Jumat, Juli 31, 2009

LAYAKKAH KELOMPOK BELAJAR PAKET MENYANDANG PENDIDIKAN KESETARAAN?



“Pak apa saya bisa langsung ke kelas 3 nggak?”, kalimat ini diucapkan oleh salah seorang calon Warga Belajar Kejar Paket C saat mendaftar di lembaga kami. Yang dimaksud kelas 3 adalah kelas XII.
“Adik dulu pernah belajar dimana?”, Tanyaku.
“Dulu saya pernah SMA Pak. Tapi saya berhenti di kelas 1“, jawabnya.
“Ya, kalau dulu DO SMA kelas 1, sekarang kalau mendaftar disini adik kami terima di kelas 1 juga dong”, kataku tanpa kompromi.

Itu adalah sepotong dialog saat penerimaan pendaftaran warga belajar (siswa) Pendidikan Kesetaraan Kejar Paket tahun ajaran baru di UPT SKB Dinas Dikpora Kota Denpasar.

Suatu ketika ketika aku lagi ngajar di kelas, salah seorang warga belajar (selanjutnya disebut WB aja) kelas X Paket C nyeletuk, “Pak, disini kok belajarnya hampir setiap hari sih?”.
Aku heran dengan pertanyaan ini. WB yang bertanya itu adalah WB pindahan dari salah satu PKBM di kota ini. Kemudian aku tanyakan kepadanya cara belajar yang diterapkan di tempat dia belajar dulu,
“Kalau di….(dia menyebut salah satu PKBM di kota ini tempat WB tersebut belajar sebelum dia pindah ke UPT SKB Dinas Dikpora Kota Denpasar ini) kami diberikan berapa buku (modul), lalu kita disuruh belajar sendiri-sendiri dirumah”, katanya.
“Belajar sendiri dirumah tanpa didampingi Tutor (guru)? Kemana kalian akan bertanya kalau kalian tidak paham dengan salah satu pelajaran itu? Lalu bagaimana kalian mendapat nilai raport? Apakah ada ulangan harian dan ulangan umum?”, Tanyaku semakin heran.
“Ya raportnya sudah dibuatin oleh yang punya sekolah (maksudnya penyelenggara PKBM) dan sudah berisi nilai”, katanya.
“Lho, nggak pernah belajar di kelas, tidak pernah mengikuti ulangan, kok dapat raport dan sudah berisi nilai lagi. Kok bisa?”, tanyaku heran.
“Yang penting kita bayar Pak, semuanya beres!”, katanya lagi.
“Ooo begitu ya. Kok pindah kesini. Kan lebih enak belajar disana ya, ga perlu susah-susah lagi belajar dan setiap hari datang kesini”, kataku.
“Sekolahnya sudah bubar Pak”, katanya.
Pada saat lain ada sejumlah WB kelas XI ingin pindah “bedol desa” ke suatu PKBM. Alasanya di tempat itu mereka tidak perlu mengikuti proses belajar bertahun-tahun seperti yang diterapkan di UPT SKB Dinas Dikpora ini. Masih menurut sekelompok WB tersebut, dengan membayar sejumlah uang mereka langsung diterima di kelas XII dan dapat segera mengikuti UNPK tahun itu juga.

Demikianlah berbagai informasi yang aku peroleh seputar Pendidikan Non Formal cq Pendidikan Kesetaraan Kejar Paket.

Bulan Juni yang lalu tepatnya tanggal 23 sampai dengan 26 Juni 2009, aku mendapat tugas menjadi pengawas UNPK (Ujian Nasional Pendidikan Kesetaraan) Paket C Kota Denpasar. Pada setiap kelas dijaga oleh 2 orang pengawas. Aku bertugas dengan seorang Ibu. Ibu (namanya tidak usah aku sebutkan), beliau adalah seorang guru sebuah SMA Swasta di kota ini. Beliau mengajar bidang studi geografi, sama dengan mata pelajaran yang kupegang di kelas X Paket C “Saraswati” UPT SKB Dinas Dikpora Kota Denpasar.

