disiplin PNS, akan tetapi sebagai sesama PNS dan warga Negara yang baik adalah tidak salah kalau saling mengingatkan bukan? Kita ini menjadi PNS adalah sebagai abdi Negara dan bangsa. Bukan minta dilayani masyarakat tetapi melayani masyarakat. Gaji kita sebagai PNS di bayar oleh masyarakat. Oleh karena itu tunjukkanlah kepada masyarakat bahwa kita yang sudah mapan jadi PNS ini memang layak dipilih sebagai PNS. Kita patut menjaga citra PNS yang selama ini telah beredar dimasyarakat bahwa PNS itu santai, masuk siang pulang lebih dini. Di kantor baca Koran saja dan lain-lain dan lain sebagainya. Tentu malu rasanya citra kita seperti itu di masyarakat.
Bapak Sekot mengatakan, “Belajarlah saudara-saudara masuk kerja lebih pagi dari hari-hari sebelumnya. Jika biasanya ngantor jam 09.00, cobalah masuk kerja jam 08.30. dan setahap-demi setahap masuk kantor lebih dini lagi. Demikian pula yang biasanya pulang jam 13.00 hendaknya belajar pulang lebih sore dari hari-hari sebelumnya”.
Soal ijin tidak masuk kerja, beliau juga mengatakan tidak terlalu ketat dan penuh toleransi asal yang bersangkutan betul-betul membutuhkan ijin tersebut. Tentu toleransi itu kemudian jangan disalahgunakan, karena sekali saja orang berbohong maka ia akan melakukan kebohongan-kebongan berikutnya. Hal seperti ini kuamati memang sering terjadi. Toleransi yang diberikan oleh atasannya, sering disalah artikan dan kemudian disalahgunakan. Sehingga ada oknum PNS selalu saja ijin dengan alasan inilah, itulah. Kalau 1 minggu 5 hari kerja bagi PNS, apa masuk akal oknum bersangkutan hanya 2 hari kerja saja nongol di kantor sedangkan hari-hari lainnya selalu di isi dengan ijin dengan berbagai alasan, itu pun kehadirannya maksimal hanya sekitar 2 sampai 3 jam saja. Tentu hal ini sudah ada yang tidak beres bukan? Lagian, kewajibannya “boleh-boleh” saja, akan tetapi haknya kok diambil penuh? Kejadian ini paling menjolok kuamati tatkala Pemkot Denpasar mulai memberi uang lauk-pauk per bulan September tahun 2009 ini. Timbul keriuhan karena kitika pimpinan kami mengatakan bahwa uang lauk-pauk yang diberikan kepada para pegawainya berdasarkan kehadirannya sesuai dengan absen, ada juga yang tidak terima. Dan yang membuat aku geli dan tidak habis pikir, justru mereka yang malas-malas itu justru paling keras protesnya. Meski kehadirinnya di kantor paling sedikit (menurut absen dan itu memang kenyataan), tapi mereka minta dibayar penuh yakni kalau tidak salah dihitung 22 hari kerja.
Ah, benar apa yang disampaikan Pak Sekot, “Kewajibannya ga mau, tapi haknya mau”. Mental PNS yang seperti itu memang masih ada.
Kuakhiri tulisanku ini dengan ajakan kepada teman-teman PNS, marilah kita bersyukur karena kita sedah diberikan kesempatan menjadi PNS. Dengan menjadi PNS, kita dapat mengabdikan diri kepada nusa, bangsa, negara, dan masyarakat.

Rabu, Oktober 14, 2009

TERINSPIRASI



Dalam kehidupan ini, kita sering terinspirasi oleh suatu hal. Inspirasi bisa membuat kita menghasilkan suatu karya. Dalam kehidupan ini, manusia sudah biasa saling terinspirasi. Terinspirasi oleh kegiatan orang lain bukan merupakan plagiator atau peniru. Terinspirasi oleh kegiatan orang lain tidak sama dengan peniru. Kalau terinspirasi, seseorang tergerak hatinya untuk melakukan yang serupa −tapi tidak mirip sekali−. Misalnya seorang pencipta lagu terinspirasi oleh karya cipta pencipta lagu lainnya. Sebuah Grup musik terinspirasi oleh grup musik lainnya. Misalnya saja, grup band Kuburan, dari segi penampilan fisik (wajahnya di make up dengan gaya topeng) mungkin saja terinspirasi oleh sebuah grup musik luar negeri yang terkenal sekitar tahun 80 (kalau ga salah) yang bernama Kiss. Sedangkan Changcutters (benar tulisannya begitu ya) bisa saja dari sebuah gaya penampilan dan ciri fisiknya terinspirasi oleh perpaduan grup band The Beatles dan The Rolling Stones. Ini hanyalah contoh. Disini ke dua grup band itu bukanlah plagiator alias meniru mentah-mentah kepada dua grup band luar negeri tersebut. Mereka hanyalah terinspirasi dari segi gaya penampilannya secara fisik dan gaya panggungnya, tapi tidak meniru lagu-lagunya. Beda kalau plagiator, yang ini betul-betul menjiplak mentah-mentah karya orang lain sampai ke titik komanya. Misalnya kalau aku analogikan lagi di dunia musik, sekitar tahun 80 an ada seorang penyanyi Indonesia yang mem plagiator Mick Jagger –vokalisnya The Rolling Stonnes−. Penyanyi ini benar-benar plagiator sejati. Mungkin karena ia penggemar berat Mick Jagger, keseluruhan gaya Mick Jagger baik di panggung maupun kesehariannya di jiplak mentah-mentah. Dalam konsernya, ia selalu menyanyikan lagu-lagunya Mick Jagger atau Rolling Stones. Bahkan namanya juga mirip yaitu Meky Jagger. Kebetulan juga secara fisik sangat mrirp Jagger terutama sekali bibirnya yang dower.

Atau contoh seputar internet misalnya, bagi mereka yang suka berpetualang di dunia maya (internet), dan ikut dalam salah satu web jejaring sosial tentu menduga-duga bahwasanya Mark Zuckerberg terinspirasi oleh web jejaring sosial pendahulunya yaitu Friendster sehingga ia membuat Facebook.

Kali ini tema blogku bukanlah tentang plagiator, tetapi terinspirasi. Kembali pada tema tulisan ini, dalam kehidupan ini bukan suatu yang haram kalau kita terinspirasi oleh orang lain, baik cara hidupnya, hasil karyanya dan lain sebagainya dengan catatan asal itu yang bersifat positif dan memotivasi diri untuk kemajuan kita.
Karena blog ini kutulis untuk menyalurkan uneg-uneg yang berseliweran dalam benakku, dimana kebetulan aku ini berkecimpung serta profesiku di pendidikan terutama sekali pendidikan non formal, maka yang kubahas kebanyakanlah yang menyangkut soal itu. Di sini aku sangat terinspirasi oleh sebuah film dengan tema pendidikan. Kalau soal film bertemakan atau pun yang berlatar belakang pendidikan sudah banyak di buat oleh para produser Indonesia. Tapi kebanyakan dari film itu objeknya bukan pendidikan. Hanya latar belakangnya saja, misalnya tentang anak SMA yang bercinta seperti “Gita Cinta di SMA” dan sebagainya. Film-film ini hanya menjadikan pendidikan (sekolah) sebagai latar belakang atau tempelan saja. Tema sebenarnya sih cinta remaja. Salah satu dari sedikitnya film yang berobjekkan pendidikan dan yang benar-benar menggugah motivasiku adalah film “LASKAR PELANGI”.

Aku belum sempat nonton film ini di bioskop, tapi aku nontonnya di sebuah acara televisi swasta. Film ini benar-benar meng inspirasi aku. Dimana film ini bercerita tentang sebuah sekolah dasar (SD) di daerah terpencil. Bukan masalah geografis atau daerah terpencilnya itu saja yang aku perhatikan. Akan tetapi yang terutama sekali adalah sikap idialisme para pengajarnya (dua orang guru) yang menggugah nuraniku dan motivasiku. Karena sedikit banyak apa yang dilakukan oleh ke dua pengajar (guru) dalam film itu pernah aku rasakan. Pengajar yang mendapat tantangan dalam menghadapi beberapa kendala baik itu teknis maupun non telnis seperti gedung yang jauh dari representatif untuk disebut tempat belajar. Tentu akan menghabiskan berlembar-lembar halaman kalau semua keadaan dalam film itu aku uraiakan disini. Lagi pula blog ini bukanlah tentang refrensi film. Sekali lagi semangat para pengajarnyalah yang paling menjolok menginspirasi semangatku. Aku lebih termotivasi lagi menggeluti profesiku menjadi seorang tutor (tutor juga guru).

Ditengah-tengah kehidupan saat ini dimana segala sesuatu selalu di ukur dengan rupiah (uang), prilaku kedua guru dalam film itu kemudian tertular dengan semangat belajar para siswanya (sebagai bukti keberhasilan para gurunya membina mentalitas muridnya) adalah sesuatu sikap yang langka pada masa kini. Sedangkan di sisi lain, kalau kita lihat kehidupan di perkotaan (kota disini aku jadikan contoh karena kota adalah pusat segala-galanya; ya pusat pemerintahan, pusat ekonomi, fasilitas lengkap dsbnya), kehidupan sebuah desa seperti di gambarkan dalam film tersebut jauh dari segala sarana prasarana serta infra struktur yang memadai. Namun justru disinilah terlihat adanya tantangannya. Ternyata keunggulan fasilitas berupa sarana prasana serta infra struktur yang serba lengkap bukanlah manjadi ukuran sukses tidaknya suatu usaha, akan tetapi faktor mentalitas manusia jugalah yang memegang peranan penting.

Segala keterbatasan sering sekali membuat dan menggugah semangat motivasi (Bhs. Bali : Jengah) mereka yang berada pada posisi itu. Dalam contoh ini adalah para guru, murid, serta juga masyarakat disekitarnya. Awal dari bangkitnya semangat untuk maju adalah sangat berat di dalam alam dan kondisi seperti yang terlukiskan dalam film itu. Diperlukan seorang yang berjiwa pengabdian dan berjiwa mulia seperti yang terdapat pada diri Pak Harfan dan Ibu Muslimah dua guru SD dalam film itu. Adalah suatu sikap yang sangat naif di tengah-tengah jaman yang materialistis ini terdapat insan pendidik seperti tokoh ke dua guru itu. Sedangkan keseharian, kita sudah terbiasa melihat dalam lingkungan sendiri. Misalnya, dilingkungan dimana aku berprofesi sebagai tutor (maaf bukan maksudku membeberkan keburukan dalam lingkunganku sendiri untuk konsumsi publik. Dalam hal ini kita harus berani melakukan auto kritik demi menuju langkah yang lebih maju). Saat ini, dimana kami yang menjadi tutor di Kejar Paket C tidak lagi mendapat honor karena Paket C adalah program swadaya (beda dengan Paket A dan B yang merupakan program Wajib Belajar 9 tahun). Selain itu tutor yang ber NIP (PNS) sudah diberikan tunjangan profesi seperti yang aku peroleh yaitu tunjangan fungsional. Jadi, semenjak tahun ajaran 2008/2009 kita para tutor tidak lagi mendapatkan honor mengajar (kecuali tutor luar yaitu mereka yang non PNS yang kita tunjuk sebagai tutor. Mereka kita beri ala kadarnya. Dari kondisi di lingkungan kami ini kini terlihatlah diantara kita ini mana yang benar-benar memiliki komitmen untuk mengabdikan diri kepada masyarakat, bangsa, dan negara. Ada yang ogah-ogahan mengajar, mengomel, atau ada juga dengan berbagai alasan dan argumentasi untuk ingin hengkang dari tugasnya. Padahal sebelum tahun ajaran tersebut, merekan bahkan secara diam-diam ada yang mengajar sampai di 3 kelas yang berbeda (dan mereka bahkan diam-diam atau bahasa balinya “klepas-klepes” seperti kalau orang lagi makan sendirian tak ingin dilihat dan diganggu orang lain). Tapi, begitu tidak mendapatkan honor seperti saat ini barulah ketahuan belangnya dan ngomel-ngomel melulu mengatakan tugasnya sangat berat mengajar sampai 3 kelas (padahal dulu saat mendapat honor, “klepas-klepes” sendiri bahkan selalu melobi agar mendapat jatah mengajar lebih banyak dari jumlah mengajar yang hanya 3 kelas itu). Ah, ternyata motivasinya bukanlah pengabdian kepada masyarakat, negara, dan bangsa. Akan tetapi mengabdi pada RUPIAH. Atau bahasa yang sering dilontarkan dikalangan kami terhadap sikap mental orang seperti itu adalah orang-orang yang MENGEJAR SETORAN.

Bagi para tutor yang masih memiliki idialisme atau pun untuk membangkitkan motivasi , film “LASKAR PELANGI” sangatlah baik dijadikan inspirasi untuk memotivasi diri bahwa masih diperlukan insan pendidik seperti tokoh Bapak dan Ibu Guru dalam cerita film tersebut. Apalagi film itu diangkat dari sebuah novel yang merupakan kisah nyata. Dan novelisnya yakni Andrea Hirata adalah salah satu alumni sekolah yang digambarkan dalam film tersebut. Bukan saja menjadi inspirasi para pendidik tapi juga para peserta didik kesetaraan Kejar Paket. Dan aku selalu memberi motivasi para peserta didik (warga belajar) dengan mengisahkan jiwa kepahlawanan para guru serta para murid dari sekolah yang digambarkan dalam film “Laskar Pelangi” tersebut.

Aku sangat mengharapkan agar lahir lagi film-film pembangkit dan penyebar semangat seperti film “Laskar Pelangi” di tengah-tengah menjamurnya tayangan televisi yang meyiarkan sinetron yang akhir-akhir ini lebih mengutamakan sisi komersialnya dan mengenyampingkan sisi pendidikannya. Lebih men “dewa” kan rating tayangan dari pada rating terhadap sisi pembinaan cq pembinaan sikap mental para generasi muda kita.

Sekali lagi, tulisan blogg ku ini bukanlah sebuah refrensi film “Laskar Pelangi”, akan tetapi mengangkat film ini sebagai tema tulisan bukanlah objek, objeknya tetap saja seputar dunia pendidikan dalam hal ini pendidikan non formal. Dengan tulisan ini, penulis berharap agar kita terutama sekali para pendidik khususnya para tutor pada pendidikan kesetaraan tidak hanya melulu memikirkan KEJAR SETORAN, akan tetapi perhatikan pula sisi pengabdiannya. Bukan berarti kita tidak membutuhkan uang, akan tetapi yang proporsional saja sesuai dengan ketentuan dan aturan yang dikeluarkan lembaga atau pemerintah dimana kita mengabdi. Meski apa yang aku tulis ini bagaikan menegakkan benang basah atau melawan arus di tengah-tengah jaman yang menjadikan materi adalah TUHAN, setidaknya masih ada yang mengingatkannya di antara kita. Kita hidup memanglah selalu dan sebaiknya saling mengingatkan dan akan baik sekali segera sadar akan hakikat kita dipercaya menjadi seorang pendidik.

Film “LASKAR PELANGI” kuangkat di sini menjadi contoh dengan tujuan manjadi inspirasi di bidang semangat dan idialisme para pendidiknya kendatipun di tengah-tengah berbagai keterbatasan sarana prasarana serta fasilitas yang jauh dari layak, secara geografis berada di daerah terpencil serta berbagai keterbatasan lainnya lagi. Bahwa semua keterbatasan tersebut tidak dengan sendirinya menjadi kendala dalam meraih suatu sukses dan tidak akan menghalangi lahirnya insan yang berprestasi. Sekali lagi sukses dan prestasi juga sangat ditentukan oleh faktor mentalitas dan keyakinan yang kuat. Kalau meminjam bahasa iklan pada masa kampanye yang lalu yakni bahwa KAMU BISA.

Kusadari tulisan ini sangat jauh dari layak untuk konsumsi para cerdik pandai. Namun demikian mungkin ada diantara pembaca setidaknya terinspirasi oleh maksud tulisan ini sehingga nanti dapat menangkap maksud penulis serta mengulang menuliskannya dengan kualitas yang lebih baik. Mungkin kalau ini media cetak umum dan komersial seperti koran, aku akan ragu mengirimkan untuk dimuat, tapi karena ini blog pribadi jadi aku tidak ada beban menulisnya dan memuatnya. Lagi pula, ini hanyalah uneg-uneg seperti yang selalu kusebutkan selama ini. Uneg-uneg yang dibiarkan liar dibenak dan terbang hilang terlupakan. Tidak ada salahnya kemudian aku salurkan dalam bentuk tulisan. Dan ini aku tulis dengan cepat, hanya dalam waktu sekitar 20 menit sudah selesai. Jadi, kalau ada yang bilang ga bermutu ya bisa aku terima. Sampai disini kuakhiri tulisan ini. Semoga (meski tidak bermutu) tulisan ini dapat menginspirasi para pembaca, kalaupun tidak dari tulisan ini, setidaknya anda terinspirasi oleh sesuatu dalam hidup ini. Misalnya mereka yang saat ini nganggur tidak punya kerja, dapat terinspirasi oleh orang lain yang karena uletnya (bahkan dengan modal 10 ribu rupiah seperti yang ku tonton di sebuah acara TV swasta, ada yang mampu sukses menjadi pengusaha kelas menengah) menjadi orang yang sukses. Sampai jumpa di lain tulisan.

Minggu, September 06, 2009

MEDIA HANYALAH ALAT, BAIK BURUK TERGANTUNG MANUSIANYA

“Anak-anak jangan baca komik ya, komik itu tidak baik,” kata Ibu guru.

Kata-kata itu aku dengar waktu aku masih SD. Aku lupa, duduk dikelas berapa waktu itu..

Dirumah pun orang tuaku berucap senada. Kini setelah dewasa, larangan serupa pun aku dengar lagi, “Jangan ber Facebook, Facebook itu haram!”.

Namun karena aku sudah kecanduan, aku masih membacanya sembunyi-sembunyi. Atau pura-pura belajar, tetapi komiknya aku selipkan di tengah-tengah buku pelajaran.

Aku paham maksud orang-orang tua itu. Larangan itu bermaksud baik, tapi karena penyampaiannya sepotong-sepotong maka dapat menimbulkan salah pengertian.

Komik dan Facebook hanyalah sebuah media. Media itu hanya wadah, hanya alat. Alat untuk menyampaikan pesan dan informasi tentang sesuatu. Komik misalnya, media untuk menyampaikan pesan kepada orang lain. Pesan disini adalah pesan tertulis. Bisa berupa cerita, legenda, hikayat dan sejenisnya. Pesan dari penulisnya atau pengarangnya kepada orang lain yang berminat dalam hal ini para penggemar cerita, kisah, legenda, hikayat dan sejenisnya itu.

Jadi sekali lagi, komik hanyalah sebuah media atau alat. Apakah sebagai media atau alat informasi komik dapat dibilang buruk? Kalau menurutku sih bukan komiknya yang baik atau buruk. Tetapi pesan-pesan yang disampikan dalam komik itulah yang baik atau buruk.

Kalau dianalogikan ke pisau, apakah pisau itu baik atau burukkah? Ya, tergantung siapa yang memegang pisau itu. Kalau yang pegang pisau orang yang normal, maka pisau itu banyak sekali kegunaannya. Misalnya : untuk pekerjaan dapur seperti memotong daging, mengiris bawang dan sebagainya. Tetapi kalau yang memegangnya orang yang abnormal, gila, sedang marah dan emosi, wah bisa berabe sebaiknya jangan dekat-dekat dengan mereka.

Jadi, dari uraian diatas sudah dapat disimpulkan, bukan media atau alat itu yang kita nilai baik atau buruk, tapi mereka yang mengendalikan alat itu lah yang berperan apakah akan menjadi baik atau buruk. Semua hasil budaya manusia apakah akan bermanfaat baik ataukah buruk tergantung dari manusia yang memanfaatkannya. Kalau dicontohkan, sudah banyak contoh yang terjadi semenjak zaman dahulu kala (masa prasejarah ; masa bertanam dan berburu) saat pertama kali meanusia mengenal alat sebagai benda untuk membantu mempermudah hidupnya.

Segala hasil budaya yang ada disekeliling kita jika dipergunakan dengan baik, maka akan berguna. Tapi kalau disalahgunakan akan berakibat buruk. Ketika Albert Einstein menemukan atom, mungkin tak pernah ia bayangkan hasil temuannya itu akan digunakan meluluhlantakkan kota Hirosima dan Nagasaki. Beliau sangat sedih dan marah dengan kejadian itu.

Demikian halnya dengan listrik, nuklir, serta semua hasil budaya manusia lainnya, baik buruknya tergantung manusia penggunanya yang memutuskan, ditujukan untuk kebaikan (bermanfaat) atau keburukan (tidak bermanfaat).

Komik facebook apa bedanya dengan televis, HP, Komputer dan sebagainya hanyalah alat atau media. Baik buruknya ya tergantung si manusia yang menggunakan dan memanfatkan. Pesan informasi pada komik ini dibuat oleh manusia. Sekarang tergantung niat dan maksud sipembuat pesan.

Komik yang disebut-sebut tidak baik itu kalau mengandung pesan yang baik dan berguna apa tetap disebut tidak baik? Umpama saja komik tentang sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Tentang para pahlawan kita dan sebagainya. Tentu kita tidak bisa katakan tidak baik bukan?

Demikian halnya dengan media lain seperti televise, Vidio, surat kabar, Komputer dan berbagai jenis dan bentuk media lainnya. Semuanya hanyalah alat, alat untuk menyampaikan pesan dan informasi. Jadi, bukan alatnya yang baik atau buruk akan tetapi tergantung pesan dan informasi yang terkandung dalam pesan itu.

Aku tahu maksud Guru, Orang tua dan tokoh masyarakat itu. Mereka bermaksud baik. Mereka khawatir jika kita terlalu berlebih-lebihan berkomik ria atau ber facebook, berakibat lupa terhadap tugas-tugas lainya. Para pelajar yang asik membaca komik akan lupa belajar. Demikian juga dengan media lainnya yang membuat kecanduan akan banyak menyita waktu sehingga waktu untuk tugas-tugas lain akan berkurang dan tidak mencukupi.

Para guru dan orang tua kita mengharapkan agar kita pandai-pandai mengatur waktu sehingga kita tidak ketinggalan dalam menuntut ilmu untuk bekal kelak dikemudian hari. Mari kita dengan arif menerima teguran para beliau demi untuk kebaikan kita kelak dikemudian hari.

Rabu, Agustus 05, 2009

KISAH KISAH SEPUTAR SUKA-DUKA MENJADI TUTOR





Setiap orang memiliki masa lalu, itu sudah pasti. Tanpa masa lalu kita tidak mungkin mempunyai masa kini dan masa depan atau masa yang akan datang. Masa kini tidak dapat dipisahkan dengan masa lalu. Atau masa lalu adalah bagian dari pada masa kini serta masa depan. Semua unsur waktu itu adalah bagian dari pada proses perjalanan hidup manusia yang juga merupakan bagian dari makhluk hidup dan alam semesta.

Aku akan membahas masa laluku, tapi masa lalu yang kumaksud disini adalah awal aku memulai profesiku sebagai seorang tutor. Masa-masa awal yang berat dan penuh tantangan dan rasanya sayang untuk dilupakan begitu saja.

Aku mulai menjadi tutor Pendidikan Kesetaraan Kejar Paket pada tahun 1998. Dimulai dari mejadi tutor Kejar Paket B. Menjadi tutor Kejar Paket sudah merupakan salah satu tugas pokok Pamong Belajar Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) Menurut SK MenPAN No. 25/KEP/MK.WASPAN/6/1999 Bab I Pasal 3. pamong belajar mempunyai tiga tugas pokok, yaitu:

a. melaksanakan pengembangan model program pendidikan luar sekolah, pemuda, dan olahraga.
b. melaksanakan kegiatan belajar mengajar dalam rangka pengembangan model dan pembuatan percontohan program pendidikan luar sekolah, pemuda, dan olahraga; dan
c. melaksanakan penilaian dalam rangka pengendalian mutu dan dampak pelaksanaan program pendidikan luar sekolah, pemuda dan Olahraga.

Dengan demikian, menjadi tutor Kejar Paket bagi seorang Pamong Belajar SKB wajib hukumnya.
Pada tahun 1998 para pamong belajar SKB (waktu itu masih bernama UPTD SKB Denpasar Kota) melaksanakan identifikasi di 3 kecamatan Kota Denpasar. Hasil identifikasi terhadap kebutuhan belajar warga masyarakat itu berhasil menjaring calon warga belajar Kejar Paket B. Dari hasil identifikasi itu UPTD SKB Denpasar Kota kemudian membentuk kelompok-kelompok belajar dibeberapa Kelurahan dan Desa di Kecamatan Denpsar Timur dan Denpasar Selatan. Antara lain di Desa Penatih Dangin Puri, Desa Kesiman Petilan, Desa Sanur Kaja Kecamatan Denpasar Timur dan di kampus UPTD SKB Denpasar Kota. Proses belajar mengajar dilaksanakan mulai bulan Juli tahun 1998. Aku sendiri mendapat tugas sebagai tutor Kejar Paket B di Desa Penatih Dangin Puri.

Dalam tulisan blogku kali ini, aku akan menulis seputar pengalamanku dan teman-teman tutor lainnya yang bertugas di Desa Penatih Dangin Puri. Suatu pengalaman yang sarat dengan berbagai tantangan, halangan/kendala serta cobaan berat lainnya. Tentu tak akan pernah kulupakan sepanjang hayatku.

Memotivasi Calon Warga Belajar
Mengajak warga masyarakat untuk belajar di kelompok belajar (Kejar) paket tidaklah mudah. Sesuai denga sebutannya yakni Kejar, kita betul-betul harus mengejar para calon warga belajar ini. Memotivasi mereka dan menjelaskan akan pentingnya pendidikan.

Untuk itu memang perlu memilki kemampuan dalam melakukan pendekatan terhadap sasaran didik ini. Maklumlah, mereka adalah orang-orang yang bermasalah. Bermasalah dalam artian berkaitan dengan berbagai masalah seperti masalah ekonomi sehingga membuat mereka tidak mampu melanjutkan pendidikannya di pendidikan formal.

Faktor-faktor yang paling sering mempengaruhi kegagalan mereka melanjutkan pendidikan formalnya antara lain yang paling signifikan adalah faktor ekonomi. Oleh karena itulah faktor ekonomilah yang lebih mereka perhatikan dari pada pendidikan. Tidak berpendidikan, manusia masih bisa hidup tapi kalau tidak makan bagimana bisa hidup? Demikian dasar pemikiran mereka.

Dengan demikian, konsep KEJAR yaitu bekerja sambil belajar lebih cocok diterapkan dalam menjaring mereka. Berikan mereka mencari pekerjaan dahulu, kemudian sisa waktu yang masih dimiliki inilah kita isi dan ajak mereka belajar. Jadi, bekerja dulu belajar kemudian.

Jika tidak demikian, jangan harap kita akan berhasil mengajak mereka untuk belajar. Bahkan kita akan mendapat tantangan keras terutama sekali oleh orang tua dan keluarganya karena calon warga belajar ini merupakan tulang punggung keluarga.

Kata-kata seperti misalnya : buat apa belajar, itu tetangga kami yang sudah belajar sampai perguruan tinggi dan kini sudah sarjana saja masih menganggur dan belum mendapat pekerjaan. Atau, saudara mengajak anak saya belajar, lalu siapa yang mencari nafkah dan memberi kami makan serta kebutuhan kami sehari-hari?

Ucapan-ucapan senada itulah yang kami terima saat melaksanakan identifikasi. Hal ini dapat kami maklumi. Kami sadar bahwa usaha kami mengajak putra-putrinya atau anggota keluarganya itu seolah-olah merampas orang yang menjadi pahlawan ekonomi keluarganya. Jadi sekali lagi kita perlu memiliki trik-trik khusus dan pendekatan yang persuasive terhadap mereka.

Itulah sebabnya ciri Pendidikan Kesetaraan ini salah satunya harus fleksibel. Fleksibel terhadap tempat belajar, usia sasaran didik dan waktu belajar. Misalnya saja fleksibel terhadap waktu, jika para warga belajar bekerja dari pagi sore hari, maka kita pilih waktu belajarnya malam hari. Seperti yang kami laksanakan pada Kejar Paket-Kejar Paket yang kami bentuk dibeberapa Desa yang sudah kami sebutkan diatas. Waktu belajar yang ideal adalah mulai jam 16.00 sampai dengan jam 21.00 wita. Dengan demikian, disini tidak ada pihak yang dirugikan terutama sekali pihak warga belajar. Pagi sampai sore bekerja, malamanya belajar (KEJAR).

Jemput Bola
Pada saat melaksanakan proses belajar pun kami menghadapi berbagai kendala. Misalnya warga belajar yang bermalas-malasan datang belajar ke tempat belajar. Untuk itu, sebagai tutor kita tidak boleh bersikap formal sebagaimana guru di pendidikan formal. Para tutor harus lebih dulu datang dan menunggu di tempat belajar. Jika tutor belakangan datang dan belum hadir ditempat belajar niscaya para warga belajar akan kembali ke rumahnya masing-masing.
Tak jarang juga kami harus menjemput mereka ke rumahnya masing-masing kemudian membonceng satu persatu ke tempat belajar.

Kendala Cuaca serta Cara memotivasi Diri
Kendala lainya adalah masalah cuaca yang kurang bersahabat. Terutama sekali saat-saat musim penghujan. Pada musim penghujan biasanya warga belajar malas keluar rumah untuk diajak belajar. Mereka lebih memilih tidur dan sembunyi dibalik selimut kedinginan. Demikian juga dengan para tutor. Tutor yang professional, idialis dan memiliki tanggung jawab moral serta memiliki komitmen mengabdikan diri di Pendidikan Non Formal cq Pendidikan Keserataan Kejar Paket tentu akan melaksanakan tugasnya tanpa memperdulikan faktor gangguan cuaca ini. Tidak demikian halnya terhadap tutor yang tidak professional. Syukurlah, kawan-kawan yang bertugas di desa Penatih Dangin Puri ini adalah orang-orang yang professional dan memilki komitmen dan jiwa pengabdian terhadap nusa dan bangsa melalui pendidikan kesetaraan ini.

Dalam menjalani tugas sebagai tutor tak jarang juga timbul kendala yang muncul dari dalam diri sendiri. Misalnya saat-saat seperti mengahadapi cuaca yang tidak ramah. Sebagai suatu contoh, aku pernah terjebak banjir di tengah jalan saat hujan tiba-tiba turun deras. Sebagai tutor yang professional dan bertanggung jawab, aku tetap saja menerobos hujan deras itu menuju tempat belajar Kejar Paket B. Sampai kemudian aku tidak dapat melanjutkan perjalanan karena sepeda motorku mesinnya mati dan macet ditengah jalan. Mana listrik mati lagi sehingga jalan di pedesaan tersebut gelap gilita. Saat itu jam tanganku menunjukkan jam 20.00 wita (aku dapat ngajar jam ke 2 sesuai jadwal).

Kondisi seperti ini sempat meruntuhkan mentalku. Betapa terasa berat saat-saat seperti itu melaksanakan tugas mengabdikan diri kepada nusa dan bangsa. Sementara pada saat bersamaan aku bayangkan teman-teman yang non Pamong Belajar tidur nyenyak atau mungkin sedang bercengkrama dengan keluarga sambil minum kopi hangat dan sepiring pisang goreng sambil menonton tayangan sinetron di TV.
Akan tetapi bayangan pesimistis itu segera buyar digantikan dengan rasa besar hati tatkala aku bayangkan wajah Ki Hajar Dewantara. Aku bayangkan bagaimana pengabdian beliau pada masa lalu dibidang pendidikan untuk memajukan bangsanya. Betapa beliau begitu gigih dan tanpa pamrih mendidik bangsanya agar maju dan sejajar dengan bangsa-bangsa lainnya di dunia ini.

Aku juga membayangkan bagaimana guru-guru di tempat-tempat terpencil seperti pedalaman Kalimantan, Papua dan daerah lainnya yang geografisnya begitu berat dan sulit dijangkau seperti sering kulihat tayangannya di TV. Apa yang kulakukan ini masih belum seberapa dibandingkan yang dilakukan oleh para pahlawan pendidikan itu. Apalagi secara geografis Kota Denpasar tidaklah seberat medan binaan mereka itu. Membayangkan mereka, semangatku kembali bangkit dan tumbuh bahkan bangga menjadi seorang tutor.

Ya, begitulah caraku untuk memotivasi diri agar memiliki semangat dalam melaksanakan pengabdianku kepada bangsa dan negara dengan menjadi tutor Pendidikan Kesetaraan ini. Padahal kalau diingat-ingat pada saat itu para Pamong Belajar belumlah mendapat tunjangan professional.

Lain halnya ketika mengajar di kampus SKB Denpasar Kota. Saat musim hujan aula gedung SKB bocor keras sehingga ruang belajar digenangi air. Apalagi ruang belajar ini area bagian tengahnya lebih rendah sehingga air yang tumpah disana menjadi kolam renang. Kondisi ruangan seperti ini tentu sangat menggangu proses belajar mengajar. Bahkan warga belajar terpaksa jongkok di kursi agar betis mereka tidak terendam air.

“Adik-adik, hari ini pelajaran kita adalah berenang “, selorohku sehingga para warga belajar serempak tertawa. Selorohan untuk membangkitkan suasana belajar agar kita tidak murung dan pesimis.

Selain kendala cuaca seperti diatas, kami juga pernah di kejar-kejar anjing sepanjang jalan di Desa Penatih Dangin Kuri. Ada juga pengalaman horor yang dialami oleh rekan kami (Aku belum pernah mengalaminya dan memang berdoa agar tidak mengalaminya).

Ceritanya begini, saat itu rekan kami Pak Made Suadra, BA akan mengajar Matematika di Kelompok Belajar Paket B Desa Penatih Dangin Puri. Sebagai tutor yang memiliki desiplin yang tinggi, 1 jam sebelum acara dimulai beliau sudah menunggu di beranda Kantor Desa setempat (tempat proses belajar mengajar dilaksanakan). Saat itu jarum jam tangan beliau menunjukkan angka 7.30. Suasana di sana sudah gelap dan sangat sepi. Maklumlah penerangan berupa lampu pijar 25 watt yang tergantung di beranda kantor itu sangat terbatas sinarnya sehingga tidak mampu menerangi halaman kantor itu sampai kepojok dan sudut-sudut halaman.

Selagi menunggu warga belajar tiba-tiba ada sinar api dibawah pohon kepuh (sejenis pohon yang dianggap angker oleh masyarakat Bali). Pada saat itu tidak ada pikiran horor dibenak beliau. Beliau menyangka ada orang yang sedang merokok dibawah pohon. Sebagai seorang perokok, beliau berfikir ada teman yang diajak merokok. Rencananya beliau ingin minta api sebagai basa-basi perkenalan dan teman ngobrol. Namun ketika beliau sudah dekat di tempat api tadi, tiba-tiba saja api itu padam. Dan beliau tidak menemukan siapapun disana. Bahkan diubok-obok pun tempat itu tidak ketemu dengan “perokok” tadi.

Demikian pengalaman-pengalam kami sebagai tutor yang penuh dengan romantika duka .
Selain duka tentu juga ada sukanya. Misalnya saja setelah melaksanakan proses belajar mengajar dengan serius dan sungguh-sungguh, kemudian tatkala semua warga belajar binaan kami di Kecamatan Denpasar Timur dan Denpasar Selatan itu berhasil lulus 100% dalam mengikuti UNPK, inilah rasa suka dan bangga yang kami rasakan. Tak sia-sia lah segala jerih payah kami karena berhasil menuntaskan Wajib Belajar 9 tahun mereka.

Demikian rasa suka dan duka yang akan selalu mengiringi kami dalam melaksanakan pengabdian kepada nusa dan bangsa dalam jalur Pendidikan Non Formal terutama sekali Pendidikan Kesetaraan Paket A, B, dan C serta Keaksaran Fungsional (KF).

Saat ini kondisi Pendidikan Kesetaraan sudah semakin baik. Masyarakat dalam hal ini masyarakat Kota Denpasar sudah mulai percaya dengan Pendidikan Kesetaraan ini. Lain halnya pada masa awal-awal pembentukan kelompok-kelompok belajar Kejar Paket beberapa tahun yang lalu, menjelang tahun ajaran baru, kita para Pamong Belajar SKB Denpasar Kota akan menyebar ke desa-desa untuk menjaring warga belajar, kini para warga belajar sudah mau datang ke kantor kami untuk mendaftarkan diri mengikuti Pendidikan Kesetaraan baik itu Paket A, Paket B terutama sekali Paket C.

Kami tak perlu lagi mengejar-ngejar calon warga belajar seperti berburu di hutan. Kami harapkan semoga kesadaran masyarakat makin baik dan memahami betapa pentingnya pendidikan. Kututup tulisan ini dengan kalimat bijak produk kearifan local warisan leluhur kita, “Amalkanlah ilmu-ilmu yang kamu miliki kepada mereka yang membutuhkan”.

Jumat, Juli 31, 2009

LAYAKKAH KELOMPOK BELAJAR PAKET MENYANDANG PENDIDIKAN KESETARAAN?



“Pak apa saya bisa langsung ke kelas 3 nggak?”, kalimat ini diucapkan oleh salah seorang calon Warga Belajar Kejar Paket C saat mendaftar di lembaga kami. Yang dimaksud kelas 3 adalah kelas XII.
“Adik dulu pernah belajar dimana?”, Tanyaku.
“Dulu saya pernah SMA Pak. Tapi saya berhenti di kelas 1“, jawabnya.
“Ya, kalau dulu DO SMA kelas 1, sekarang kalau mendaftar disini adik kami terima di kelas 1 juga dong”, kataku tanpa kompromi.

Itu adalah sepotong dialog saat penerimaan pendaftaran warga belajar (siswa) Pendidikan Kesetaraan Kejar Paket tahun ajaran baru di UPT SKB Dinas Dikpora Kota Denpasar.

Suatu ketika ketika aku lagi ngajar di kelas, salah seorang warga belajar (selanjutnya disebut WB aja) kelas X Paket C nyeletuk, “Pak, disini kok belajarnya hampir setiap hari sih?”.
Aku heran dengan pertanyaan ini. WB yang bertanya itu adalah WB pindahan dari salah satu PKBM di kota ini. Kemudian aku tanyakan kepadanya cara belajar yang diterapkan di tempat dia belajar dulu,
“Kalau di….(dia menyebut salah satu PKBM di kota ini tempat WB tersebut belajar sebelum dia pindah ke UPT SKB Dinas Dikpora Kota Denpasar ini) kami diberikan berapa buku (modul), lalu kita disuruh belajar sendiri-sendiri dirumah”, katanya.
“Belajar sendiri dirumah tanpa didampingi Tutor (guru)? Kemana kalian akan bertanya kalau kalian tidak paham dengan salah satu pelajaran itu? Lalu bagaimana kalian mendapat nilai raport? Apakah ada ulangan harian dan ulangan umum?”, Tanyaku semakin heran.
“Ya raportnya sudah dibuatin oleh yang punya sekolah (maksudnya penyelenggara PKBM) dan sudah berisi nilai”, katanya.
“Lho, nggak pernah belajar di kelas, tidak pernah mengikuti ulangan, kok dapat raport dan sudah berisi nilai lagi. Kok bisa?”, tanyaku heran.
“Yang penting kita bayar Pak, semuanya beres!”, katanya lagi.
“Ooo begitu ya. Kok pindah kesini. Kan lebih enak belajar disana ya, ga perlu susah-susah lagi belajar dan setiap hari datang kesini”, kataku.
“Sekolahnya sudah bubar Pak”, katanya.
Pada saat lain ada sejumlah WB kelas XI ingin pindah “bedol desa” ke suatu PKBM. Alasanya di tempat itu mereka tidak perlu mengikuti proses belajar bertahun-tahun seperti yang diterapkan di UPT SKB Dinas Dikpora ini. Masih menurut sekelompok WB tersebut, dengan membayar sejumlah uang mereka langsung diterima di kelas XII dan dapat segera mengikuti UNPK tahun itu juga.

Demikianlah berbagai informasi yang aku peroleh seputar Pendidikan Non Formal cq Pendidikan Kesetaraan Kejar Paket.

Bulan Juni yang lalu tepatnya tanggal 23 sampai dengan 26 Juni 2009, aku mendapat tugas menjadi pengawas UNPK (Ujian Nasional Pendidikan Kesetaraan) Paket C Kota Denpasar. Pada setiap kelas dijaga oleh 2 orang pengawas. Aku bertugas dengan seorang Ibu. Ibu (namanya tidak usah aku sebutkan), beliau adalah seorang guru sebuah SMA Swasta di kota ini. Beliau mengajar bidang studi geografi, sama dengan mata pelajaran yang kupegang di kelas X Paket C “Saraswati” UPT SKB Dinas Dikpora Kota Denpasar.

Untuk mencairkan suasana dan mengakrabkan diri dengan beliau sebagai rekan pengawas, aku berbincang-bincang dengan beliau. Ketika kutanya mengapa beliau ikut menjadi pengawas dalam UNPK Paket C ini. Alasannya sederhana saja (sama dengan aku) yaitu karena beliau adalah salah seorang Tutor PKBM (tidak perlu aku tulis disini) di kota ini dan Dinas Dikpora Kota Denpasar menugaskannya menjadi pengawas UNPK Paket C.

Pembicaraanku dengan Ibu Guru yang merangkap tutor Paket C ini semakin nyambung saja karena profesi kami sama. Ketika obyek pembicaraan kami seputar proses belajar di kelompok belajar kami masing-masing, aku dibuat terkejut oleh perkataannya. Bagaimana tidak terkejut? Beliau bilang bahwa proses belajar mengajar kelas X, XI, dan XII di PKBMnya digabung menjadi satu dalam satu kelas.

Weleh, weleh, welel, aku langsung garuk-garuk kepala, “Lha kok digabung? Gimana cara Ibu mengajar?”, tanyaku.

Menurut beliau, penyelenggara mengambil cara ini karena WB yang diperoleh masing-masing kelas sangat sedikit sehingga terpaksa digabung. Apa pun alasannya, solusi yang diambil oleh penyelenggara tidak dapat dipertangungjawabkan.

Tak dapat kubayangkan bagaimana ya 3 kelas dengan tingkatan yang berbeda diajar dalam satu kelas dengan mata pelajaran yang sama? Hm, dimana logikanya ya? Mungkin ini cara mengajar kelas yang paling aneh di dunia.

Ketika jam istirahat setelah sesi pertama berakhir, aku sempat ngobrol dengan salah satu peserta UNPK. Peserta ini adalah seorang perempuan yang sudah berumah tangga dan bekerja disalah satu art shop kerajinan perak di desa Celuk Sukawati Gianyar. Dari pembicaraan itu aku kembali menemukan suatu kejanggalan. Ketika kutanya mulai kelas berapa dia belajar di Kejar Paket C? Dia bilang kelas XII. Dia sempat belajar di sebuah SMA di Jawa hanya sampai kelas XII dan belum lulus UNPK. Oleh karena suatu alasan (tidak dia jelaskan) dia terpaksa DO.

Ketika kutanya apakah ada bukti bahwa dia pernah belajar di kelas XII SMA? Dia tidak bisa menjawab pertanyaanku. Kutanyakan lagi secara lebih spesifik misalnya apakan dia masih punya raport kelas XII? Dia bilang sudah hilang. Lalu kutanyakan lagi, kalau tidak punya raport apakah dia sudah menyertai bukti lain misalnya rekomendasi dari SMAnya dulu? Dia tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyanku bahkan sikapnya agak gugup. Kukejar lagi dengan satu pertanyaan kunci, bagaimana dia bisa ikut belajar di PKBMnya sekarang jika tidak ada bukti-bukti kalau dia pernah duduk di SMA kelas XII? Dia bilang bahwa sudah diurus oleh yang punya PKBM (maksudnya tentu penyelenggara). Kok bisa? Bisa kok Pak asal bayar, katanya sambil menyebutkan sejumlah uang yang membuat aku sampai meleletkan lidah. Hm, jumlah yang cukup besar. Penyelenggaranya mencari kesempatan dalam kesempitan.

Apa yang ku uraikan diatas bukanlah sebuah prolog yang bersifat fiksi dan mengada-ada, tapi betul-betul nyata dan kudengar sendiri. Dari ucapan-ucapan para WB dan salah satu Tutor diatas aku berkesimpulan dan menunjukkan adanya indikasi bahwa ternyata masih ada segelintir penyelenggar Pendidikan Kesetaraan yang “nakal” dan tidak melaksanakan proses belajar mengajar sesuai dengan Kep. Mendiknas RI No. 086/U/2003 tentang penghapusan Pelaksanaan Ujian Persamaan (UPER).

Dengan SK Mendiknas tersebut, tidak ada lagi penyelenggara yang memakai pola lama dimana tidak adanya proses belajar mengajar di dalam kelas tapi langsung menyertakan WBnya dalam UNPK.

Lalu apa hubungannya dengan tema blogku kali ini? Ya, aku hanya mau mempertanyakan, kalau model pembelajaran yang ku uraikan dari interaksiku dengan insan PNF diatas baik dari pihak warga belajar maupun Ibu Tutor pendidikan kesetaraan Kejar Paket tersebut, timbul pertanyaan dibenakku : MASIH LAYAK DAN PANTASKAH KEJAR PAKET MENYANDANG SEBUTAN PENDIDIKAN KESETARAAN? Apanya yang setara? Kualitas atau kuantitas materi mata pelajaran, waktu, sarana/prasarana belajarnya atau apanya? Jujur saja, dari usia sasaran didik/WB kita di Pendidikan Kesetaraan Kejar Paket C “Saraswati” UPT SKB Dinas Dikpora Kota Denpasar selama ini memberi toleransi (kalau tidak ditoleransi nanti dianggap diskriminatif dan melanggar pasal 31 ayat 1 Undang-undang Dasar RI tahun 1945) tidak terbatas terhadap sasaran didik. Akan tetapi untuk proses belajar mengajar, materi pelajaran, kualitas tutor dan beberpa komponen pembelajaran lainnya sangat kami perhatikan. Kami tidak sampai kebablasan seperti apa yang dilakukan oleh beberapa penyelenggara Pendidikan Kesetaraan oleh masyarakat yakni PKBM tertentu di kota ini.

Sebagai lembaga Pendidikan Non Formal dan penyelenggara Pendidikan Kesetaraan milik pemerintah, UPT SKB Dinas Dikpora Kota Denpasar, sudah berusaha melaksanakan aturan dan prosedur yang ketat sesuai TUPOKSI penyelenggaraan Pendidikan Kesetaraan Kejar Paket. Sebagai lembaga pemerintah, kami berusaha maksimal untuk menjadi contoh di ranah PNF dalam mengelola Pendidikan Kesetaraan Kejar Paket secara professional dan dapat dipertanggungjawabkan hasil didikannya kepada masyarakat dan pemerintah kita.

Namun upaya yang kami lakukan akan menjadi sia-sia apabila tidak dibarengi oleh jajaran PNF cq lembaga-lembaga pengelola Pendidikan Kesetaraan lainnya. Berkat kerja keras pemerintah kita, Pendidikan Kesetaraan Kejar Paket akhir-akhir ini sudah semakin di percaya oleh masyarakat. Citra pendidikan kesetaraan Kejar Paket sudah semakin baik. Apalagi dengan adanya Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dimana Pendidikan Non Formal cq Kejar Paket sudah disejajarkan dan DISETARAKAN dengan Pendidikan Formal. Kejar Paket A setara SD, Paket B setara SMP dan Paket C setara SMA. Ini artinya PNF mendapat kepercayaan dari pemerintah sehingga mendapat pengakuan setara dengan Pendidikan Formal. Suatu berkah dari Tuhan dan suatu amanah pemerintah Indonseia yang harus segera dibuktikan dan dipertanggungjawabkan.

Kita juga harus ingat bagaimana gigihnya Mendiknas RI Bapak Prof. Bambang Sudibyo mengangkat dan menaikkan citra Pendidikan Kesetaraan ke level yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya. Bahkan untuk meningkatkan harkat dan martabat Pendidikan Kesetaraan Kejar Paket ini beliau sampai mengeluarkan pernyataan yang bernada ancaman kepada beberapa Perguruan Tinggi agar menerima WB Pendidikan Kesetaraan Paket C ini. Dan apabila ada diantara Perguruan Tinggi tersebut yang masih diskriminatif terhadap lulusan Paket C, tak segan-segan beliau akan mencabut izin operasional Perguruan Tinggi tersebut.

Nah, luar biasa bukan? Sepanjang ingatanku semenjak mengabdikan diri di lembaga pendidikan terutama sekalai Pendidikan Non Formal, belum pernah rasanya ada Menteri Pendidikan yang begitu perhatian terhadap Pendidikan Non Formal terutama Kejar Paket. Sudah selayaknya kita sebagai insan PNF dan penyelenggara Kejar Paket dengan segala upaya meningkatkan kualitas Pendidian Kesetaraan ini sebagai imbangan dan rasa terima kasih terhadap kegigihan Bapak Mendiknas dalam meningkatkan citra PNF khususnya Pendidikan Kesetaraan.Kejar Paket.

Namun apabila kita para insan PNF tidak bisa menjaga mutu dan menjaga citra Pendidikan Kesetaraan oleh ulah segelintir pengelolanya yang kurang professional dalam mengelola manajemen lembaganya, dikhawatirkan citra yang sudah susah payah dibangun akan kembali terperosok seperti yang terjadi pada kurun waktu sebelum reformasi.

Janganlah hanya karena ingin mendapatkan dana dari pemerintah dan meraup keuntungan sesaat dari masyarakat, kemudian beberapa penyelenggara Pendidikan Kesetaraan terutama beberapa PKBM di kota ini menghalalkan segala cara agar lembaganya tetap jalan. Membuat laporan ABS kepada pemerintah agar PKBM yang dikelolanya dapat kucuran dana dan masih dapat melanjutkan eksistensinya. Mengumpulkan WBnya dan mengadakan “Show Proses Belajar Mengajar Sesaat” untuk dipertunjukkan kepada para pejabat daerah (Kadis Dikpora Propinsi, Kadis Dikpora Kota/Kabupaten, Kasubdin PLSPO, BPKB) atau pejabat pemerintah pusat (PTK-PNF, PNFI, BPPNFI) tatkala para pejabat tersebut mengadakan pemantauan ke lembaga Pendidikan Kesetaraan bersangkutan. Dan begitu para pejabat dan tamu tersebut pergi, kemudian back to basic kepada kebiasaan aslinya.

Sikap dari para pengelola tersebut jelas-jelas merupakan sikap pembohongan kepada pemerintah dan pembodohan terhadap masyarakat. Jika pola pikir dan sikap mental seperti itu tidak segera diubah maka PNF cq Pendidikan Kesetaraan Kejar Paket hanya tinggal menunggu keruntuhannya saja.

Marilah kita para insan PNF terutama penyelenggara Pendidikan Kesetaraan Kejar Paket agar bekerja dengan penuh integritas, bertanggung jawab dan profesional dalam menyelenggarakan Pendidikan Kesetaraan ini. Tunjukkan sisi pengabdiannya kepada masyarakat, bangsa dan Negara. Jangan hanya mengeksploitasi sisi komersilnya saja. Ingat juga bahwa Pemerintah memberikan kepercayaan kepada masyarakat menyelenggarakan Pendidikan Kesetaraan ini untuk membantu warga masyarakat yang kurang mampu dan tidak medapat kesempatan memperoleh pendidikan di sekolah formal. Jadi jangan manfaatkan kebutuhan mereka untuk memperoleh layanan pendidikan dengan mengeruk keuntungan pribadi. Kalau bukan kita para insan PNF yang berdiri paling depan dalam membangun dan mengajegkan PNF, siapa lagi? Dengan demikian, PNF tentu tidak dipandang sebelah mata lagi dalam kontribusinya pada dunia pendidikan kita. Sehingga apa yang kita cita-citakan bersama sesuai dengan pembukaan Undang-undang Dasar 1945 yakni mencerdaskan kehidupan bangsa dapat diwujudkan. Dengan kecerdasan itu maka kesejahderaan bangsa pun dapat dicapai.

Tulisan yang kupublikasi di blog ini bukan maksudku meludah ke atas, bukan juga maksudku menggurui, tapi ini adalah auto kritik demi untuk kebaikan bersama. Kita harus mulai dan segera merubah paradigma serta sikap mental yang mengambil jalan pintas bersifat instant. Atau juga meng iming-imingi masyarakat dengan kemudahan memperoleh pendidikan dengan jalan pintas dan cepat dengan imbalan sejumlah uang atau tujuan lain misalnya untuk menjaring warga belajar yang lebih banyak. Suatu cara bersaing diantara penyelenggara Pendidikan Kesetaraan Kejar Paket yang sangat tidak sehat serta dapat mengganggu proses belajar yang baik dan benar dari penyelenggara yang jujur dan professional. Dan pada akhirnya akan mencoreng dan merusak citra Pendidikan Kesetaraan Kejar Paket di mata masyarakat, bangsa dan Negara.

Sekali lagi kusebutkan bahwa perbuatan para penyelenggara Pendidikan Kesetaraan yang “nakal” itu adalah pembehongan kepada pemerintah dan pembodohan kepada masyarakat. Tidak heran jika cara-cara seperti itu adalah salah satu faktor yang ikut memberi kontribusi dan membuat SDM bangsa kita hingga kini peringkatnya masih seputar 107, 111 bahkan pernah 117 dari 170 negara anggota PBB. Indek pembangunan manusia (Human Development Index) merupakan peringkat pembanguan manusia yang dikeluarkan secara berkala oleh UNDP salah satu dari badan PBB. Kalau kita mengacu pada HDI maka kita kalah jauh dibandingkan Negara-negara tetangga kita di kawasan Asia Tenggara. Ini menurut survey yang dilakukan UNDP, bukan mengada-ada.

Produk manusia terdidik yang dihasilkan dari cara-cara jalan pintas untuk kepentingan dan keuntungan sesaat dari beberapa penyelenggara tersebut berdampak tidak baik untuk jangka panjang. Apa yang dapat diharapkan dari output pendidikan seperti itu dalam menyongsong era globalisasi yang penuh daya saing ini?

Kembali kepada tema tulisan ini, yang kukritisi disini terhadap para penyelenggara Pendidikan Kesetaraan ini tentu tidak kugeneralisasi. Masih banyak penyelenggara Pendidikan Kesetaraan yang melaksanakan proses belajar mengajar dengan benar sesuai dengan prosedur. Bagi para penyelenggara Pendidikan Kesetaraan yang “salah jalan”, sebaiknya segera bertobat dan kembali ke “jalan yang benar”. Tinggalkan pola pikir yang sudah ketinggalan zaman itu dan segeralah melakuka reformasi diri. Kita ini punya hati nurani, bersihkanlah hati nurani ini dari “debu-debu” tersebut agar ada niat “meyadnya” demi kemajuan dunia pendidikan kita cq Pendidikan Kesetaraan Kejar Paket.

Jika masih membandel dan melanjutkan cara-cara seperti itu nampaknya pemerintah perlu melakukan tindakan tegas yang bersifat shock therapy seperti mancabut izin operasionalnya, tidak memberikan segala bentuk bantuan baik yang bersifat teknis maupun administrasi. Atau pun tindakan yang besifat membina, Melaksanakan sertifikasi terhadap para penyelenggara Pendidikan Kesetaraan. Hal ini untuk menentukan layak tidaknya suatu lembaga untuk melaksanakan tugas sebagai penyelenggara Pendidikan Kesetaraan Kejar Paket.
Kuakhiri tulisan blog ini dengan memetik ucapan bijak, Katakanlah kebenaran meski pun itu pahit.

Rabu, Juli 15, 2009

KEPUASAN BATIN SEORANG TUTOR


“Selamat Sore Pak Tutor!”, itulah kata-kata yang selalu kudengar setiap malam minggu (hari sabtu jam 18.00 wita).

Kata-kata itu diucapkan serempak oleh sekitar 70 warga belajar Kejar Paket C “Saraswati” dimana aku mengabdikan diriku menjadi seorang Tutor merangkap wali kelasnya.

Tutor adalan sebutan guru pada Pendidikan Non Formal atau Pendidikan Kesetaraan Kejar Paket. Apakah itu kejar Paket A, B, atau C.

Sebagai PNS yang bertugas di jajaran PNF (Pendidikan Non Formal), jabatanku adalah tenaga fungsional yang bertugas di Sanggar Kegiatan Belajar yaitu sebuah lembaga Unit Pelayan Teknis (UPT) Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kota Denpasar. Atau juga sering disebut Pamong Belajar. Dan aku adalah Pamong Belajar Penyelia. Suatu jabatan untuk Golongan III/d non sarjana.

Salah satu Tugas Pokok dan Fungsi (TUPOKSI) Pamong Belajar adalah melaksanakan proses belajar mengajar pada Pendidkan Non Formal.

Di UPT SKB Kota Denpasar ini, aku ditunjuk oleh Penyelenggara cq Kepala SKB mendampingi adik-adik kita warga belajar Kejar Paket C kelas 1 atau kelas X.

Dalam melaksanakan tugasku, aku enjoy saja kendati saat ini para tutor Paket C di SKB ini tidak mendapat honor lagi sejak awal tahun 2009 ini.

Ini dapat aku maklumi karena Paket C bersifat swadaya (mungkin kalau kelak pemerintah melaksanakan wajib belajar 12 tahun, saat itulah Paket C akan memperoleh kucuran dana dari pemerintah RI).

Yah, anggap saja meyadnya dan ini sesuai dengan ajaran agama yang kuanut seperti tersirat dalam kitab suci Bagawad Gita Bab IV tentang Jnãna Yoga tepatnya sloka 33 sbb:

Srayãn draryamayã yajnay
Jnãnayajnah paramtapa
Sarnam karmã ‘kulam pãrtha
Jnãna perisamãpyate

Artinya :

Persembahan berupa ilmu pengetahuan
Lebih bermutu dari pada persembahan materi
Dalam keseluruhan kerja ini
Berpusat pada ilmu pengetahuan

Atau dalam bahasa kesehariannya adalah :
Jangan berikan ikan, lebih baik berikan kail.

Menjadi Tutor adalah tugas mulia karena dapat mengangkat nasib masyarakat yang terpinggirkan dalam bidang pendidikan.

Ya, warga belajar Kejar Paket adalah warga masyarakat yang terpinggirkan karena beberapa faktor antara lain faktor ekonomi, faktor geografis (jauhnya letak sekolah seperti yang dialami oleh warga masyarakat pedalaman dan sukun terasing di beberapa daerah Indonesia), faktor kelalaian warga bersangkutan atau keluarganya (salah pergaulan) dan beberapa faktor lain yang menyebabkan terhambatnya atau drop outnya mereka dari komunitas Pendidikan Formalnya.

Kini aku baru merasa ada kebanggan menjadi seorang Tutor. Waktu masih muda (mungkin waktu SD), bagaimana guru-guruku selalu berkata, Bapak (atau Ibu) guru merasa begitu bangga jika murud-muridnya berhasil menjadi “orang”. Padahal aku tahu waktu jaman itu penghasilan guru sangatlah jauh dari pantas utuk menunjang kehidupan keluarganya. Toh beliau tetap bangga menjadi guru.

Kini setelah berkecimpung pada profesi yang hampir sama (bedanya guru mengajar di penididkan formal sedangkan tutor mengajar di pendidikan non formal) aku rasakan apa yang dirasakan oleh Bapak dan Ibu guruku itu.

Ya, kebanggaan seorang pendidik atas berhasilnya sang anak didik tidak dapat diukur oleh uang. Lebih-lebih bagiku yang berkecimpung dalam Pendidikan Non Formal ini karena yang ku urusi adalah warga masyarakat yang bermasalah. Ya masalah ekonomilah salah satu faktornya sehingga mereka tidak dapat masuk ke sekolah format, juga masalah kelewatan umur dsbnya.
Ya, hanya pendidikan non formalah yang mampu menampung mereka karena faktor-faktor tsb. diatas.

Pendidikan Non Formal tidak mengenal diskriminatif. Misalnya diskriminatif terhadap kemampuan ekonomi warga masyarakat, diskriminatif terutama juga pada usia belajar sasaran didik. Padahal dalam Undang-Undang Dasar 1945 tidak tercantum batasan usia peserta didik. Yang tersirat pada ayat-ayat UUD 1945 ini malah menyangkut hak setiap warga negaranya memperoleh pendidikan bahkan wajib.

Misalnya pasal 31 ayat 1 berbunyi; Setiap warga Negara berhak memperoleh pendidikan. Kemudian ayat 2 berbunyi ; setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Selanjutnya pada pasal 3 tersirat bahwa pemerintah meyelenggarakan pendidikan beserta sistem pendidikannya untuk meningkat kualitas hidup warga negaranya.

Nah, dalam pasal-pasal yang menyangkut pendidikan itu jelas tidak ada ayat-ayat yang diskriminatif, bukan?. Tapi kenyataannya masyarakat yang tidak mampu secara ekonomi dan juga lewat umur tidak dapat di tampung dalam pendidikan formal. Sehingga sebagai alternatifnya kitalah insan pendidikan non formal yang menangani mereka. Itulah yang kumaksud salah satu unsur bahwa warga yang kita tangani di pendidikan non formal (cq Kejar Paket) adalah warga masyarakat sasaran didik yang bermasalah.

Namun justru disinilah tantangannya. Mendidik warga masyarakat yang bermasalah tentu banyak tantangannnya. Namun bila mampu mengatasinya kita selaku pendidik (Tutor) sangatlah bangga. Kita berhasil menyelamatkan mereka yang tadinya sudah tidak ada harapan menjadi punya harapan dalam bidang pendidikan.

Kita berhasil mendaur ulang “sampah” yang tadinya tidak berguna menjadi sesuatu yang berguna. Nah, bukankah ini sangat membanggakan sekali?
Aku masih ingat beberapa tahun yang lewat. Pada saat itu ada suatu wacana politik dimana para caleg harus memiliki syarat “serendah-rendahnya berpendidikan SMA”.
Wacana ini menyebabkan lembaga pendidikan dimana aku mengadikan diriku menjadi tutor diserbu oleh para caleg yang rata-rata sudah lewat umur ini.

Itu hanyalah sebagian kecil contoh bagaimana peranan pendidikan non formal itu penting juga dalam meningkatkan kualitas pendidikan (SDM) serta kualitas harga diri masyarakat dalam bidang pendidikan.

Kalau saja tidak ada pendidikan non formal ini entah bagaimana ya nasib para caleg tersebut.
Sekali lagi, aku bangga menjadi seorang Tutor. Dari segi materi memang tidak dapat diharapkan, tetapi kepuasan batin yang kuperoleh tak dapat dinilai dengan materi.

Suatu hari ketika aku makan di warung nasi, tiba-tiba seorang pemuda mendekatiku sambil mengulurkan tangannya bersalaman. “Pak masih ingat dengan saya?”. Kuamati wajahnya sambil mengingat-ingat. Namun ingatanku akan pemuda ini tak juga muncul-muncul.

“Saya murid Bapak”, katanya lebih lanjut. Lalu ia memperkenalkan namanya. Ternyata ia adalah muridku angkatan ke 2. kalau tidak salah dia tamatan tahun 2004. Ia bercerita bahwa kini ia sudah kuliah disebuah Perguruan tinggi di kota ini. Yang lebih membuat aku terharu ternyata ia sudah diangkat menjadi PNS bahkan satu instansi induk lembaga tempat aku bekerja. Hm, muridku ini kini sudah jadi “orang”. Sudah kerja, sambil kuliah lagi.

Tak terasa mataku menjadi basah saking terharunya.
Mantan muridku ini yang ketika melamar jadi warga belajar di Kejar Paketku umurnya sudah cukup melewati batas ketentuan kalau ia belajar di sekolah formal (SMA). Untung ada Kejar Paket C, kalau tidak ya sampai disana saja nasibnya.

Jadi sekali lagi, orang-orang seperti muridku ini (yang sudah tidak ada harapan lagi diterirama di sekolah formal) nasibnya terselamatkan berkat adanya pendidikan kesetaraan Kejar Paket ini. Ya, inilah kepuasan batin seorang Tutor ketika muridnya berhasil menjadi "orang".
Sudah ratusan warga belajar Kejar Paket yang berhasil kami luluskan melalui Ujian Nasional. Diantaranya ada yang melanjutkan ke perguruan tinggi. Ada yang bekerja dan berbagai profesi lainnya.

Kita harapkan masyarakat dapat menghargai pendidikan non formal ini. Dan arah kesana nampaknya sudah mulai berhasil. Kini masyarakat sudah tidak gengsi lagi untuk belajar di Kelompok-kelompok belajar baik Kejar Paket A, B, dan C.
Marilah kita KEJAR ilmu dengan belajar di KEJAR PAKET. Di KEJAR kita bisa beKErja sambil belaJAR. KEJAR, kejarlah ketertinggalanmu dalam bidang pendidikan.

Selasa, Juli 14, 2009

CURAHAN HATI SEORANG PNS BAG. 2

DESIPLIN

Suatu siang dikantorku kedatangan seorang SPG (Sales Promotion Girl). SPG ini sebenarnya sudah beberapa kali ke kantorku. Mungking dagangan yang dibeli pada kunjungan sebelumnya masih utuh, maka teman-temanku tidak ada lagi yang berminat membeli. Lagian barang-barang yang diwarkan ya jenis-jenis itu saja seperti obat urut, madu, obat luka dari produk perusahaan yang sama.

Hanya karena kasihan saja, aku sudah 2 kali membeli produk yang sama. SPG itu penampilannya agak kumuh, salah satu panca indranya buta. Rambutnya rada awut-awutan, sekujur tubuh berkeringat, pakaian lusuh yah penampilan yang kurang segarlah. Aku memaklumi ini karena SPG ini harus berjalan keliling dari rumah ke rumah, dari kantor satu ke kantor lainnya hingga sampailiah ke kantorku.

Membandingkan dengan SPG itu, aku sering bersyukur karena Tuhan memberkahiku menjadi sorang PNS.

Sebagai PNS, tentu aku tidak ditargetkan untuk mengejar setoran seperti SPG itu. Yang penghasilannya dari persentase dari barang yang berhasil dijual.

Hm, sehari berapa ya dia mendapatkan penghasilan. Belum tentu barangnya laku karena sekarang banyak SPG-SPG yang penampilannya cantik dan sexy dengan berbagai gaya cara menawarkan barangnya batinku.

Belum lagi dia harus makan dan minum dan mungkin juga biaya transportasi. Berpikir seperti itu, sekali lagi aku mensyukuri tentang profesiku sebagai PNS. Dengan pikiran itulah aku berusaha tekun bekerja mengabdikan diri kepada nusa dan bangsa.

SPG yang ku ilustrasikan di atas hanyalah salah satu contoh saja. Masih banyak lagi orang-orang yang menjajakan berbagai produknya ke kantorku. Ada dagang pisau, dagang radio, dagang pakaian dsbnya. Mereka begitu enjoy masuk ke dalam kantorku karena di pintu tidak ada papan larangan. Di kantor lain akan ada tulisan : “MAAF KAMI TIDAK MEMBERI SUMBANGAN”, atau “PARA PEDAGANG DILARANG MASUK” dsbnya.

Kembali ke pokok persoalan. Bercermin dari upaya para pedagang asongan tersebut sekali lagi aku bersyukur menjadi PNS oleh karena itu aku menjalankan tugasku sebaik dan sedisiplin mungkin. Mulai dengan bekerja jam 07.00 sampai jam pulang jam 15.30 (bahkan aku sering masih di kantor sampai jam 17.00 bahkan lewat tentu saja menyelesaikan tugas-tugas kantorku).

Namun yang membuatku sedih ternyata masih banyak yang tidak dapat mensyukuri diri menjadi PNS. Kadangkala aku dan ada seorang temanku seperti aku, kita berdua saja yang masih di kantor sampai jam pulang yakni jam 15.30. Sedangkan rekan-rekan yang lainnya mungkin sudah pada ngorok atau mungkin juga sedang menjalankan bisnisnya di luar profesi PNSnya.

Tidak saja pulang mendahului, masuk kerja pun lebih siangan. Ada yang masuk kerja sudah jam 09.00 bahkan ada yang jam 11.00 lagi. Padahal rumah mereka ada yang hanya berjarak 500 meter saja dari kantor kami. Kemudian pulang mendahului dari jam kerja yang sudah ditentukan pemerintah yakni jam 15.30. Ah, betul-betul sikap mental yang tidak terpuji. Bagaimana bangsa ini bisa maju kalau abdi negaranya seperti ini?

Aku pernah lihat berita di sebiah stasiun televisi tentang penerimaan PNS.
Sebuah instansi pemerintah membuka lowongan PNS. Calon PNS yang di butuhkan hanya beberapa orang saja, tapi yang melamar sampai ribuan orang. Dalam memasukkan lamaran terjadilah antrean yang maha panjang buanget. Karena banyaknya pelamar, maka waktu penerimaan lamarannya pun sampai sore.

Yang membuat aku geleng-geleng kepala adalah, beberapa pelamar malah ada yang sampai buka tenda dan menginap di halaman instansi bersangkutan. Dan ke esokan harinya masih subuh sekitar jam 4 pagi beberapa diantaranya sudah ada yang berdiri di depan loket tempat memasukkan lamaran.

Disini aku gambarkan seperti itu (dan ini memang kenyataan) karena betapa antusiasnya pelamar untuk melamar menjadi PNS. Dengan semangat melamar seperti itu, aku pikir kelak seandainya mereka diterima menjadi PNS, apa semangat seperti itu akan masih ada dalam dirinya?

Kalau aku melihat mentalitas PNS di sekitar tempat aku kerja, aku sering dibuat kecewa. Dari segi hak semangat yang sama yang diperlihatkan oleh pelamar PNS seperti yang kuilustrasikan diatas masih ada. Misalnya saja hak akan naik pangkat (dikantorku sebagian besar PNS nya adalah tenaga fungsional sehingga untuk naik pangkat mereka menggunakan system kredit seperti guru-guru sekolah formal).

Dalam menuntut haknya, mereka sangatlah bersemangat dan menggebu-gebu. Bila biasanya yang bersangkutan masuk kerja jam 09.00 bahkan jam 11.00, namun saat mengerjakan segala persiapan administrasinya, mereka dapat masuk kerja jam 06.30 pagi. Mereka akan ngotot dan berani mengorbankan waktunya sampai sore bahkan tak jarang sampai malam di kantor.
Itu hanyalah salah satu hak yang mereka tuntut demi kepentingannya sendiri. Hak-hak lainnya masih banyak seperti kenaikan gaji berkala, insentif dsbnya.

Namun tatkala saatnya mereka melaksanakan kewajibannya, disinilah kelihatan sikap mentalnya yang sangat berlawanan dengan sikap saat menuntut haknya, mengecawakan sekali. Ada yang malas-malasan, ada yang beralasan akan mengantar/menjemput anaknya yang sekolah atau pulang sekolah, ada yang ini itu dsbnya. Yang jelas, mereka meninggalkan tugas pokoknya sebagai PNS dan lebih mementingkan tugas pribadinya. Jadi, apa artinya sumpah pegawai ketika mereka dilantik sebagai pegawai atau pejabat kalau mentalisanya hanya seperti itu?

Mengapa mereka tidak mampu memberi kontribusi yang seimbang (apalagi lebih) atas hak yang telah mereka terima? Bukanlah pemerintah sudah menaikkan gaji PNS? Memberikan insentif setiap bulan? Memberi gaji ke 13 setiap tahun? Dan berbagai tambahan diluar gaji yang sah sesuai dengan aturan pemerintah yang berlaku? Kok masih saja tidak bisa memberikan kontribusi yang baik kepada pemerinrtah dan Negara?

Lihatlah para SPG yang sudah di ilustrsikan pada awal tulisan ini? Mereka bekerja begitu berat untuk memperoleh sesuap nasi untuk keperluan keluarganya. Ingat juga saat-saat melamar menjadi PNS seperti terlukiskan diatas, mengapa kita tak sesemangat itu?
Demi menjalani profesi yang kita kejar sepeti diatas, seharusnya dalam melaksanakan pengabdian pun kita berani pasang tenda dan bermalam di kantor. Tapi ah sungguh mengecewakan.

Tapi apa yang kutulis sebagai curhatku ini bukan kutujukan kepada semua PNS. Tidak semua PNS seperti itu. Masih banyak yang baik dan jujur serta berdisiplin. Seperti pelajaran kearifan local warisan leluhur kita, bahwa di dunia ini selalu ada dua unsur yang bertentangan satu dengan lainnya. Ada baik ada buruk, ada siang ada malam, ada rajin ada malas dstnya.

Demikian hal nya dengan PNS. Ada yang rajin sudah tentu ada yang malas. Ada yang jujur ada yang tidak jujur dstnya. Marilah kita bersyukur, semoga dengan bersyukur atas kemurahanNya, bersyukur karena keadaan kita lebih baik dibandingkan para SPG dan pedagang acung ataupun profesi-profesi lain yang tidak senyaman profesi PNS, supaya kita segera sadar dan kemudian dapat bekerja dengan lebih baik dan berdisiplin.

Kututup saja curhatku ini dengan ucapan-ucapan bijak yang pernah kudengar : “JANGANLAH KAMU MELIHAT ORANG BERMOBIL KETIKA KAMU HANYA BERSEPEDA MOTOR. TAPI LIHATLAH MEREKA YANG BERSEPEDA GAYUNG. JANGANLAH KAMU MELIHAT ORANG YANG BERSEPEDA MOTOR TATKALA KAMU BERSEPEDA GAYUNG, TAPI LIHATLAH MEREKA YANG JALAN KAKI. JANGANLAH KAMU LIHAT ORANG YANG BERSEPEDA GAYUNG TATKALA KAMU BERJALAN KAKI. TAPI LIHATLAH MEREKA YANG CACAT TAK BERKAKI”.

Kusadari mutu tulisanku sangat rendah. Mungkin tak layak dikonsumsi oleh para cerdik pandai. Namun aku akan tetap menulis di blogku ini untuk menyalurkan uneg-uneggu. Kendati untuk itu aku menjadi bahan tertawaan ataupun olok-olokan. Sekian sampai Jumpa.

Selasa, Juni 30, 2009

CURAHAN HATI SEORANG PNS BAG. 1


Puji dan syukur aku panjatkan kehadirat Tuhan YME/Ida Sang Hyang Widhi Wasa karena disela-sela kesibukannku mengabdi kepada negara, aku akhirnya dapat membuat Blog ini. Sudah lama aku berobsesi membuat sebuah blog, namun karena alasan itu tadi (sibuk) beberapa kali tertunda.

Dengan blog ini, aku bisa menyalurkan uneg-unegku, isi pikiranku, kehidupanku, pengalaman pribadiku dll.

Aku sendiri tidak suka menulis buku harian, entah kenapa pokoknya tidak suka aja. Tapi pada masa kemajuan IT ini, aku sangat suka semua yang berbau komputer termasuk IT didalamnya. Dan dengan blog ini, aku sekarang bisa menuliskan apa saja yang sedang kupirkan.

Jika pikiran-pikiran yang selama ini berputar-putar dalam otakku, kini saatnya dapat aku salurkan via tulisan-tulisan dalam blog milikku ini.

Aku harus berterima kasih kepada orang pintar yang menghasilkan Teknologi Informasi ini. Aku sudah punya FACEBOOK, aku banyak punya E-Mail baik itu Yahoo maupun GMail.

Kalau aku flashback ke masa lalu, awal-awal karirku jadi PNS dan bertugas di SKB Kota Denpasar (tempat aku mengabdi hingga saat ini), jobku juga tidak jauh amat dari soal tulis-menulis.

Dulu (sebelum Th. 2000), setiap SKB di seluruh Indonesia pasti punya bulletin sebagai media penyebaran berita-berita kegiatan program SKB ataupun ajang tulis menulis bagi unsur Pimpinan dan staf SKB. Saat itu di SKB Kota Denpasar (masih bernama SKB Kesiman kemudian SKB Denpasar Kota) aku lah yang mengelola bulletin ini. Bentuknya sangat sederhana (semua buletin SKB juga seperti itu) masih dengan stensilan dan sangat kurang menarik.
Sebagai pengelola buletin SKB saat itu, aku benar-benar "One Man Show". Maksudnya semua pekerjaan untuk menerbitkan buletin benar-benar aku lerjakan sendiri. Mulai dari menyiapkan naskah seperti menulis berita-berita kegiatan SKB, menulis artikel, membuat ilustrasi, me lay out, kemudian menggandakan ke tukang foto copy, memasukkan ke dalam amplop sekali-kali juga mengirimkan via kantor pos atau lembaga terkait dalam satu kota aku antar sendiri. Nah, sistem kerja yang edan bukan?
Bukannya ga ada tim kerja (cuma seperti sekarang ini aku nge job di data, semua rekan-rekan juga sok sibuk), cuma mereka -pada umumnya bangsa kita- tidak suka menulis juga tidak suka membaca. Yah, bangsa kita memang kebanyakan seperti itu -tidak memiliki budaya baca-. Cara kerja seperti itu aku lakoni sampai memasuki masa otonomi daerah memasuki tahun 2000.
Kalaupun dalam buletin itu ada susunan redaksi, itu hanya pajangan. Realnya akulah semua yang mengerjakan (kalau ga dikerjakan ya kan sudah dianggarkan, bisa di tegur tuh oleh BPK). Di rapat-rapat rutin yang dilaksanakan setiap bulan, aku selalu sampaikan agar setiap karyawan mulai pimpinan sampai semua staf agar mengisi buletin kita, jawabnya sih ya ya aja tapi ga ada realisasinya.
Sudahlah, itu masa lalu. Aku yang kutu buku ini (gajiku senagai PNS golongan kecil sebagian aku belikan buku-buku, novel, majalah dsbnya hal itu kulakukan sampai sekarang hingga rak bukuku sudah menyamai perpustakaan sebuah lembaga) sedikit banyak dapat menolong wawasanku sehingga aku dapat menulis dengan lancar (padahal aku bukan sarjana).
Kini aku sudah punya blog, dengan blog ini aku dapat menyalurkan segala uneg-uneg, ide-ide dan segala pikiran yang berseliweran di benakku. Aku sadar, mungkin gaya tulisanku ini bagi para penulis ternama tidak ada mutunya, tapi aku akan selalu menulis dan menulis sampai aku pensiun sebagai PNS kelak. Seperti kata pepatah "Setumpul-tumpulnya pisau, kalau di asah terus akan tajam jua". Yah, aku akan asah terus kegemaranku menulis. Aku tak peduli, apakah ada yang membaca tulisanku atau tidak, aku akan terus menulis.