Rabu, Juni 22, 2011

UNPK PAKET C PERIODE I 2011 DAN NILAI-NILAI PANCASILA YANG TERPINGGIRKAN


UNPK Pendidikan Kesetaraan Paket C dilaksanakan hari Selasa tanggal 5 Juli 2011 sampai dengan hari Jumat tanggal 8 Juli 2011. Pada hari H pelaksanaan UNPK Paket C tersebut tepat bersamaan dengan perayaan hari besar keagamaan bagi umat Hindu terutamanya di Pulau Bali. Perayaan hari keagamaan ini sudah dimulai hari Selasa tanggal 5 Juli 2011 yakni hari Penampahaan Galungan. Kemudian hari Rabu tanggal 6 Juni 2011 adalah puncaknya yakni hari Raya Galungan serta hari Kamis adalah Umanis Galungan. Jadi rentetan hari-hari yang disebutkan diatas adalah hari-hari yang sangat penting buat umat Hindu. Namun justru pada saat itulah UNPK Paket C dilaksanakan secara nasional. Tentu bagi peserta UNPK Paket C dari dan di Provensi Bali yang notabene mayoritas penduduknya beragama Hindu hal seperti ini menimbulkan dilemma. Meski secara nasional hari raya Galungan dan Kuningan belum diakui sebagai hari libur keagamaan dan menjadi libur nasional, setidaknya sebagai sesama anak bangsa yang merupakan bagian NKRI ini sepatutnya para pengambil keputusan di pemerintah pusat cq Departeman Pendidikan Nasional mempertimbangkan perasaan masyarakat Bali dan umat hindu. Apa yang terjadi pada UNPK gelombang pertama bulan Juli ini sungguh sudah mencederai perasaan masyarakat Pulau Dewata ini. Memang sudah ada usaha dari pihak petinggi pendidikan di Bali melakukan dan mengadakan pendekatan serta melakukan loby loby dengan pihak terkait di Jakarta. Terakhir ada kabar burung bahwa UNPK akan diundur menjadi hari Selasa tanggal 19 Juli 2011 sampai tanggal 22 Juli 2011. Namun kapan pastinya UNPK Paket C khusus untuk Bali ini dilaksanakan belum ada kepastiannya. Bukan bermaksud memperkeruh suasana atau membesar-besarkan atau mengompor-ngompori dari pelaksanaan UNPK yang tepat di hari besar Umat Hindu ini, dari apa yang telah diputuskan oleh pengambil keputusan di Jakarta dapat diambil kesimpulan serta dikaitkan dengan apa yang ramai dibicarakan berbagai kalangan akhir-akhir ini bahwa nilai-nilai Pancasila kini sudah mulai dilupakan dan terpinggirkan. Dan UNPK Paket C periode pertama bulan Juli ini semakin menguatkan indikasi tersebut. Para pengambil keputusan sudah tidak memiliki kepekaan sosial serta rasa keadilan dan bertoleransi dalam berbangsa dan bernegara. Namun demikian semoga ini hanyalah sebuah kealpaan sebagai manusia biasa dan bukan suatu kesengajaan apalagi ingin bermaksud mencederai masyarakat Bali cq umat Hindu di Indonesia. Semoga pada masa-masa yang akan datang dalam mengambil keputusan dalam bidang tertentu para pengambil keputusan tersebut lebih mengemukakan azas keadilan yang sesuai dengan rasa keadilan seperti telah tersurat dan tersirat yang terkandung dalam Pancasila sebagai dasar NKRI (smt).

Sabtu, November 13, 2010

MANUSIA SOMBONG, SUKA MENGHINA/MENYAKITI ORANG LAIN, KERAS KEPALA, SOK PANDAI SERTA MENIMBULKAN SUASANA GERAH DALAM KERJA


Dalam sebuah web tentang ajaran Hindu yaitu agama yang saya peluk, saya baca tentang Dasa Mala. Menurut Upanisad, dasa mala adalah sepuluh sifat-sifat manusia yang buruk dan yang patut dihindari dalam upaya menumbuhkembangkan kesucian dan keluhuran budi. Dalam tulisan blog saya kali ini karena saya akan membahas tentang kesombongan yang sering membuat orang disekitarnya sakit hati maka saya akan singgung yang namanya Kulina. Juga tentang Kuhaka yakni sifat keras kepala. Keras kepala yang saya maksud disini adalah yang negatife. Sebab boleh saja orang keras kepala kalau itu untuk kebaikan dan ada dasarnya yang kuat (bukan asal ngomong). Selain itu juga tentang Sapta Timira.
Hampir dua tahun ini saya kenal orang yang menurut saya memiliki sifat-sifat buruk yang membuat orang-orang disekitarnya gerah, tidak nyaman, sakit hati, tersinggung, direndahkan dan akibat-akibat buruk lainnya. Saya menulis blog ini bukan untuk menjelek-jelekkan seseorang. Hanya dengan cara inilah saya menyalurkan uneg-uneg yang mengganjal dihati. Jadi mohon maaf kalau ada dari para pembaca yang tidak setuju dengan cara saya ini dengan alasan saya suka menjelek-jelekkan seseorang. Toh ini juga pendapat saya atau opini saya.
Orang ini boleh dibilang kawan saya juga karena ia ada dalam komunitas kami yang kehadirannya dalam komunitas kami karena melaksanakan tugas sesuai dengan aturan yang berlaku. Jadi suka tidak suka ya ia memang ditugaskan dikomunitas ini. Maka, oleh karena tugas maka jadilah ia disebut rekan saya.
Kegerahan, keresahan, ketidaknyamanan yang hampir dua tahun kami rasakan ini disebabkan oleh sifat-sifat kulina dan kuhaka yang ada pada orang ini. Ia sombong banget. Yang ia sombongkan adalah “kepandaiannya”. Saya sengaja isi tanda petik disini karena pengertian kepandaian itu kan luas. Pandai itu relatif. Pandai dalam bidang apa dulu, kan begitu. Pandai hanya dalam satu bidang ilmu tentu tidak dapat dijadikan tolok ukur, dan dengan tolok ukur tersebut kemudian dipakai sebagai parameter untuk menilai orang lain. Sungguh tidak bijaksana kalau tidak dapat dikatakan sangat sombong dan sekaligus menggelikan. Katakanlah orang ini pandai dalam bidang ilmu matematika (ini hanya contoh, oknum yang saya maksud menguasai satu bidang ilmu tertentu) begitu ada orang lain yang tidak atau belum bisa matematika lantas orang itu disebut atau di cap bodoh dengan kata-kata yang menghina dan merendahkan sekali yang mana dapat menyinggung perasaan dan membuat orang yang disebut “bodoh” tersebut sakit hati? Padahal setiap orang dilahirkan dengan bakat yang berbeda-beda. Boleh saja dia belum menguasai matematika, tapi orang yang dihina ini memiliki kemampuan yang baik dalam bidang ilmu lainnya.
Rekan kerja saya ini yang dengan “kepandaian” yang dimilikinya mempunyai kebiasaan yang sangat tidak bijaksana yakni suka mengecam orang lain didepan umum atau dihadapan orang banyak. Terkesan dengan kemampuannya itu ia ingin menunujukkan dihadapan orang banyak itu bahwa ia orang pandai. Ia memamerkan kepandaiannya itu dengan merendahkan orang lain didepan umum. Beberapa contoh peristiwa yang pernah saya saksikan sendiri. Suatu ketika di tempat kami ada suatu pelatihan dimana dalam pelatihan ini tentu ada nara sumbernya. Nah saat si nara sumber lagi memberikan materinya kepada peserta, rekan saya --yang sombong ini-- sengaja ikut menyusup jadi peserta (padahal ia juga adalah salah satu nara sumber yang akan ikut memberikan materi dalam acara ini). Nah saat nara sumber tersebut lagi asik-asiknya mengajar eh rekan saya ini melakukan interupsi kemudian mengatakan bahwa apa yang disampaikan si nara sumber tersebut kuarang tepat. Selanjutnya dengan panjang lebar dan dengan kesan menggurui menyebutkan tentang permen ini permen itu (eh permen itu manisan ya bung!). Rekan saya ini memojokkan si nara sumber sampai mati kutu dibuatnya. Saya yang menyaksikan ini merasa tidak enak. Pikir saya, apa tidak lebih baik si nara sumber itu diberitahukan dengan baik-baik tapi tidak didepan peserta pelatihan. Cara yang dilakukan oleh rekan saya ini yang menurut saya sangat tidak bijaksana. Terkesan sombong dan ingin menonjolkan diri bahwa ia pandai. Ia sombong dengan kepandaiannya. Pernahkah ia berpikir bagaimana kalau ia yang diperlakukan oleh orang lain seperti apa yang ia lakukan terhadap nara sumber itu? Hal seperti saya contohkan diatas itu bukan satu-satunya atau sekali itu ia lakukan tapi beberapa kali ia lakukan ditempat lain. Jadi sudah cukup banyak orang yang direndahkan dan jadi korban oleh cara-cara yang ia lakukan ini.
Ia juga mempunya sifat iri. Bila ada orang lain dipuji-puji didepannya akan kemampuan orang lain itu dalam suatu bidang ilmu, mimik dan air mukanya memperlihatkan kesinisan pertanda dari ketidaksenangannya. Suatu ketika salah satu teman saya bercerita bahwa ia punya pisau dengan harga 200 ribu rupiah, eh tiba-tiba si sombong ini berkata, “Saya punya pisau yang harganya 1 juta rupiah!” katanya dengan pongah. Saya hanya dapat geleng-geleng kepala saja, kok ada ya orang seperti ini?
Rekan saya (saya berat hati mengatakan ia rekan saya) ini juga keras kepala. Keras kepala ada juga yang baik (positif) asal pendapatnya itu ada dasarnya. Tapi keras kepala yang tidak jelas dasarnya. Ini namanya ia mau menang sendiri atau asbun alias asal bunyi/ngomong. Bekerja disebuah lembaga Negara tentu setiap pekerjaan itu ada aturannya atau tupoksinya, petunjukknya, acuannya dsbnya. Semua itu bisa berupa SK, buku pedoman dsbnya, tapi orang ini sering kukuh dengan pendapatnya tentang suatu hal berkaitan dengan tugas yang harus dikerjakan. Lucunya saat diperlihatkan buku-buku petunjuk yang mengatur pekerjaan itu sebagai dasarnya eh ia masih kukuh dengan pendapatnya bahkan tidak mengindahkan petunjuk tersebut (dalam hati saya bilang: kalau lo pandai ngapain lo ga jadi Dirjen saja. Kan buku-buku petunjuk tersebut dikonsep oleh para pejabat tinggi yang notabene para pakar yang setidaknya bergelar doctor). Ah dasar lo sombong! (Dalam sebuah lagu Bali klasik ada syair yang berisi nasihat bijaksana; "Ede ngaden awak bise, depang anake ngadanin". Betapa kita dinasehati oleh para leluhur kita lewat lagu ini agar jangan sekali-sekali menjadi orang sombong yang mengagul-agulkan kepandaian. Hendaklah tetap rendah hati kendati pandai. Seperti ilmu padi, semakin berisi semakin merunduk).
Cara orang ini mengoreksi pekerjaan teman-teman juga sering menjengkelkan dan menyakitkan. Terkesan ingin menguji. Hal ini sering dikuatkan oleh kata-kata yang keluar dari mulutnya yang bernada sinis, “Saya kira teman-teman disini sudah pada pandai eh…..” demikianlah kata-kata yang keluar dari mulutnya yang tidak pernah membuat orang-orang disekitarkan merasa nyaman. Bahkan seorang waker yang notabene posisinya paling rendah di lembaga kami saja bisa menilai betapa sifat orang ini membuatnya tidak nyaman. Saya pernah mengikuti seminar ke PR an (PR = Public Relation). Pakar PR ini mengatakan, sebenarnya gampang saja menilai sifat-sifat baik seorang pemimpin (dalam konteks ini kepala; kepala lembaga). Jika seorang pesuruh dilembaga itu begitu senang dengan kepala lembaga dimana ia mengabdi, itu pertanda bahwa pemimpin itu orang yang memiliki sifat-sifat baik. Secara tindakan misalnya saat si kepala lembaga itu turun dari mobilnya maka si pesuruh/waker itu akan mendatanginya dan bilang, “Pak biar saya yang bawain tas Bapak” dstnya, dsbnya. Lha ini, jangankan menyapa, dekat dengan si kepala saja ia sudah tidak senang). Indikasi lainnya adalah: setiap orang tidak betah datang ke kantor dimana si sombong ini menjadi kepala. Setiap ia datang ke kerumunan bawahannya, maka para bawahannya yang tadinya ngumpul pada membubarkan diri. Dan itu sesuai sekali dengan apa yang dikatakan oleh pakar PR tadi dan saat ini sedang terjadi dilembaga kami.
Dalam ajaran agama yang saya anut yakni agama Hindu, ada juga yang disebut dengan SAPTA TIMIRA. Sapta Timira antara lain: 1. Surupa yaitu sombong karena ganteng/cantik. 2. Dana yaitu sombong karena kaya. 3. Guna sombong karena pandai. 4. Kulina yaitu sombong dan suka menghina dan menyakiti hati orang lain. 5. Yowana yaitu sombong akan keremajaan. 6. Kasuran yaitu sombong karena menang. 7. Sura yaitu mabuk/tidak sadarkan diri karena makanan/minuman yang berlebihan. Dari Sapta Timira yang diuraikan diatas ini yang paling menonjol selama ini kami raskan adalah Surupa, Dana, Guna, Kulina yang tersirat dari prilaku oknum ini. Tentang Surupa, memang sih samar-samar tersirat dari sifatnya namun sesekali muncul juga terutama akan kelihatan jika dalam berkomunikasi dan berinteraksi ia terlihat lebih antusias jika berhadapan orang yang cantik (kalau dengan orang dekil seperti waker kami, tampak sekali ia kurang perhatian). Dana atau sombong akan kekayaan, seperti yang saya contohkan diatas bagaimana reaksinya ketika seorang rekan saya bilang punya pisau seharga 200 ribu rupiah ia nyeletuk dan bilang punya pisau yang harganya 1 juta rupiah. Pokoknya sombong tidak mau kalah dari orang lain (mungkin dalam segala hal). Guna yaitu sombong karena pandai, ia tunjukkan dengan sikapnya hampir setiap waktu seperti sudah diuraikan diatas yaitu suka merendahkan kemampuan orang lain didepan umum atau didepan para peserta saat ada suatu pelatihan. Atau contoh lainnya, ia juga pernah bilang bahwa para Pembina dari lembaga atasan kami adalah orang-orang bodoh yang tidak sepantasnya memberikan pembinaan di lembaga kami. “Lain kali janganlah mengirimkan orang-orang bodoh itu untuk membina kami” demikian katanya (sombong banget. Sombong karena merasa dirinya pandai. Ingat ia cuma merasa dirinya “pandai”. Jadi yang bilang ia pandai hanya dirinya. Entah orang lain, apa ada yang bilang ia orang pandai. Yang saya dengar selama ini hanya bahwa orang ini sombong!). kemudian Yowana yaitu tentang keremajaan/kemudaan? Biar tidak mengada-ada, belum pernah saya lihat ia membanggakan bahwa ia remaja/muda. Lha gimana mau muda remaja kalau usia sudah diatas kepala 4?) Kasura yaitu sombong karena menang. Kalau sifat yang ini pada orang yang saya maksud akan muncul ada kaitannya dengan sifat Guna dan Kulina. Ia yang merasa dirinya pandai karena kepandaiannya itu timbullah kesombongannya disertai sifat suka menghina dan menyakiti orang lain yang dianggapnya bodoh didepan umum, setidaknya akan timbul bahwa ada terbersit rasa kemenangan disini. Kemudian Sura yaitu mabuk/ tidak sadarkan diri karena makanan/ minuman yang berlebihan, jika diterjemahkan begitu saja ya memang belum pernah saya lihat secara badani ia suka mabuk-mabukan karena minuman. tapi kalau dilihat dari prilakunya, ia memang mabuk akan kepandaiannya.
Membicarakan tentang kuhaka, kulina, dana, guna, yang ada dalam diri orang ini tentu tidak akan habis-habisnya dan akan menghabiskan berlembar-lembar kertas atau halaman weblog ini. Namun dari hasil pendapat orang lain yang pernah kenal orang ini, 99 persen mengatakan ia adalah orang sombong! Saya tidak pernah sengaja melakukan investigasi tentang karakter orang ini, tapi setiap saya ketemu dengan orang yang kenal mendalam dengan sifat orang ini karena pernah cukup waktu sebagai rekan kerja dalam 1 lembaga, maka orang tersebut tanpa saya minta akan membicarakan tentang oknum ini dengan nuansa yang negatif. Bahkan mantan atasannya sebelum ia mutasi kelembaga kami sekarang ini pernah keceplosan bilang, “Saya tidak butuh orang pintar, yang saya butuhkan adalah orang yang dapat saya ajak kerja sama” demikian kata beliau. Jadi…. Apa salah penilaian saya atau orang-orang yang kenal dia kemudian sampai pada saya bahwa ia ini memang orang yang sesuai saya gambarkan seperti yang terdapat dalam ajaran Dasa Mala dan Sapta Timira ini?
Sekali lagi, saya tidak bermaksud menjelek-jelekkan teman sendiri yang tentunya kelakuan saya ini dapat dinilai tidak terpuji, “Apa Anda dapat dibilang orang baik-baik kalau Anda suka menuliskan di blog ini tentang ketidakbaikan sifat teman Anda?” kira-kira seperti itu kemungkinan kritikan yang akan saya terima. Namun sekali lagi saya katakan sekalian saya mohon maaf atas tulisan saya ini, inilah uneg-uneg saya yang juga dirasakan beberapa rekan saya lainnya dalam satu lembaga dimana kami dibuat gerah, tidak nyaman, tersinggung (ada juga yang sakit hati) serta sifat kurang kondusif lainnya. Jika didiamkan terus menerus akan menimbulkan suasana kerja yang tidak produktif. Kami yang selalu disalahkan, begini salah, begitu salah, juga ada kesan mencari-cari kesalahan, tidak bisa memberikan motivasi, yang ada malah pembunuhan karakter yang dapat menurunkan motivasi untuk menjadi orang yang lebih baik dan ada peningkatan kinerja dikemudian hari.

Kamis, Oktober 21, 2010

PANDAI MENASIHATI TAPI TIDAK BISA MEMBERIKAN CONTOH


“Anak-anak morokok itu tidak baik karena dapat mengganggu kesehatan baik kesehatan sendiri maupun orang lain disekitarnya” demikian nasihat seorang guru kepada murid-muridnya saat mengajar di kelas. Anehnya Pak Guru yang memberikan nasihat itu malah asik menghisap-hisap rokoknya dan menghembuskan asap rokoknya keudara sehingga udara di ruangan kelas dipenuhi asap rokok dan tercemar. Beberapa murid yang ikut menghirup asap rokok itu sampai terbatuk-batuk. Itu hanyalah sebuah ilustrasi dimana dalam ilustrasi diatas digambarkan bahwa kadangkala seseorang begitu pandai menasihati orang lain akan tetapi tidak disertai contoh nyata dari si pemberi nasihat.
Mengapa saya membuat ilustrasi seperti diatas? Ya karena saya mengalaminya sendiri. Beberapa hari yang lalu tepatnya hari Jumat tanggal 14 Oktober 2010 seseorang menasihati saya. Orang itu sebenarnya lebih muda 2 tahun dari saya. Disini saya bukan mempersoalkan usianya dia yang lebih muda dan menganggapnya lancang menasihati orang yang lebih tua darinya yakni saya ini. Tidak, saya bukan orang –setidaknya merasa – berpikiran kolot seperti itu. Saya tidak diskriminatif soal usia dalam hal-hal tertentu seperti masalah nasihat ini. Yang menimbulkan ganjalan dihati saya sampai saat ini adalah orang yang menasihati saya itu persis seperti Pak Guru yang menasihati murid-muridnya seperti yang di ilustrasikan dalam pembukaan tulisan ini.
Kejadiannya begini, saat itu saya dipanggil karena beliau (beliau yang oleh karena beberapa syarat terpenuhi ditunjuk dan dipercaya menjadi seorang kepala). Saya dan seorang teman (sebenarnya ada 4 teman, 2 orang lainnya permisi pulang) dipanggil oleh beliau (mungkin atas laporan seseorang. Saya bilang mungkin karena saya tidak melihat. Tapi saya berani bilang mungkin karena tanpa laporan seseorang apa mungkin beliau mengetahui mengingat ruang beliau dengan tempat saya bicara berjarak 10 meter dan dihalangi oleh tembok-tembok dan beberapa ruangan? Ini logika lho). sebenarnya saya guyon saja nyeletuk begini, “Ya, kalau saya ingat uangnya akan saya kembalikan”. Kata-kata itu keceplosan begitu saja saat seorang teman menanyakan apakah uang transport yang saya dan kawan-kawan lainnya terima itu pemberian atau pinjaman kantor yang menugaskan saya mengikuti suatu acara (acara/tugas kantor tentunya) di luar daerah? Dan apakah akan dikembalikan? Celetukan saya yang keluar begitu saja dari pikiran alam bawah sadar saya itu rupanya ada salah seorang rekan menyampaikannya ke atasan saya itu. Disinilah saya menerima nasihat yang mirip banget dengan apa yang disampaikan Pak Guru dalam ilustrasi diatas pada muridnya. “Pak Agung yang namanya meminjam itu pasti mengembalikan”.
Ya kalau kita meminjam (apapun itu kan Pak?) mesti mengembalikannya. Jadi ingat minjam, ingat mengembalikannya. Tentu saya terima dan senang banget menerima nasihat itu….seandainya saya dan kawan-kawan selalu melihat contoh seperti apa yang dinasihati itu. Tapi disinilah persoalannya. Kadangkala seseorang begitu pandainya menasihati orang lain tapi sayang tidak disertai contoh, tentu saja yang paling penting adalah contoh dari orang yang memberikan nasihat tersebut. Nah kenapa kemudian muncul celetukan saya yang spontan itu? Celetukan saya itu adalah celetukan yang keluar dari alam bawah sadar saya yang selama ini sering disuguhi hal-hal yang tidak sesuai antara perkataan dan perbuatan. Terutama sekali oleh beliau yang memberikan nasihat. Semua itu terekam oleh alam bawah sadar saya dan terakumulasi lalu terlontar dalam celetukan tersebut. Coba saja, beliau pernah meminjam wireless milik kantor yang notabene juga berarti milik pemerintah (karena tempat saya kerja ini lembaga pemerintah). Tapi sampai 4 bulan barang tersebut tidak juga dikembalikan ke kantor sehingga muncul pikiran, ini barang mau dipinjam atau mau dimiliki sendiri? Kalau pun akhirnya dikembalikan itu bukanlah dikembalikan secara tulus ke kantor, tapi karena trik teman-teman saja. Sebab kalau langsung meminta beliau mengembalikan itu tidak salah, hanya ini menyangkut perasaan yang ewuh pakewuh saja dari para bawahan terhadap atasannya (meski sudah dikembalikan namun barang tersebut dalam keadaan rusak dan tidak lengkap. Padahal saat dipinjam dalam keadaan baik dan utuh).
Apa yang saya sebutkan itu hanyalah satu contoh saja. Saat ini beliau masih meminjam LCD Proyektor beserta layarnya (sampai saat ini tanggal 22 Oktober 2010 belum juga dikembalikan setelah sebulan dipinjam). Tulisan yang saya buat ini bukanlah untuk bermaksud menjelek-jelekkan seseorang, tetapi marilah kita menjadi insan yang baik dan benar (apakah kita ini insan pemerintah atau swasta yang penting sebagai warga Negara Indonesia sehingga kelak kita menjadi Negara yang dikenal sebagai bangsa yang bersih dan dihormati. Apaka lagi sebagai abdi Negara seperti PNS misalnya. Sebab waktu kita disumpah salah satu bunyi teksnya adalah lebih mengutamakan tugas dari pada kepentingan pribadi. Dapat membedakan mana tugas dan mana kepentingan pribadi tentunya). Dipemerintahan, seorang atasan (sama dengan seorang guru di sekolah) dapatlah menjadi contoh, sehingga saat beliau memberi nasihat kepada bawahannya si bawahan dapat menerima dengan legowo. Bagaimana si bawahan mau menerima nasihat dengan tulus dan senang hati kalau si atasan yang memberikan nasihat tidak dapat memberikan contoh? Seorang pemimpin adalah di depan member contoh dan menjadi teladan, ditengah-tengah dapat memberikan semangat, dan dibelakang mengawasi. Ahya, saya lupa kalau seorang kepala itu itu belum tentu seorang pemimpin. Kepala adalah jabatan. Jabatan yang dipercayakan kepada seseorang untuk memimpin sebuah lembaga. Tapi pemimpin? Ada yang bilang pemimpin itu dilahirkan. Jadi seseorang yang punya bakat sebagai pemimpin sudah dibawa semenjak ia lahir, contohnya Bung Karno (benar tidaknya, anda cari saja di buku-buku atau di web-web yang kini begitu banyak tersebar di dunia “maya” tentang apa itu pemimpin dan apa itu kepala serta apa perbedaannya). Dan beliau ini bisa saja hanya seorang kepala tapi bukan seorang pemimpin.
Terlepas apakah beliau itu seorang kepala atau pemimpin bukanlah topik utama tulisan ini. Yang paling penting disini adalah JANGANLAH HANYA BISA MENASEHATI, NAMUN BERIKANLAH CONTOH sehingga orang-orang yang menerima nasihat anda merasa senang dan berterima kasih. Lha, bagaimana mau menasihati orang lain kalau diri sendiri saja tidak dapat memberikan contoh?

Selasa, November 10, 2009

BERSYUKUR


Dalam pembinaan dan pengarahannya kepada PNS di Kota Denpasar pada bulan Oktober dan Nopember 2009 ini dimana aku sudah 2 kali mengikutinya, Bapak Sekretaris Kota Denpasar A. A. Ngurah Rai Iswara mengatakan, hendaknyalah kita selalu bersyukur atas nikmat yang diberikanNYA karena kita berprofesi sebagai PNS.
Aku sangat setuju dan sepaham dengan pikiran beliau itu. Ini bukan bentuk penjilatan karena beliau adalah atasanku sebagai PNS di Pemkot ini. Hal ini jauh-jauh hari sudah aku tuangkan pada blogku yang berjudul “CURAHAN HATI SEORANG PNS 2” sebelum Bapak Sekretaris memberikan pengarahan seperti itu. .
Masih ribuan orang ingin menjadi PNS. Lihat saja pendaftaran penerimaan PNS di BKD Kota Denpasar dan juga tempat-tempat lainnya di negeri ini. PNS yang dibetuhkan hanya beberapa ratus orang (Denpasar mencari 400 orang), tapi lihatlah, para pelamar yang ikut mendaftar sudah mendekati 7000 orang (saat blog ini kutulis). Ini artinya, bahwa profesi PNS sangat diminati oleh masyarakat kita.
Sedangkan disisi lain, diantara PNS masih juga banyak yang kurang profesional dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tupoksinya. Mengapa? Ya, karena mereka tidak pernah bersyukur atas pekerjaan yang sudah mereka peroleh. Ada yang malas-malasan, ada yang mengeluh, mengomel, ada yang masuk kerja sudah siang dan pulang lebih dini dan sebagainya. Ada saja alasan para PNS yang tidak bisa bersyukur ini sebagai pembenaran atas prilakunya. Jobnya tidak sesuai dengan keahliannyalah, Instansi dimana yang bersangkutan dimutasi kurang berkenan di hatinyalah, dan sebagainya dan lain-lainnya.
Bahkan saya pernah mendengar kasak-kusuk diantara teman-temanku, bahwa seorang PNS yang dimutasi ke kantorku mengatakan bahwa ia kurang suka bekerja di tempatnya yang baru ini. Ia juga konon bilang bahwa semenjak dimutasi ke kantor ini pendapatannya menurun. Ia juga konon bilang dengan pongahnya bahwa ia hanya cukup beberapa bulan saja di tempat ini bekerja sesudah itu akan pindah dan akan mutasi ke sebuah Instansi (sambil menyebutkan sebuah Instansi yang dikenal “basah” dan di inginkan oleh banyak PNS). Kalau besik-bisik yang KONON itu sampai benar ada, aku cuma bisa geleng-geleng kepala saja sambil berbisik “Emang pemerintah ini milik Bapak Moyang lo? kok se enaknya saja mau pindah kesana-kemari sekehendak hatinya?”. Apa sudah lupa ya terhadap bunyi sumpah PNS yang diucapkan dibawah acungan kitab suci bahwa saya akan lebih mengutamakan tugas Negara dari pada kepentingan pribadi; siap ditempatkan dimana saja diseluruh wilayah Negara Republik Indonesia. Lha ditempatkan di Kota Denpasar yang notabene Kota Internasional karena menjadi tujuan utama wisatawan dunia dan juga notabene wilayahnya tidak begitu luas dan tidak ada wilayah yang terbelakang ini saja sudah mengeluh, apalagi kalau di tempatkan di pedalaman Irian Jaya atau Kalimantan, bisa-bisa mati dia.
Ironisnya, disisi lain masih banyak saudara kita yang nganggur, masih banyak yang ingin menjadi PNS, tapi toh diantara kita malah masih ada yang kurang bisa bersyukur. Masih mengeluh, meggerutu atau meminjam istilah Pak Sekot yakni mekapal Rusia “ngemig-mig”. “Kalau saudara-saudara masih saja “ngemig-mig”, silahkan saja membuat surat pengunduran diri dari PNS. Masih banyak dan ribuan orang yang mengantri dibelakang saudara ingin menjadi PNS”.
Ya, sebaiknya begitu ketimbang mengeluh, “ngemig-mig”, malas-malasan, dan berbagai bentuk prilaku sebagai wujud rasa kurang mensyukuri nikmatNYA. Kantorku yang satu atap dengan BKD Kota Denpasar, tahu betul kondisi para pelamar itu. Setiap hari aku disuguhi wajah-wajah penuh harap untuk dapat diterima menjadi PNS. Mungkin segala doa sudah dipanjatnya. Sudah ribuan personifikasi TUHAN disebutkan. Aku sangat trenyuh melihat mereka, sedih dan ingin menangis. Mereka harus antri panas-panasan, keringatan, belum makan-minum, kelelahan dan banyak lagi bentuk beban yang tergurat di wajah mereka yang tidak dapat aku lukiskan.
Sungguh akan sangat berdosa kita yang sudah mapan menjadi PNS malah kurang bersyukur dengan berbagai ekspresi ketidakpuasan dan sangat berlawanan dengan ekspresi anak-anak, adik-adik, dan saudara-saudara kita yang melamar PNS itu. Akan lebih baik saudara-saudaraku para PNS yang saat ini masih kurang dapat bersyukur untuk sekali waktu memantau penerimaan PNS di kota anda agar dapat mengambil pelajaran dan hikmah dari apa yang anda lihat disana. Dengan demkikian semoga saja hati anda tersentuh kemudian terjadi perubahan dalam diri anda untuk dapat bersyukur dan tentu yang terpenting dan signifikan adalah sikap mental yang selama ini kurang professional menjadi lebih profesional.
Blogku ini, sekali lagi aku sampaikan pada setiap tulisanku bukanlah kutulis untuk menggurui atau sok paling sudah menjalankan dan melaksanakan disiplin PNS, akan tetapi sebagai sesama PNS dan warga Negara yang baik adalah tidak salah kalau saling mengingatkan bukan? Kita ini menjadi PNS adalah sebagai abdi Negara dan bangsa. Bukan minta dilayani masyarakat tetapi melayani masyarakat. Gaji kita sebagai PNS di bayar oleh masyarakat. Oleh karena itu tunjukkanlah kepada masyarakat bahwa kita yang sudah mapan jadi PNS ini memang layak dipilih sebagai PNS. Kita patut menjaga citra PNS yang selama ini telah beredar dimasyarakat bahwa PNS itu santai, masuk siang pulang lebih dini. Di kantor baca Koran saja dan lain-lain dan lain sebagainya. Tentu malu rasanya citra kita seperti itu di masyarakat.
Bapak Sekot mengatakan, “Belajarlah saudara-saudara masuk kerja lebih pagi dari hari-hari sebelumnya. Jika biasanya ngantor jam 09.00, cobalah masuk kerja jam 08.30. dan setahap-demi setahap masuk kantor lebih dini lagi. Demikian pula yang biasanya pulang jam 13.00 hendaknya belajar pulang lebih sore dari hari-hari sebelumnya”.
Soal ijin tidak masuk kerja, beliau juga mengatakan tidak terlalu ketat dan penuh toleransi asal yang bersangkutan betul-betul membutuhkan ijin tersebut. Tentu toleransi itu kemudian jangan disalahgunakan, karena sekali saja orang berbohong maka ia akan melakukan kebohongan-kebongan berikutnya. Hal seperti ini kuamati memang sering terjadi. Toleransi yang diberikan oleh atasannya, sering disalah artikan dan kemudian disalahgunakan. Sehingga ada oknum PNS selalu saja ijin dengan alasan inilah, itulah. Kalau 1 minggu 5 hari kerja bagi PNS, apa masuk akal oknum bersangkutan hanya 2 hari kerja saja nongol di kantor sedangkan hari-hari lainnya selalu di isi dengan ijin dengan berbagai alasan, itu pun kehadirannya maksimal hanya sekitar 2 sampai 3 jam saja. Tentu hal ini sudah ada yang tidak beres bukan? Lagian, kewajibannya “boleh-boleh” saja, akan tetapi haknya kok diambil penuh? Kejadian ini paling menjolok kuamati tatkala Pemkot Denpasar mulai memberi uang lauk-pauk per bulan September tahun 2009 ini. Timbul keriuhan karena kitika pimpinan kami mengatakan bahwa uang lauk-pauk yang diberikan kepada para pegawainya berdasarkan kehadirannya sesuai dengan absen, ada juga yang tidak terima. Dan yang membuat aku geli dan tidak habis pikir, justru mereka yang malas-malas itu justru paling keras protesnya. Meski kehadirinnya di kantor paling sedikit (menurut absen dan itu memang kenyataan), tapi mereka minta dibayar penuh yakni kalau tidak salah dihitung 22 hari kerja.
Ah, benar apa yang disampaikan Pak Sekot, “Kewajibannya ga mau, tapi haknya mau”. Mental PNS yang seperti itu memang masih ada.
Kuakhiri tulisanku ini dengan ajakan kepada teman-teman PNS, marilah kita bersyukur karena kita sedah diberikan kesempatan menjadi PNS. Dengan menjadi PNS, kita dapat mengabdikan diri kepada nusa, bangsa, negara, dan masyarakat.

Rabu, Oktober 14, 2009

TERINSPIRASI



Dalam kehidupan ini, kita sering terinspirasi oleh suatu hal. Inspirasi bisa membuat kita menghasilkan suatu karya. Dalam kehidupan ini, manusia sudah biasa saling terinspirasi. Terinspirasi oleh kegiatan orang lain bukan merupakan plagiator atau peniru. Terinspirasi oleh kegiatan orang lain tidak sama dengan peniru. Kalau terinspirasi, seseorang tergerak hatinya untuk melakukan yang serupa −tapi tidak mirip sekali−. Misalnya seorang pencipta lagu terinspirasi oleh karya cipta pencipta lagu lainnya. Sebuah Grup musik terinspirasi oleh grup musik lainnya. Misalnya saja, grup band Kuburan, dari segi penampilan fisik (wajahnya di make up dengan gaya topeng) mungkin saja terinspirasi oleh sebuah grup musik luar negeri yang terkenal sekitar tahun 80 (kalau ga salah) yang bernama Kiss. Sedangkan Changcutters (benar tulisannya begitu ya) bisa saja dari sebuah gaya penampilan dan ciri fisiknya terinspirasi oleh perpaduan grup band The Beatles dan The Rolling Stones. Ini hanyalah contoh. Disini ke dua grup band itu bukanlah plagiator alias meniru mentah-mentah kepada dua grup band luar negeri tersebut. Mereka hanyalah terinspirasi dari segi gaya penampilannya secara fisik dan gaya panggungnya, tapi tidak meniru lagu-lagunya. Beda kalau plagiator, yang ini betul-betul menjiplak mentah-mentah karya orang lain sampai ke titik komanya. Misalnya kalau aku analogikan lagi di dunia musik, sekitar tahun 80 an ada seorang penyanyi Indonesia yang mem plagiator Mick Jagger –vokalisnya The Rolling Stonnes−. Penyanyi ini benar-benar plagiator sejati. Mungkin karena ia penggemar berat Mick Jagger, keseluruhan gaya Mick Jagger baik di panggung maupun kesehariannya di jiplak mentah-mentah. Dalam konsernya, ia selalu menyanyikan lagu-lagunya Mick Jagger atau Rolling Stones. Bahkan namanya juga mirip yaitu Meky Jagger. Kebetulan juga secara fisik sangat mrirp Jagger terutama sekali bibirnya yang dower.

Atau contoh seputar internet misalnya, bagi mereka yang suka berpetualang di dunia maya (internet), dan ikut dalam salah satu web jejaring sosial tentu menduga-duga bahwasanya Mark Zuckerberg terinspirasi oleh web jejaring sosial pendahulunya yaitu Friendster sehingga ia membuat Facebook.

Kali ini tema blogku bukanlah tentang plagiator, tetapi terinspirasi. Kembali pada tema tulisan ini, dalam kehidupan ini bukan suatu yang haram kalau kita terinspirasi oleh orang lain, baik cara hidupnya, hasil karyanya dan lain sebagainya dengan catatan asal itu yang bersifat positif dan memotivasi diri untuk kemajuan kita.
Karena blog ini kutulis untuk menyalurkan uneg-uneg yang berseliweran dalam benakku, dimana kebetulan aku ini berkecimpung serta profesiku di pendidikan terutama sekali pendidikan non formal, maka yang kubahas kebanyakanlah yang menyangkut soal itu. Di sini aku sangat terinspirasi oleh sebuah film dengan tema pendidikan. Kalau soal film bertemakan atau pun yang berlatar belakang pendidikan sudah banyak di buat oleh para produser Indonesia. Tapi kebanyakan dari film itu objeknya bukan pendidikan. Hanya latar belakangnya saja, misalnya tentang anak SMA yang bercinta seperti “Gita Cinta di SMA” dan sebagainya. Film-film ini hanya menjadikan pendidikan (sekolah) sebagai latar belakang atau tempelan saja. Tema sebenarnya sih cinta remaja. Salah satu dari sedikitnya film yang berobjekkan pendidikan dan yang benar-benar menggugah motivasiku adalah film “LASKAR PELANGI”.

Aku belum sempat nonton film ini di bioskop, tapi aku nontonnya di sebuah acara televisi swasta. Film ini benar-benar meng inspirasi aku. Dimana film ini bercerita tentang sebuah sekolah dasar (SD) di daerah terpencil. Bukan masalah geografis atau daerah terpencilnya itu saja yang aku perhatikan. Akan tetapi yang terutama sekali adalah sikap idialisme para pengajarnya (dua orang guru) yang menggugah nuraniku dan motivasiku. Karena sedikit banyak apa yang dilakukan oleh ke dua pengajar (guru) dalam film itu pernah aku rasakan. Pengajar yang mendapat tantangan dalam menghadapi beberapa kendala baik itu teknis maupun non telnis seperti gedung yang jauh dari representatif untuk disebut tempat belajar. Tentu akan menghabiskan berlembar-lembar halaman kalau semua keadaan dalam film itu aku uraiakan disini. Lagi pula blog ini bukanlah tentang refrensi film. Sekali lagi semangat para pengajarnyalah yang paling menjolok menginspirasi semangatku. Aku lebih termotivasi lagi menggeluti profesiku menjadi seorang tutor (tutor juga guru).

Ditengah-tengah kehidupan saat ini dimana segala sesuatu selalu di ukur dengan rupiah (uang), prilaku kedua guru dalam film itu kemudian tertular dengan semangat belajar para siswanya (sebagai bukti keberhasilan para gurunya membina mentalitas muridnya) adalah sesuatu sikap yang langka pada masa kini. Sedangkan di sisi lain, kalau kita lihat kehidupan di perkotaan (kota disini aku jadikan contoh karena kota adalah pusat segala-galanya; ya pusat pemerintahan, pusat ekonomi, fasilitas lengkap dsbnya), kehidupan sebuah desa seperti di gambarkan dalam film tersebut jauh dari segala sarana prasarana serta infra struktur yang memadai. Namun justru disinilah terlihat adanya tantangannya. Ternyata keunggulan fasilitas berupa sarana prasana serta infra struktur yang serba lengkap bukanlah manjadi ukuran sukses tidaknya suatu usaha, akan tetapi faktor mentalitas manusia jugalah yang memegang peranan penting.

Segala keterbatasan sering sekali membuat dan menggugah semangat motivasi (Bhs. Bali : Jengah) mereka yang berada pada posisi itu. Dalam contoh ini adalah para guru, murid, serta juga masyarakat disekitarnya. Awal dari bangkitnya semangat untuk maju adalah sangat berat di dalam alam dan kondisi seperti yang terlukiskan dalam film itu. Diperlukan seorang yang berjiwa pengabdian dan berjiwa mulia seperti yang terdapat pada diri Pak Harfan dan Ibu Muslimah dua guru SD dalam film itu. Adalah suatu sikap yang sangat naif di tengah-tengah jaman yang materialistis ini terdapat insan pendidik seperti tokoh ke dua guru itu. Sedangkan keseharian, kita sudah terbiasa melihat dalam lingkungan sendiri. Misalnya, dilingkungan dimana aku berprofesi sebagai tutor (maaf bukan maksudku membeberkan keburukan dalam lingkunganku sendiri untuk konsumsi publik. Dalam hal ini kita harus berani melakukan auto kritik demi menuju langkah yang lebih maju). Saat ini, dimana kami yang menjadi tutor di Kejar Paket C tidak lagi mendapat honor karena Paket C adalah program swadaya (beda dengan Paket A dan B yang merupakan program Wajib Belajar 9 tahun). Selain itu tutor yang ber NIP (PNS) sudah diberikan tunjangan profesi seperti yang aku peroleh yaitu tunjangan fungsional. Jadi, semenjak tahun ajaran 2008/2009 kita para tutor tidak lagi mendapatkan honor mengajar (kecuali tutor luar yaitu mereka yang non PNS yang kita tunjuk sebagai tutor. Mereka kita beri ala kadarnya. Dari kondisi di lingkungan kami ini kini terlihatlah diantara kita ini mana yang benar-benar memiliki komitmen untuk mengabdikan diri kepada masyarakat, bangsa, dan negara. Ada yang ogah-ogahan mengajar, mengomel, atau ada juga dengan berbagai alasan dan argumentasi untuk ingin hengkang dari tugasnya. Padahal sebelum tahun ajaran tersebut, merekan bahkan secara diam-diam ada yang mengajar sampai di 3 kelas yang berbeda (dan mereka bahkan diam-diam atau bahasa balinya “klepas-klepes” seperti kalau orang lagi makan sendirian tak ingin dilihat dan diganggu orang lain). Tapi, begitu tidak mendapatkan honor seperti saat ini barulah ketahuan belangnya dan ngomel-ngomel melulu mengatakan tugasnya sangat berat mengajar sampai 3 kelas (padahal dulu saat mendapat honor, “klepas-klepes” sendiri bahkan selalu melobi agar mendapat jatah mengajar lebih banyak dari jumlah mengajar yang hanya 3 kelas itu). Ah, ternyata motivasinya bukanlah pengabdian kepada masyarakat, negara, dan bangsa. Akan tetapi mengabdi pada RUPIAH. Atau bahasa yang sering dilontarkan dikalangan kami terhadap sikap mental orang seperti itu adalah orang-orang yang MENGEJAR SETORAN.

Bagi para tutor yang masih memiliki idialisme atau pun untuk membangkitkan motivasi , film “LASKAR PELANGI” sangatlah baik dijadikan inspirasi untuk memotivasi diri bahwa masih diperlukan insan pendidik seperti tokoh Bapak dan Ibu Guru dalam cerita film tersebut. Apalagi film itu diangkat dari sebuah novel yang merupakan kisah nyata. Dan novelisnya yakni Andrea Hirata adalah salah satu alumni sekolah yang digambarkan dalam film tersebut. Bukan saja menjadi inspirasi para pendidik tapi juga para peserta didik kesetaraan Kejar Paket. Dan aku selalu memberi motivasi para peserta didik (warga belajar) dengan mengisahkan jiwa kepahlawanan para guru serta para murid dari sekolah yang digambarkan dalam film “Laskar Pelangi” tersebut.

Aku sangat mengharapkan agar lahir lagi film-film pembangkit dan penyebar semangat seperti film “Laskar Pelangi” di tengah-tengah menjamurnya tayangan televisi yang meyiarkan sinetron yang akhir-akhir ini lebih mengutamakan sisi komersialnya dan mengenyampingkan sisi pendidikannya. Lebih men “dewa” kan rating tayangan dari pada rating terhadap sisi pembinaan cq pembinaan sikap mental para generasi muda kita.

Sekali lagi, tulisan blogg ku ini bukanlah sebuah refrensi film “Laskar Pelangi”, akan tetapi mengangkat film ini sebagai tema tulisan bukanlah objek, objeknya tetap saja seputar dunia pendidikan dalam hal ini pendidikan non formal. Dengan tulisan ini, penulis berharap agar kita terutama sekali para pendidik khususnya para tutor pada pendidikan kesetaraan tidak hanya melulu memikirkan KEJAR SETORAN, akan tetapi perhatikan pula sisi pengabdiannya. Bukan berarti kita tidak membutuhkan uang, akan tetapi yang proporsional saja sesuai dengan ketentuan dan aturan yang dikeluarkan lembaga atau pemerintah dimana kita mengabdi. Meski apa yang aku tulis ini bagaikan menegakkan benang basah atau melawan arus di tengah-tengah jaman yang menjadikan materi adalah TUHAN, setidaknya masih ada yang mengingatkannya di antara kita. Kita hidup memanglah selalu dan sebaiknya saling mengingatkan dan akan baik sekali segera sadar akan hakikat kita dipercaya menjadi seorang pendidik.

Film “LASKAR PELANGI” kuangkat di sini menjadi contoh dengan tujuan manjadi inspirasi di bidang semangat dan idialisme para pendidiknya kendatipun di tengah-tengah berbagai keterbatasan sarana prasarana serta fasilitas yang jauh dari layak, secara geografis berada di daerah terpencil serta berbagai keterbatasan lainnya lagi. Bahwa semua keterbatasan tersebut tidak dengan sendirinya menjadi kendala dalam meraih suatu sukses dan tidak akan menghalangi lahirnya insan yang berprestasi. Sekali lagi sukses dan prestasi juga sangat ditentukan oleh faktor mentalitas dan keyakinan yang kuat. Kalau meminjam bahasa iklan pada masa kampanye yang lalu yakni bahwa KAMU BISA.

Kusadari tulisan ini sangat jauh dari layak untuk konsumsi para cerdik pandai. Namun demikian mungkin ada diantara pembaca setidaknya terinspirasi oleh maksud tulisan ini sehingga nanti dapat menangkap maksud penulis serta mengulang menuliskannya dengan kualitas yang lebih baik. Mungkin kalau ini media cetak umum dan komersial seperti koran, aku akan ragu mengirimkan untuk dimuat, tapi karena ini blog pribadi jadi aku tidak ada beban menulisnya dan memuatnya. Lagi pula, ini hanyalah uneg-uneg seperti yang selalu kusebutkan selama ini. Uneg-uneg yang dibiarkan liar dibenak dan terbang hilang terlupakan. Tidak ada salahnya kemudian aku salurkan dalam bentuk tulisan. Dan ini aku tulis dengan cepat, hanya dalam waktu sekitar 20 menit sudah selesai. Jadi, kalau ada yang bilang ga bermutu ya bisa aku terima. Sampai disini kuakhiri tulisan ini. Semoga (meski tidak bermutu) tulisan ini dapat menginspirasi para pembaca, kalaupun tidak dari tulisan ini, setidaknya anda terinspirasi oleh sesuatu dalam hidup ini. Misalnya mereka yang saat ini nganggur tidak punya kerja, dapat terinspirasi oleh orang lain yang karena uletnya (bahkan dengan modal 10 ribu rupiah seperti yang ku tonton di sebuah acara TV swasta, ada yang mampu sukses menjadi pengusaha kelas menengah) menjadi orang yang sukses. Sampai jumpa di lain tulisan.

Minggu, September 06, 2009

MEDIA HANYALAH ALAT, BAIK BURUK TERGANTUNG MANUSIANYA

“Anak-anak jangan baca komik ya, komik itu tidak baik,” kata Ibu guru.

Kata-kata itu aku dengar waktu aku masih SD. Aku lupa, duduk dikelas berapa waktu itu..

Dirumah pun orang tuaku berucap senada. Kini setelah dewasa, larangan serupa pun aku dengar lagi, “Jangan ber Facebook, Facebook itu haram!”.

Namun karena aku sudah kecanduan, aku masih membacanya sembunyi-sembunyi. Atau pura-pura belajar, tetapi komiknya aku selipkan di tengah-tengah buku pelajaran.

Aku paham maksud orang-orang tua itu. Larangan itu bermaksud baik, tapi karena penyampaiannya sepotong-sepotong maka dapat menimbulkan salah pengertian.

Komik dan Facebook hanyalah sebuah media. Media itu hanya wadah, hanya alat. Alat untuk menyampaikan pesan dan informasi tentang sesuatu. Komik misalnya, media untuk menyampaikan pesan kepada orang lain. Pesan disini adalah pesan tertulis. Bisa berupa cerita, legenda, hikayat dan sejenisnya. Pesan dari penulisnya atau pengarangnya kepada orang lain yang berminat dalam hal ini para penggemar cerita, kisah, legenda, hikayat dan sejenisnya itu.

Jadi sekali lagi, komik hanyalah sebuah media atau alat. Apakah sebagai media atau alat informasi komik dapat dibilang buruk? Kalau menurutku sih bukan komiknya yang baik atau buruk. Tetapi pesan-pesan yang disampikan dalam komik itulah yang baik atau buruk.

Kalau dianalogikan ke pisau, apakah pisau itu baik atau burukkah? Ya, tergantung siapa yang memegang pisau itu. Kalau yang pegang pisau orang yang normal, maka pisau itu banyak sekali kegunaannya. Misalnya : untuk pekerjaan dapur seperti memotong daging, mengiris bawang dan sebagainya. Tetapi kalau yang memegangnya orang yang abnormal, gila, sedang marah dan emosi, wah bisa berabe sebaiknya jangan dekat-dekat dengan mereka.

Jadi, dari uraian diatas sudah dapat disimpulkan, bukan media atau alat itu yang kita nilai baik atau buruk, tapi mereka yang mengendalikan alat itu lah yang berperan apakah akan menjadi baik atau buruk. Semua hasil budaya manusia apakah akan bermanfaat baik ataukah buruk tergantung dari manusia yang memanfaatkannya. Kalau dicontohkan, sudah banyak contoh yang terjadi semenjak zaman dahulu kala (masa prasejarah ; masa bertanam dan berburu) saat pertama kali meanusia mengenal alat sebagai benda untuk membantu mempermudah hidupnya.

Segala hasil budaya yang ada disekeliling kita jika dipergunakan dengan baik, maka akan berguna. Tapi kalau disalahgunakan akan berakibat buruk. Ketika Albert Einstein menemukan atom, mungkin tak pernah ia bayangkan hasil temuannya itu akan digunakan meluluhlantakkan kota Hirosima dan Nagasaki. Beliau sangat sedih dan marah dengan kejadian itu.

Demikian halnya dengan listrik, nuklir, serta semua hasil budaya manusia lainnya, baik buruknya tergantung manusia penggunanya yang memutuskan, ditujukan untuk kebaikan (bermanfaat) atau keburukan (tidak bermanfaat).

Komik facebook apa bedanya dengan televis, HP, Komputer dan sebagainya hanyalah alat atau media. Baik buruknya ya tergantung si manusia yang menggunakan dan memanfatkan. Pesan informasi pada komik ini dibuat oleh manusia. Sekarang tergantung niat dan maksud sipembuat pesan.

Komik yang disebut-sebut tidak baik itu kalau mengandung pesan yang baik dan berguna apa tetap disebut tidak baik? Umpama saja komik tentang sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Tentang para pahlawan kita dan sebagainya. Tentu kita tidak bisa katakan tidak baik bukan?

Demikian halnya dengan media lain seperti televise, Vidio, surat kabar, Komputer dan berbagai jenis dan bentuk media lainnya. Semuanya hanyalah alat, alat untuk menyampaikan pesan dan informasi. Jadi, bukan alatnya yang baik atau buruk akan tetapi tergantung pesan dan informasi yang terkandung dalam pesan itu.

Aku tahu maksud Guru, Orang tua dan tokoh masyarakat itu. Mereka bermaksud baik. Mereka khawatir jika kita terlalu berlebih-lebihan berkomik ria atau ber facebook, berakibat lupa terhadap tugas-tugas lainya. Para pelajar yang asik membaca komik akan lupa belajar. Demikian juga dengan media lainnya yang membuat kecanduan akan banyak menyita waktu sehingga waktu untuk tugas-tugas lain akan berkurang dan tidak mencukupi.

Para guru dan orang tua kita mengharapkan agar kita pandai-pandai mengatur waktu sehingga kita tidak ketinggalan dalam menuntut ilmu untuk bekal kelak dikemudian hari. Mari kita dengan arif menerima teguran para beliau demi untuk kebaikan kita kelak dikemudian hari.

Rabu, Agustus 05, 2009

KISAH KISAH SEPUTAR SUKA-DUKA MENJADI TUTOR





Setiap orang memiliki masa lalu, itu sudah pasti. Tanpa masa lalu kita tidak mungkin mempunyai masa kini dan masa depan atau masa yang akan datang. Masa kini tidak dapat dipisahkan dengan masa lalu. Atau masa lalu adalah bagian dari pada masa kini serta masa depan. Semua unsur waktu itu adalah bagian dari pada proses perjalanan hidup manusia yang juga merupakan bagian dari makhluk hidup dan alam semesta.

Aku akan membahas masa laluku, tapi masa lalu yang kumaksud disini adalah awal aku memulai profesiku sebagai seorang tutor. Masa-masa awal yang berat dan penuh tantangan dan rasanya sayang untuk dilupakan begitu saja.

Aku mulai menjadi tutor Pendidikan Kesetaraan Kejar Paket pada tahun 1998. Dimulai dari mejadi tutor Kejar Paket B. Menjadi tutor Kejar Paket sudah merupakan salah satu tugas pokok Pamong Belajar Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) Menurut SK MenPAN No. 25/KEP/MK.WASPAN/6/1999 Bab I Pasal 3. pamong belajar mempunyai tiga tugas pokok, yaitu:

a. melaksanakan pengembangan model program pendidikan luar sekolah, pemuda, dan olahraga.
b. melaksanakan kegiatan belajar mengajar dalam rangka pengembangan model dan pembuatan percontohan program pendidikan luar sekolah, pemuda, dan olahraga; dan
c. melaksanakan penilaian dalam rangka pengendalian mutu dan dampak pelaksanaan program pendidikan luar sekolah, pemuda dan Olahraga.

Dengan demikian, menjadi tutor Kejar Paket bagi seorang Pamong Belajar SKB wajib hukumnya.
Pada tahun 1998 para pamong belajar SKB (waktu itu masih bernama UPTD SKB Denpasar Kota) melaksanakan identifikasi di 3 kecamatan Kota Denpasar. Hasil identifikasi terhadap kebutuhan belajar warga masyarakat itu berhasil menjaring calon warga belajar Kejar Paket B. Dari hasil identifikasi itu UPTD SKB Denpasar Kota kemudian membentuk kelompok-kelompok belajar dibeberapa Kelurahan dan Desa di Kecamatan Denpsar Timur dan Denpasar Selatan. Antara lain di Desa Penatih Dangin Puri, Desa Kesiman Petilan, Desa Sanur Kaja Kecamatan Denpasar Timur dan di kampus UPTD SKB Denpasar Kota. Proses belajar mengajar dilaksanakan mulai bulan Juli tahun 1998. Aku sendiri mendapat tugas sebagai tutor Kejar Paket B di Desa Penatih Dangin Puri.

Dalam tulisan blogku kali ini, aku akan menulis seputar pengalamanku dan teman-teman tutor lainnya yang bertugas di Desa Penatih Dangin Puri. Suatu pengalaman yang sarat dengan berbagai tantangan, halangan/kendala serta cobaan berat lainnya. Tentu tak akan pernah kulupakan sepanjang hayatku.

Memotivasi Calon Warga Belajar
Mengajak warga masyarakat untuk belajar di kelompok belajar (Kejar) paket tidaklah mudah. Sesuai denga sebutannya yakni Kejar, kita betul-betul harus mengejar para calon warga belajar ini. Memotivasi mereka dan menjelaskan akan pentingnya pendidikan.

Untuk itu memang perlu memilki kemampuan dalam melakukan pendekatan terhadap sasaran didik ini. Maklumlah, mereka adalah orang-orang yang bermasalah. Bermasalah dalam artian berkaitan dengan berbagai masalah seperti masalah ekonomi sehingga membuat mereka tidak mampu melanjutkan pendidikannya di pendidikan formal.

Faktor-faktor yang paling sering mempengaruhi kegagalan mereka melanjutkan pendidikan formalnya antara lain yang paling signifikan adalah faktor ekonomi. Oleh karena itulah faktor ekonomilah yang lebih mereka perhatikan dari pada pendidikan. Tidak berpendidikan, manusia masih bisa hidup tapi kalau tidak makan bagimana bisa hidup? Demikian dasar pemikiran mereka.

Dengan demikian, konsep KEJAR yaitu bekerja sambil belajar lebih cocok diterapkan dalam menjaring mereka. Berikan mereka mencari pekerjaan dahulu, kemudian sisa waktu yang masih dimiliki inilah kita isi dan ajak mereka belajar. Jadi, bekerja dulu belajar kemudian.

Jika tidak demikian, jangan harap kita akan berhasil mengajak mereka untuk belajar. Bahkan kita akan mendapat tantangan keras terutama sekali oleh orang tua dan keluarganya karena calon warga belajar ini merupakan tulang punggung keluarga.

Kata-kata seperti misalnya : buat apa belajar, itu tetangga kami yang sudah belajar sampai perguruan tinggi dan kini sudah sarjana saja masih menganggur dan belum mendapat pekerjaan. Atau, saudara mengajak anak saya belajar, lalu siapa yang mencari nafkah dan memberi kami makan serta kebutuhan kami sehari-hari?

Ucapan-ucapan senada itulah yang kami terima saat melaksanakan identifikasi. Hal ini dapat kami maklumi. Kami sadar bahwa usaha kami mengajak putra-putrinya atau anggota keluarganya itu seolah-olah merampas orang yang menjadi pahlawan ekonomi keluarganya. Jadi sekali lagi kita perlu memiliki trik-trik khusus dan pendekatan yang persuasive terhadap mereka.

Itulah sebabnya ciri Pendidikan Kesetaraan ini salah satunya harus fleksibel. Fleksibel terhadap tempat belajar, usia sasaran didik dan waktu belajar. Misalnya saja fleksibel terhadap waktu, jika para warga belajar bekerja dari pagi sore hari, maka kita pilih waktu belajarnya malam hari. Seperti yang kami laksanakan pada Kejar Paket-Kejar Paket yang kami bentuk dibeberapa Desa yang sudah kami sebutkan diatas. Waktu belajar yang ideal adalah mulai jam 16.00 sampai dengan jam 21.00 wita. Dengan demikian, disini tidak ada pihak yang dirugikan terutama sekali pihak warga belajar. Pagi sampai sore bekerja, malamanya belajar (KEJAR).

Jemput Bola
Pada saat melaksanakan proses belajar pun kami menghadapi berbagai kendala. Misalnya warga belajar yang bermalas-malasan datang belajar ke tempat belajar. Untuk itu, sebagai tutor kita tidak boleh bersikap formal sebagaimana guru di pendidikan formal. Para tutor harus lebih dulu datang dan menunggu di tempat belajar. Jika tutor belakangan datang dan belum hadir ditempat belajar niscaya para warga belajar akan kembali ke rumahnya masing-masing.
Tak jarang juga kami harus menjemput mereka ke rumahnya masing-masing kemudian membonceng satu persatu ke tempat belajar.

Kendala Cuaca serta Cara memotivasi Diri
Kendala lainya adalah masalah cuaca yang kurang bersahabat. Terutama sekali saat-saat musim penghujan. Pada musim penghujan biasanya warga belajar malas keluar rumah untuk diajak belajar. Mereka lebih memilih tidur dan sembunyi dibalik selimut kedinginan. Demikian juga dengan para tutor. Tutor yang professional, idialis dan memiliki tanggung jawab moral serta memiliki komitmen mengabdikan diri di Pendidikan Non Formal cq Pendidikan Keserataan Kejar Paket tentu akan melaksanakan tugasnya tanpa memperdulikan faktor gangguan cuaca ini. Tidak demikian halnya terhadap tutor yang tidak professional. Syukurlah, kawan-kawan yang bertugas di desa Penatih Dangin Puri ini adalah orang-orang yang professional dan memilki komitmen dan jiwa pengabdian terhadap nusa dan bangsa melalui pendidikan kesetaraan ini.

Dalam menjalani tugas sebagai tutor tak jarang juga timbul kendala yang muncul dari dalam diri sendiri. Misalnya saat-saat seperti mengahadapi cuaca yang tidak ramah. Sebagai suatu contoh, aku pernah terjebak banjir di tengah jalan saat hujan tiba-tiba turun deras. Sebagai tutor yang professional dan bertanggung jawab, aku tetap saja menerobos hujan deras itu menuju tempat belajar Kejar Paket B. Sampai kemudian aku tidak dapat melanjutkan perjalanan karena sepeda motorku mesinnya mati dan macet ditengah jalan. Mana listrik mati lagi sehingga jalan di pedesaan tersebut gelap gilita. Saat itu jam tanganku menunjukkan jam 20.00 wita (aku dapat ngajar jam ke 2 sesuai jadwal).

Kondisi seperti ini sempat meruntuhkan mentalku. Betapa terasa berat saat-saat seperti itu melaksanakan tugas mengabdikan diri kepada nusa dan bangsa. Sementara pada saat bersamaan aku bayangkan teman-teman yang non Pamong Belajar tidur nyenyak atau mungkin sedang bercengkrama dengan keluarga sambil minum kopi hangat dan sepiring pisang goreng sambil menonton tayangan sinetron di TV.
Akan tetapi bayangan pesimistis itu segera buyar digantikan dengan rasa besar hati tatkala aku bayangkan wajah Ki Hajar Dewantara. Aku bayangkan bagaimana pengabdian beliau pada masa lalu dibidang pendidikan untuk memajukan bangsanya. Betapa beliau begitu gigih dan tanpa pamrih mendidik bangsanya agar maju dan sejajar dengan bangsa-bangsa lainnya di dunia ini.

Aku juga membayangkan bagaimana guru-guru di tempat-tempat terpencil seperti pedalaman Kalimantan, Papua dan daerah lainnya yang geografisnya begitu berat dan sulit dijangkau seperti sering kulihat tayangannya di TV. Apa yang kulakukan ini masih belum seberapa dibandingkan yang dilakukan oleh para pahlawan pendidikan itu. Apalagi secara geografis Kota Denpasar tidaklah seberat medan binaan mereka itu. Membayangkan mereka, semangatku kembali bangkit dan tumbuh bahkan bangga menjadi seorang tutor.

Ya, begitulah caraku untuk memotivasi diri agar memiliki semangat dalam melaksanakan pengabdianku kepada bangsa dan negara dengan menjadi tutor Pendidikan Kesetaraan ini. Padahal kalau diingat-ingat pada saat itu para Pamong Belajar belumlah mendapat tunjangan professional.

Lain halnya ketika mengajar di kampus SKB Denpasar Kota. Saat musim hujan aula gedung SKB bocor keras sehingga ruang belajar digenangi air. Apalagi ruang belajar ini area bagian tengahnya lebih rendah sehingga air yang tumpah disana menjadi kolam renang. Kondisi ruangan seperti ini tentu sangat menggangu proses belajar mengajar. Bahkan warga belajar terpaksa jongkok di kursi agar betis mereka tidak terendam air.

“Adik-adik, hari ini pelajaran kita adalah berenang “, selorohku sehingga para warga belajar serempak tertawa. Selorohan untuk membangkitkan suasana belajar agar kita tidak murung dan pesimis.

Selain kendala cuaca seperti diatas, kami juga pernah di kejar-kejar anjing sepanjang jalan di Desa Penatih Dangin Kuri. Ada juga pengalaman horor yang dialami oleh rekan kami (Aku belum pernah mengalaminya dan memang berdoa agar tidak mengalaminya).

Ceritanya begini, saat itu rekan kami Pak Made Suadra, BA akan mengajar Matematika di Kelompok Belajar Paket B Desa Penatih Dangin Puri. Sebagai tutor yang memiliki desiplin yang tinggi, 1 jam sebelum acara dimulai beliau sudah menunggu di beranda Kantor Desa setempat (tempat proses belajar mengajar dilaksanakan). Saat itu jarum jam tangan beliau menunjukkan angka 7.30. Suasana di sana sudah gelap dan sangat sepi. Maklumlah penerangan berupa lampu pijar 25 watt yang tergantung di beranda kantor itu sangat terbatas sinarnya sehingga tidak mampu menerangi halaman kantor itu sampai kepojok dan sudut-sudut halaman.

Selagi menunggu warga belajar tiba-tiba ada sinar api dibawah pohon kepuh (sejenis pohon yang dianggap angker oleh masyarakat Bali). Pada saat itu tidak ada pikiran horor dibenak beliau. Beliau menyangka ada orang yang sedang merokok dibawah pohon. Sebagai seorang perokok, beliau berfikir ada teman yang diajak merokok. Rencananya beliau ingin minta api sebagai basa-basi perkenalan dan teman ngobrol. Namun ketika beliau sudah dekat di tempat api tadi, tiba-tiba saja api itu padam. Dan beliau tidak menemukan siapapun disana. Bahkan diubok-obok pun tempat itu tidak ketemu dengan “perokok” tadi.

Demikian pengalaman-pengalam kami sebagai tutor yang penuh dengan romantika duka .
Selain duka tentu juga ada sukanya. Misalnya saja setelah melaksanakan proses belajar mengajar dengan serius dan sungguh-sungguh, kemudian tatkala semua warga belajar binaan kami di Kecamatan Denpasar Timur dan Denpasar Selatan itu berhasil lulus 100% dalam mengikuti UNPK, inilah rasa suka dan bangga yang kami rasakan. Tak sia-sia lah segala jerih payah kami karena berhasil menuntaskan Wajib Belajar 9 tahun mereka.

Demikian rasa suka dan duka yang akan selalu mengiringi kami dalam melaksanakan pengabdian kepada nusa dan bangsa dalam jalur Pendidikan Non Formal terutama sekali Pendidikan Kesetaraan Paket A, B, dan C serta Keaksaran Fungsional (KF).

Saat ini kondisi Pendidikan Kesetaraan sudah semakin baik. Masyarakat dalam hal ini masyarakat Kota Denpasar sudah mulai percaya dengan Pendidikan Kesetaraan ini. Lain halnya pada masa awal-awal pembentukan kelompok-kelompok belajar Kejar Paket beberapa tahun yang lalu, menjelang tahun ajaran baru, kita para Pamong Belajar SKB Denpasar Kota akan menyebar ke desa-desa untuk menjaring warga belajar, kini para warga belajar sudah mau datang ke kantor kami untuk mendaftarkan diri mengikuti Pendidikan Kesetaraan baik itu Paket A, Paket B terutama sekali Paket C.

Kami tak perlu lagi mengejar-ngejar calon warga belajar seperti berburu di hutan. Kami harapkan semoga kesadaran masyarakat makin baik dan memahami betapa pentingnya pendidikan. Kututup tulisan ini dengan kalimat bijak produk kearifan local warisan leluhur kita, “Amalkanlah ilmu-ilmu yang kamu miliki kepada mereka yang membutuhkan”.