Untuk mencairkan suasana dan mengakrabkan diri dengan beliau sebagai rekan pengawas, aku berbincang-bincang dengan beliau. Ketika kutanya mengapa beliau ikut menjadi pengawas dalam UNPK Paket C ini. Alasannya sederhana saja (sama dengan aku) yaitu karena beliau adalah salah seorang Tutor PKBM (tidak perlu aku tulis disini) di kota ini dan Dinas Dikpora Kota Denpasar menugaskannya menjadi pengawas UNPK Paket C.

Pembicaraanku dengan Ibu Guru yang merangkap tutor Paket C ini semakin nyambung saja karena profesi kami sama. Ketika obyek pembicaraan kami seputar proses belajar di kelompok belajar kami masing-masing, aku dibuat terkejut oleh perkataannya. Bagaimana tidak terkejut? Beliau bilang bahwa proses belajar mengajar kelas X, XI, dan XII di PKBMnya digabung menjadi satu dalam satu kelas.

Weleh, weleh, welel, aku langsung garuk-garuk kepala, “Lha kok digabung? Gimana cara Ibu mengajar?”, tanyaku.

Menurut beliau, penyelenggara mengambil cara ini karena WB yang diperoleh masing-masing kelas sangat sedikit sehingga terpaksa digabung. Apa pun alasannya, solusi yang diambil oleh penyelenggara tidak dapat dipertangungjawabkan.

Tak dapat kubayangkan bagaimana ya 3 kelas dengan tingkatan yang berbeda diajar dalam satu kelas dengan mata pelajaran yang sama? Hm, dimana logikanya ya? Mungkin ini cara mengajar kelas yang paling aneh di dunia.

Ketika jam istirahat setelah sesi pertama berakhir, aku sempat ngobrol dengan salah satu peserta UNPK. Peserta ini adalah seorang perempuan yang sudah berumah tangga dan bekerja disalah satu art shop kerajinan perak di desa Celuk Sukawati Gianyar. Dari pembicaraan itu aku kembali menemukan suatu kejanggalan. Ketika kutanya mulai kelas berapa dia belajar di Kejar Paket C? Dia bilang kelas XII. Dia sempat belajar di sebuah SMA di Jawa hanya sampai kelas XII dan belum lulus UNPK. Oleh karena suatu alasan (tidak dia jelaskan) dia terpaksa DO.

Ketika kutanya apakah ada bukti bahwa dia pernah belajar di kelas XII SMA? Dia tidak bisa menjawab pertanyaanku. Kutanyakan lagi secara lebih spesifik misalnya apakan dia masih punya raport kelas XII? Dia bilang sudah hilang. Lalu kutanyakan lagi, kalau tidak punya raport apakah dia sudah menyertai bukti lain misalnya rekomendasi dari SMAnya dulu? Dia tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyanku bahkan sikapnya agak gugup. Kukejar lagi dengan satu pertanyaan kunci, bagaimana dia bisa ikut belajar di PKBMnya sekarang jika tidak ada bukti-bukti kalau dia pernah duduk di SMA kelas XII? Dia bilang bahwa sudah diurus oleh yang punya PKBM (maksudnya tentu penyelenggara). Kok bisa? Bisa kok Pak asal bayar, katanya sambil menyebutkan sejumlah uang yang membuat aku sampai meleletkan lidah. Hm, jumlah yang cukup besar. Penyelenggaranya mencari kesempatan dalam kesempitan.

Apa yang ku uraikan diatas bukanlah sebuah prolog yang bersifat fiksi dan mengada-ada, tapi betul-betul nyata dan kudengar sendiri. Dari ucapan-ucapan para WB dan salah satu Tutor diatas aku berkesimpulan dan menunjukkan adanya indikasi bahwa ternyata masih ada segelintir penyelenggar Pendidikan Kesetaraan yang “nakal” dan tidak melaksanakan proses belajar mengajar sesuai dengan Kep. Mendiknas RI No. 086/U/2003 tentang penghapusan Pelaksanaan Ujian Persamaan (UPER).

Dengan SK Mendiknas tersebut, tidak ada lagi penyelenggara yang memakai pola lama dimana tidak adanya proses belajar mengajar di dalam kelas tapi langsung menyertakan WBnya dalam UNPK.

Lalu apa hubungannya dengan tema blogku kali ini? Ya, aku hanya mau mempertanyakan, kalau model pembelajaran yang ku uraikan dari interaksiku dengan insan PNF diatas baik dari pihak warga belajar maupun Ibu Tutor pendidikan kesetaraan Kejar Paket tersebut, timbul pertanyaan dibenakku : MASIH LAYAK DAN PANTASKAH KEJAR PAKET MENYANDANG SEBUTAN PENDIDIKAN KESETARAAN? Apanya yang setara? Kualitas atau kuantitas materi mata pelajaran, waktu, sarana/prasarana belajarnya atau apanya? Jujur saja, dari usia sasaran didik/WB kita di Pendidikan Kesetaraan Kejar Paket C “Saraswati” UPT SKB Dinas Dikpora Kota Denpasar selama ini memberi toleransi (kalau tidak ditoleransi nanti dianggap diskriminatif dan melanggar pasal 31 ayat 1 Undang-undang Dasar RI tahun 1945) tidak terbatas terhadap sasaran didik. Akan tetapi untuk proses belajar mengajar, materi pelajaran, kualitas tutor dan beberpa komponen pembelajaran lainnya sangat kami perhatikan. Kami tidak sampai kebablasan seperti apa yang dilakukan oleh beberapa penyelenggara Pendidikan Kesetaraan oleh masyarakat yakni PKBM tertentu di kota ini.

Sebagai lembaga Pendidikan Non Formal dan penyelenggara Pendidikan Kesetaraan milik pemerintah, UPT SKB Dinas Dikpora Kota Denpasar, sudah berusaha melaksanakan aturan dan prosedur yang ketat sesuai TUPOKSI penyelenggaraan Pendidikan Kesetaraan Kejar Paket. Sebagai lembaga pemerintah, kami berusaha maksimal untuk menjadi contoh di ranah PNF dalam mengelola Pendidikan Kesetaraan Kejar Paket secara professional dan dapat dipertanggungjawabkan hasil didikannya kepada masyarakat dan pemerintah kita.

Namun upaya yang kami lakukan akan menjadi sia-sia apabila tidak dibarengi oleh jajaran PNF cq lembaga-lembaga pengelola Pendidikan Kesetaraan lainnya. Berkat kerja keras pemerintah kita, Pendidikan Kesetaraan Kejar Paket akhir-akhir ini sudah semakin di percaya oleh masyarakat. Citra pendidikan kesetaraan Kejar Paket sudah semakin baik. Apalagi dengan adanya Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dimana Pendidikan Non Formal cq Kejar Paket sudah disejajarkan dan DISETARAKAN dengan Pendidikan Formal. Kejar Paket A setara SD, Paket B setara SMP dan Paket C setara SMA. Ini artinya PNF mendapat kepercayaan dari pemerintah sehingga mendapat pengakuan setara dengan Pendidikan Formal. Suatu berkah dari Tuhan dan suatu amanah pemerintah Indonseia yang harus segera dibuktikan dan dipertanggungjawabkan.

Kita juga harus ingat bagaimana gigihnya Mendiknas RI Bapak Prof. Bambang Sudibyo mengangkat dan menaikkan citra Pendidikan Kesetaraan ke level yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya. Bahkan untuk meningkatkan harkat dan martabat Pendidikan Kesetaraan Kejar Paket ini beliau sampai mengeluarkan pernyataan yang bernada ancaman kepada beberapa Perguruan Tinggi agar menerima WB Pendidikan Kesetaraan Paket C ini. Dan apabila ada diantara Perguruan Tinggi tersebut yang masih diskriminatif terhadap lulusan Paket C, tak segan-segan beliau akan mencabut izin operasional Perguruan Tinggi tersebut.

Nah, luar biasa bukan? Sepanjang ingatanku semenjak mengabdikan diri di lembaga pendidikan terutama sekalai Pendidikan Non Formal, belum pernah rasanya ada Menteri Pendidikan yang begitu perhatian terhadap Pendidikan Non Formal terutama Kejar Paket. Sudah selayaknya kita sebagai insan PNF dan penyelenggara Kejar Paket dengan segala upaya meningkatkan kualitas Pendidian Kesetaraan ini sebagai imbangan dan rasa terima kasih terhadap kegigihan Bapak Mendiknas dalam meningkatkan citra PNF khususnya Pendidikan Kesetaraan.Kejar Paket.

Namun apabila kita para insan PNF tidak bisa menjaga mutu dan menjaga citra Pendidikan Kesetaraan oleh ulah segelintir pengelolanya yang kurang professional dalam mengelola manajemen lembaganya, dikhawatirkan citra yang sudah susah payah dibangun akan kembali terperosok seperti yang terjadi pada kurun waktu sebelum reformasi.

Janganlah hanya karena ingin mendapatkan dana dari pemerintah dan meraup keuntungan sesaat dari masyarakat, kemudian beberapa penyelenggara Pendidikan Kesetaraan terutama beberapa PKBM di kota ini menghalalkan segala cara agar lembaganya tetap jalan. Membuat laporan ABS kepada pemerintah agar PKBM yang dikelolanya dapat kucuran dana dan masih dapat melanjutkan eksistensinya. Mengumpulkan WBnya dan mengadakan “Show Proses Belajar Mengajar Sesaat” untuk dipertunjukkan kepada para pejabat daerah (Kadis Dikpora Propinsi, Kadis Dikpora Kota/Kabupaten, Kasubdin PLSPO, BPKB) atau pejabat pemerintah pusat (PTK-PNF, PNFI, BPPNFI) tatkala para pejabat tersebut mengadakan pemantauan ke lembaga Pendidikan Kesetaraan bersangkutan. Dan begitu para pejabat dan tamu tersebut pergi, kemudian back to basic kepada kebiasaan aslinya.

Sikap dari para pengelola tersebut jelas-jelas merupakan sikap pembohongan kepada pemerintah dan pembodohan terhadap masyarakat. Jika pola pikir dan sikap mental seperti itu tidak segera diubah maka PNF cq Pendidikan Kesetaraan Kejar Paket hanya tinggal menunggu keruntuhannya saja.

Marilah kita para insan PNF terutama penyelenggara Pendidikan Kesetaraan Kejar Paket agar bekerja dengan penuh integritas, bertanggung jawab dan profesional dalam menyelenggarakan Pendidikan Kesetaraan ini. Tunjukkan sisi pengabdiannya kepada masyarakat, bangsa dan Negara. Jangan hanya mengeksploitasi sisi komersilnya saja. Ingat juga bahwa Pemerintah memberikan kepercayaan kepada masyarakat menyelenggarakan Pendidikan Kesetaraan ini untuk membantu warga masyarakat yang kurang mampu dan tidak medapat kesempatan memperoleh pendidikan di sekolah formal. Jadi jangan manfaatkan kebutuhan mereka untuk memperoleh layanan pendidikan dengan mengeruk keuntungan pribadi. Kalau bukan kita para insan PNF yang berdiri paling depan dalam membangun dan mengajegkan PNF, siapa lagi? Dengan demikian, PNF tentu tidak dipandang sebelah mata lagi dalam kontribusinya pada dunia pendidikan kita. Sehingga apa yang kita cita-citakan bersama sesuai dengan pembukaan Undang-undang Dasar 1945 yakni mencerdaskan kehidupan bangsa dapat diwujudkan. Dengan kecerdasan itu maka kesejahderaan bangsa pun dapat dicapai.

Tulisan yang kupublikasi di blog ini bukan maksudku meludah ke atas, bukan juga maksudku menggurui, tapi ini adalah auto kritik demi untuk kebaikan bersama. Kita harus mulai dan segera merubah paradigma serta sikap mental yang mengambil jalan pintas bersifat instant. Atau juga meng iming-imingi masyarakat dengan kemudahan memperoleh pendidikan dengan jalan pintas dan cepat dengan imbalan sejumlah uang atau tujuan lain misalnya untuk menjaring warga belajar yang lebih banyak. Suatu cara bersaing diantara penyelenggara Pendidikan Kesetaraan Kejar Paket yang sangat tidak sehat serta dapat mengganggu proses belajar yang baik dan benar dari penyelenggara yang jujur dan professional. Dan pada akhirnya akan mencoreng dan merusak citra Pendidikan Kesetaraan Kejar Paket di mata masyarakat, bangsa dan Negara.

Sekali lagi kusebutkan bahwa perbuatan para penyelenggara Pendidikan Kesetaraan yang “nakal” itu adalah pembehongan kepada pemerintah dan pembodohan kepada masyarakat. Tidak heran jika cara-cara seperti itu adalah salah satu faktor yang ikut memberi kontribusi dan membuat SDM bangsa kita hingga kini peringkatnya masih seputar 107, 111 bahkan pernah 117 dari 170 negara anggota PBB. Indek pembangunan manusia (Human Development Index) merupakan peringkat pembanguan manusia yang dikeluarkan secara berkala oleh UNDP salah satu dari badan PBB. Kalau kita mengacu pada HDI maka kita kalah jauh dibandingkan Negara-negara tetangga kita di kawasan Asia Tenggara. Ini menurut survey yang dilakukan UNDP, bukan mengada-ada.

Produk manusia terdidik yang dihasilkan dari cara-cara jalan pintas untuk kepentingan dan keuntungan sesaat dari beberapa penyelenggara tersebut berdampak tidak baik untuk jangka panjang. Apa yang dapat diharapkan dari output pendidikan seperti itu dalam menyongsong era globalisasi yang penuh daya saing ini?

Kembali kepada tema tulisan ini, yang kukritisi disini terhadap para penyelenggara Pendidikan Kesetaraan ini tentu tidak kugeneralisasi. Masih banyak penyelenggara Pendidikan Kesetaraan yang melaksanakan proses belajar mengajar dengan benar sesuai dengan prosedur. Bagi para penyelenggara Pendidikan Kesetaraan yang “salah jalan”, sebaiknya segera bertobat dan kembali ke “jalan yang benar”. Tinggalkan pola pikir yang sudah ketinggalan zaman itu dan segeralah melakuka reformasi diri. Kita ini punya hati nurani, bersihkanlah hati nurani ini dari “debu-debu” tersebut agar ada niat “meyadnya” demi kemajuan dunia pendidikan kita cq Pendidikan Kesetaraan Kejar Paket.

Jika masih membandel dan melanjutkan cara-cara seperti itu nampaknya pemerintah perlu melakukan tindakan tegas yang bersifat shock therapy seperti mancabut izin operasionalnya, tidak memberikan segala bentuk bantuan baik yang bersifat teknis maupun administrasi. Atau pun tindakan yang besifat membina, Melaksanakan sertifikasi terhadap para penyelenggara Pendidikan Kesetaraan. Hal ini untuk menentukan layak tidaknya suatu lembaga untuk melaksanakan tugas sebagai penyelenggara Pendidikan Kesetaraan Kejar Paket.
Kuakhiri tulisan blog ini dengan memetik ucapan bijak, Katakanlah kebenaran meski pun itu pahit.

Tidak ada komentar: