Rabu, Oktober 14, 2009

TERINSPIRASI



Dalam kehidupan ini, kita sering terinspirasi oleh suatu hal. Inspirasi bisa membuat kita menghasilkan suatu karya. Dalam kehidupan ini, manusia sudah biasa saling terinspirasi. Terinspirasi oleh kegiatan orang lain bukan merupakan plagiator atau peniru. Terinspirasi oleh kegiatan orang lain tidak sama dengan peniru. Kalau terinspirasi, seseorang tergerak hatinya untuk melakukan yang serupa −tapi tidak mirip sekali−. Misalnya seorang pencipta lagu terinspirasi oleh karya cipta pencipta lagu lainnya. Sebuah Grup musik terinspirasi oleh grup musik lainnya. Misalnya saja, grup band Kuburan, dari segi penampilan fisik (wajahnya di make up dengan gaya topeng) mungkin saja terinspirasi oleh sebuah grup musik luar negeri yang terkenal sekitar tahun 80 (kalau ga salah) yang bernama Kiss. Sedangkan Changcutters (benar tulisannya begitu ya) bisa saja dari sebuah gaya penampilan dan ciri fisiknya terinspirasi oleh perpaduan grup band The Beatles dan The Rolling Stones. Ini hanyalah contoh. Disini ke dua grup band itu bukanlah plagiator alias meniru mentah-mentah kepada dua grup band luar negeri tersebut. Mereka hanyalah terinspirasi dari segi gaya penampilannya secara fisik dan gaya panggungnya, tapi tidak meniru lagu-lagunya. Beda kalau plagiator, yang ini betul-betul menjiplak mentah-mentah karya orang lain sampai ke titik komanya. Misalnya kalau aku analogikan lagi di dunia musik, sekitar tahun 80 an ada seorang penyanyi Indonesia yang mem plagiator Mick Jagger –vokalisnya The Rolling Stonnes−. Penyanyi ini benar-benar plagiator sejati. Mungkin karena ia penggemar berat Mick Jagger, keseluruhan gaya Mick Jagger baik di panggung maupun kesehariannya di jiplak mentah-mentah. Dalam konsernya, ia selalu menyanyikan lagu-lagunya Mick Jagger atau Rolling Stones. Bahkan namanya juga mirip yaitu Meky Jagger. Kebetulan juga secara fisik sangat mrirp Jagger terutama sekali bibirnya yang dower.

Atau contoh seputar internet misalnya, bagi mereka yang suka berpetualang di dunia maya (internet), dan ikut dalam salah satu web jejaring sosial tentu menduga-duga bahwasanya Mark Zuckerberg terinspirasi oleh web jejaring sosial pendahulunya yaitu Friendster sehingga ia membuat Facebook.

Kali ini tema blogku bukanlah tentang plagiator, tetapi terinspirasi. Kembali pada tema tulisan ini, dalam kehidupan ini bukan suatu yang haram kalau kita terinspirasi oleh orang lain, baik cara hidupnya, hasil karyanya dan lain sebagainya dengan catatan asal itu yang bersifat positif dan memotivasi diri untuk kemajuan kita.
Karena blog ini kutulis untuk menyalurkan uneg-uneg yang berseliweran dalam benakku, dimana kebetulan aku ini berkecimpung serta profesiku di pendidikan terutama sekali pendidikan non formal, maka yang kubahas kebanyakanlah yang menyangkut soal itu. Di sini aku sangat terinspirasi oleh sebuah film dengan tema pendidikan. Kalau soal film bertemakan atau pun yang berlatar belakang pendidikan sudah banyak di buat oleh para produser Indonesia. Tapi kebanyakan dari film itu objeknya bukan pendidikan. Hanya latar belakangnya saja, misalnya tentang anak SMA yang bercinta seperti “Gita Cinta di SMA” dan sebagainya. Film-film ini hanya menjadikan pendidikan (sekolah) sebagai latar belakang atau tempelan saja. Tema sebenarnya sih cinta remaja. Salah satu dari sedikitnya film yang berobjekkan pendidikan dan yang benar-benar menggugah motivasiku adalah film “LASKAR PELANGI”.

Aku belum sempat nonton film ini di bioskop, tapi aku nontonnya di sebuah acara televisi swasta. Film ini benar-benar meng inspirasi aku. Dimana film ini bercerita tentang sebuah sekolah dasar (SD) di daerah terpencil. Bukan masalah geografis atau daerah terpencilnya itu saja yang aku perhatikan. Akan tetapi yang terutama sekali adalah sikap idialisme para pengajarnya (dua orang guru) yang menggugah nuraniku dan motivasiku. Karena sedikit banyak apa yang dilakukan oleh ke dua pengajar (guru) dalam film itu pernah aku rasakan. Pengajar yang mendapat tantangan dalam menghadapi beberapa kendala baik itu teknis maupun non telnis seperti gedung yang jauh dari representatif untuk disebut tempat belajar. Tentu akan menghabiskan berlembar-lembar halaman kalau semua keadaan dalam film itu aku uraiakan disini. Lagi pula blog ini bukanlah tentang refrensi film. Sekali lagi semangat para pengajarnyalah yang paling menjolok menginspirasi semangatku. Aku lebih termotivasi lagi menggeluti profesiku menjadi seorang tutor (tutor juga guru).

Ditengah-tengah kehidupan saat ini dimana segala sesuatu selalu di ukur dengan rupiah (uang), prilaku kedua guru dalam film itu kemudian tertular dengan semangat belajar para siswanya (sebagai bukti keberhasilan para gurunya membina mentalitas muridnya) adalah sesuatu sikap yang langka pada masa kini. Sedangkan di sisi lain, kalau kita lihat kehidupan di perkotaan (kota disini aku jadikan contoh karena kota adalah pusat segala-galanya; ya pusat pemerintahan, pusat ekonomi, fasilitas lengkap dsbnya), kehidupan sebuah desa seperti di gambarkan dalam film tersebut jauh dari segala sarana prasarana serta infra struktur yang memadai. Namun justru disinilah terlihat adanya tantangannya. Ternyata keunggulan fasilitas berupa sarana prasana serta infra struktur yang serba lengkap bukanlah manjadi ukuran sukses tidaknya suatu usaha, akan tetapi faktor mentalitas manusia jugalah yang memegang peranan penting.

Segala keterbatasan sering sekali membuat dan menggugah semangat motivasi (Bhs. Bali : Jengah) mereka yang berada pada posisi itu. Dalam contoh ini adalah para guru, murid, serta juga masyarakat disekitarnya. Awal dari bangkitnya semangat untuk maju adalah sangat berat di dalam alam dan kondisi seperti yang terlukiskan dalam film itu. Diperlukan seorang yang berjiwa pengabdian dan berjiwa mulia seperti yang terdapat pada diri Pak Harfan dan Ibu Muslimah dua guru SD dalam film itu. Adalah suatu sikap yang sangat naif di tengah-tengah jaman yang materialistis ini terdapat insan pendidik seperti tokoh ke dua guru itu. Sedangkan keseharian, kita sudah terbiasa melihat dalam lingkungan sendiri. Misalnya, dilingkungan dimana aku berprofesi sebagai tutor (maaf bukan maksudku membeberkan keburukan dalam lingkunganku sendiri untuk konsumsi publik. Dalam hal ini kita harus berani melakukan auto kritik demi menuju langkah yang lebih maju). Saat ini, dimana kami yang menjadi tutor di Kejar Paket C tidak lagi mendapat honor karena Paket C adalah program swadaya (beda dengan Paket A dan B yang merupakan program Wajib Belajar 9 tahun). Selain itu tutor yang ber NIP (PNS) sudah diberikan tunjangan profesi seperti yang aku peroleh yaitu tunjangan fungsional. Jadi, semenjak tahun ajaran 2008/2009 kita para tutor tidak lagi mendapatkan honor mengajar (kecuali tutor luar yaitu mereka yang non PNS yang kita tunjuk sebagai tutor. Mereka kita beri ala kadarnya. Dari kondisi di lingkungan kami ini kini terlihatlah diantara kita ini mana yang benar-benar memiliki komitmen untuk mengabdikan diri kepada masyarakat, bangsa, dan negara. Ada yang ogah-ogahan mengajar, mengomel, atau ada juga dengan berbagai alasan dan argumentasi untuk ingin hengkang dari tugasnya. Padahal sebelum tahun ajaran tersebut, merekan bahkan secara diam-diam ada yang mengajar sampai di 3 kelas yang berbeda (dan mereka bahkan diam-diam atau bahasa balinya “klepas-klepes” seperti kalau orang lagi makan sendirian tak ingin dilihat dan diganggu orang lain). Tapi, begitu tidak mendapatkan honor seperti saat ini barulah ketahuan belangnya dan ngomel-ngomel melulu mengatakan tugasnya sangat berat mengajar sampai 3 kelas (padahal dulu saat mendapat honor, “klepas-klepes” sendiri bahkan selalu melobi agar mendapat jatah mengajar lebih banyak dari jumlah mengajar yang hanya 3 kelas itu). Ah, ternyata motivasinya bukanlah pengabdian kepada masyarakat, negara, dan bangsa. Akan tetapi mengabdi pada RUPIAH. Atau bahasa yang sering dilontarkan dikalangan kami terhadap sikap mental orang seperti itu adalah orang-orang yang MENGEJAR SETORAN.

Bagi para tutor yang masih memiliki idialisme atau pun untuk membangkitkan motivasi , film “LASKAR PELANGI” sangatlah baik dijadikan inspirasi untuk memotivasi diri bahwa masih diperlukan insan pendidik seperti tokoh Bapak dan Ibu Guru dalam cerita film tersebut. Apalagi film itu diangkat dari sebuah novel yang merupakan kisah nyata. Dan novelisnya yakni Andrea Hirata adalah salah satu alumni sekolah yang digambarkan dalam film tersebut. Bukan saja menjadi inspirasi para pendidik tapi juga para peserta didik kesetaraan Kejar Paket. Dan aku selalu memberi motivasi para peserta didik (warga belajar) dengan mengisahkan jiwa kepahlawanan para guru serta para murid dari sekolah yang digambarkan dalam film “Laskar Pelangi” tersebut.

Aku sangat mengharapkan agar lahir lagi film-film pembangkit dan penyebar semangat seperti film “Laskar Pelangi” di tengah-tengah menjamurnya tayangan televisi yang meyiarkan sinetron yang akhir-akhir ini lebih mengutamakan sisi komersialnya dan mengenyampingkan sisi pendidikannya. Lebih men “dewa” kan rating tayangan dari pada rating terhadap sisi pembinaan cq pembinaan sikap mental para generasi muda kita.

Sekali lagi, tulisan blogg ku ini bukanlah sebuah refrensi film “Laskar Pelangi”, akan tetapi mengangkat film ini sebagai tema tulisan bukanlah objek, objeknya tetap saja seputar dunia pendidikan dalam hal ini pendidikan non formal. Dengan tulisan ini, penulis berharap agar kita terutama sekali para pendidik khususnya para tutor pada pendidikan kesetaraan tidak hanya melulu memikirkan KEJAR SETORAN, akan tetapi perhatikan pula sisi pengabdiannya. Bukan berarti kita tidak membutuhkan uang, akan tetapi yang proporsional saja sesuai dengan ketentuan dan aturan yang dikeluarkan lembaga atau pemerintah dimana kita mengabdi. Meski apa yang aku tulis ini bagaikan menegakkan benang basah atau melawan arus di tengah-tengah jaman yang menjadikan materi adalah TUHAN, setidaknya masih ada yang mengingatkannya di antara kita. Kita hidup memanglah selalu dan sebaiknya saling mengingatkan dan akan baik sekali segera sadar akan hakikat kita dipercaya menjadi seorang pendidik.

Film “LASKAR PELANGI” kuangkat di sini menjadi contoh dengan tujuan manjadi inspirasi di bidang semangat dan idialisme para pendidiknya kendatipun di tengah-tengah berbagai keterbatasan sarana prasarana serta fasilitas yang jauh dari layak, secara geografis berada di daerah terpencil serta berbagai keterbatasan lainnya lagi. Bahwa semua keterbatasan tersebut tidak dengan sendirinya menjadi kendala dalam meraih suatu sukses dan tidak akan menghalangi lahirnya insan yang berprestasi. Sekali lagi sukses dan prestasi juga sangat ditentukan oleh faktor mentalitas dan keyakinan yang kuat. Kalau meminjam bahasa iklan pada masa kampanye yang lalu yakni bahwa KAMU BISA.

Kusadari tulisan ini sangat jauh dari layak untuk konsumsi para cerdik pandai. Namun demikian mungkin ada diantara pembaca setidaknya terinspirasi oleh maksud tulisan ini sehingga nanti dapat menangkap maksud penulis serta mengulang menuliskannya dengan kualitas yang lebih baik. Mungkin kalau ini media cetak umum dan komersial seperti koran, aku akan ragu mengirimkan untuk dimuat, tapi karena ini blog pribadi jadi aku tidak ada beban menulisnya dan memuatnya. Lagi pula, ini hanyalah uneg-uneg seperti yang selalu kusebutkan selama ini. Uneg-uneg yang dibiarkan liar dibenak dan terbang hilang terlupakan. Tidak ada salahnya kemudian aku salurkan dalam bentuk tulisan. Dan ini aku tulis dengan cepat, hanya dalam waktu sekitar 20 menit sudah selesai. Jadi, kalau ada yang bilang ga bermutu ya bisa aku terima. Sampai disini kuakhiri tulisan ini. Semoga (meski tidak bermutu) tulisan ini dapat menginspirasi para pembaca, kalaupun tidak dari tulisan ini, setidaknya anda terinspirasi oleh sesuatu dalam hidup ini. Misalnya mereka yang saat ini nganggur tidak punya kerja, dapat terinspirasi oleh orang lain yang karena uletnya (bahkan dengan modal 10 ribu rupiah seperti yang ku tonton di sebuah acara TV swasta, ada yang mampu sukses menjadi pengusaha kelas menengah) menjadi orang yang sukses. Sampai jumpa di lain tulisan.

Tidak ada komentar: