Jumat, Agustus 24, 2012

KRAMA BALI SENGANCAN INOVATIF INDIK MEADOLAN SARANA UPAKARA AGAMA HINDU

Catatan: NIKI TULISAN KANGIN-KAUH UTAWI "RAOS KUTANG-KUTANG" Mangkin krama Bali sampun sengancan kreatif dan inovatif dalam hal indik meadolan. Mangkin irage sekancan gampang metumbasan bahan-bahan anggen upakara Agama Hindu. Yening dumun dua utawi tigang warsa sane kelintang irage sade sukeh lan rumit ngerereh bahan-bahan anggen kelengakapan upakare puniki. Yening mangkin rasane jeg serba gampang karena inovatif krame Baline meadolan. Ipun semakin terasah naluri bisnisnya tahu akan kebutuhan krama Bali menyangkut bahan-bahan upekara puniki. Sekadi hukum pasare ada permintaan ada penawaran. Bahkan akeh sampun sane ngelaksanayang “jemput bola” pelaksana ipun indik meadolan puniki. Sebenernya titiang dumun sekitar dua puluhan tahun yang lalu sampun punya pemikiran sekadi sane sampun kelaksanayang oleh pedagang krama Bali puniki. Nenten je titiang medewek ririh utawi sok pintar. Nanging punapi kaden sane ngeranayang lamunan titiang aneh-aneh kemanten. Waktu nike tiang berpikir mengapa ya orang-orang Bali cq para pedagang dalam soal cara berdagang dan menawarkan barang dagangannya tidak dan kurang proaktif mendatangi para pembelinya? Tapi mereka malas-malasan serta pasif dan hanya menunggu datangnya pembeli? Mengapa ya umpamanya pada saat-saat seperti menjelang Galungan dan Kuningan serta hari-hari suci yang sarat dengan kegiatan ritual justru para pedagang ini tidak mengejar-ngejar pembelinya sampai ke rumah-rumah misalnya. Misalnya datang saja ke sebuah kompleks perumahan dimana dalam kompleks perumahan ini masyarakatnya identik dengan orang-orang Bali yang sibuk dan tidak punya waktu untuk membuat kelengkapan sarana upakara agama Hindu karena bekerja di Hotel, perusahaan swasta yang mana waktu mereka untuk menyiapkan sarana upakara ritual Agama Hindu Bali sangat terbatas? Misalnya menawarkan Penjor yang jadi maupun setengah jadi. Bila perlu mungkin disertai dengan servis ataupun jasa memasang penjor. Demikian juga menawarkan kebutuhan-kebutuhan lainnya seperti menjual "canang", "segehan" dll. Sebab dimana ada hal-hal yang bersifat kepepet dan mendesak disanalah peluag bisnis itu timbul dan asumsinya pastilah laku dan laris. Nah "Krama Bali" mestinya peka dan tajam penciumannya soal ini. Itu pemikiran tiang beberapa puluh tahun yang lalu. Tapi kini semua itu sudah jadi kenyataan. Tiang sangat gembira sekali dan setuju banget. Tentu dalam segala hal akan timbul pro dan kontra. Ada yang berpikiran bahwa apa yang tiang pikirkan itu adalah bentuk suatu kemalasan dsbnya. Namun yang setuju tentu juga punya alasan tersendiri misalnya praktis dsbnya. Namun apapun itu hanyalah soal berbeda cara berpikir. Dan pada masa kini perbedaan pola pikir itu adalah bagian dari demokrasi bukan? Terlepas dari masalah pro dan kontra namun ini sejalan dengan waktu akhirnya krama kita juga akan melakukannya. Bahkan krama yang dulu dan awalnya paling vocalpun pada akhirnya bahkan larut dan ikut juga melakukannya. Sekali lagi ini hanyalah soal waktu apalagi kata orang-orang pintar bahwa perubahan itu adalah kekal. Contoh gampang seperti yang pernah tiang alami. Sekitar dua puluh tahun yang lalu pada saat tiang "ngayah" di tempat salah satu keluarga tiang yang meninggal dunia. Pada saat itu tiang "ngayah" dan membantu ikut menempel dan menghias "wadah"Saat itu tiang keceplosan bilang pada mindon tiang sane sareng ajak "ngayah" dengan nada guyon, “Bagaimana ya kalau wadah ini dikasi roda di tiap sudutnya lalu kita dorong kan praktis dan tidak memberatkan warga banjar yang memanggulnya?” demikian tiang guyon. Tiba-tiba salah satu “nak lingsir” yang ikut mengarsiteki "wadah" itu mendamprat tiang dengan emosi, “Sekalian aja kamu pakai ambulan ke keburan kan lebih praktis !” katanya dengan logat yang tajam mengecam tiang. Sebagai generasi muda, tentu tiang ga berani nanggapi dan rasanya “tulah” dan murtad melakukannya. Tiang pun diam saja. Tapi kini, sekitar dua dasa warsa ucapan tiang itu, beberapa krama Bali terutama sekali di Kota Denpasar sudah tidak tabu lagi kalau ke setra “wadahnya” menggunakan roda dan di dorong oleh "krama banjarnya"! Kembali ke konteks inovasi Krama Bali dalam soal meadolan sarana “upakara” Agama Hindu di Bali. Ke depan rasanya tentu perlu lebih ditingkatkan lagi. Karena disatu sisi bagi Krama Bali yang sibuk dikarenakan tugas dan profesinya semisal bekerja di Hotel, perusahaan swasta dsbya dimana sangatlah menyita waktu dan ketat dengan izin atau liburan sehingga tentu juga sangat berpengaruh dengan aktivitasnya dalam membuat dan menyiapkan bahan-bahan atau sarana upakara ini sehingga salah satu alternatifnya tentu saja membeli. Bagi mereka ini, tidak usalah tabu untuk membeli. Apakah membeli "sanggah cucuk", bahan "penjor", "klangsah" dsbnya. Mengapa kita mesti memaksa-maksain diri untuk “mengulat klakat” misalnya padahal kita ga ahli soal yang begituan? Biar saja Krama Bali kita yang dapat waktu dan ahli membuat itu kemudian dengan keahliannya itu lalu kita nilai dengan uang? Seperti kata seorang pejabat tinggi, "Serahkan saja pada ahlinya !". Dengan demikian maka roda perekonomian Krama Bali akan hidup dan berputar! yang ahli dalam soal membuat kelengkapan “upakara Panca Yadnya” ini menjual hasil buah keahliannya itu, sedangkan para pekerja Hotel dan swasta dsbnya tsb dengan penghasilannya dari profesinya sebagai karyawan kemudian membeli buah tangan dari krama Bali yang trampil dengan keahlian membuat bahan atau kelengkapan “Upakara Panca Yadnya” ini. Ah tulisan tiang yang mutunya amburadul ini hanyalah contoh kecil saja dari beberapa persoalan yang sering menimbulkan pro kontra di masyarakat terutama di pedesaan dimana sifat gotong royong dan kekerabatan masih kental. Tentu sekali lagi ada yang setuju dan yang tidak setuju, namun pada akhirnya waktulah yang menjadi penentu. Apakah kita “Krama Bali” yang dalam hal mempersiapkan upakara keagamaan serta adat istiadat ini masih kukuh mempertahankan cara-cara lama (dresta kuna) yang tertradisikan turun-temurun dengan argumentasi “mule keto” dan takut melakukan perubahan. Atau "Krama Bali" yang karena kondisi serta profesinya untuk mencari sesuap nasi di perkotaan sehingga kurang waktu untuk mempertahankan tradisi lama yang memerlukan banyak waktu untuk melaksanakannya. Jika dikarenakan alasan adat serta awig-awig yang berlaku di Desa dan lingkungannya kemudian mereka dipaksa melakukan sesuatu yang bukan keahliannya dan karena “pemaksaan” oleh aturan tsb pada akhirnya mereka harus melepaskan dan meninggalkan profesinya, bukankah kondisi ini akan semakin membuat krama kita itu hidupnya secara ekonomi akan murat-marit? Kemudian pekerjaan yang mereka tinggalkan itu diambil orang dari luar Bali yang mana mereka tentunya tidak akan mengembangkan tradisi Bali meski mereka bekerja di Bali dan ini adalah pengorbanan besar yang akan sangat merugikan Bali (kini bahkan orang “Jawa” bahkan sudah bisa membuat “canang” dan menjualnya). Dan jujur saja, segala pembiayaan untuk berbagai upakara keagamaan kita di Bali dan di Denpasar utamanya, hasil pengamatan tiang secara langsung adalah: 90 % krama Bali masih mengandalkan warisan leluhurnya untuk membiayai semua upacara Panca Yadnyanya. Hanya segelintir saja yang menggunakan "dakin lima" untuk membiayai upacara Panca Yadnya tsb. Tidaklah kemudian heran kalau ada perumpamaan yang sarat guyon bahwa: "Orang Bali jual tanah beli bakso, Orang Jawa jual bakso beli tanah". Maaf yang dimaksud "Jawa" disini bukanlah ditujukan untuk etnis Jawa saja. Karena konotasi "Jawa" disini artinya Jauh (sebutan untuk para pendatang dari luar Bali). Kemudian akan timbul lagi keluhan krama Bali bahwa “orang luar Bali” mengambil lahan pekerjaan krama Bali. Demikian seterusnya, apa itu yang kita inginkan terjadi? Sedangkan untuk melaksanakan upakara keagaam di Bali ini bukankah kita memerlukan biaya yang tidak sedikit? Tiang akan ceritakan tentang suatu katakanlah ini suatu kasus. Begini, salah seorang krabat dekat tiang pernah menampung anak desa di rumahnya. Anak Desa ini drop out SD kelas 5 karena sudah tidak mampu membiayai pendidikannya dikarenakan ayahnya meninggal. Sedangkan ibunya hanyalah seorang ibu rumah tangga yang tidak punya pekerjaan. Sejatinyalah ia orang miskin. Nah di Denpasar ini si anak yang diajaknya untuk membantu dirumahnya itu oleh krabat tiang ini punya hati mulia untuk menyekolahkan lagi si anak Desa ini. Singkat cerita, si anak pun dapat menyelesaikan pendidikan SDnya dengan baik. Saat krabat tiang ini berniat untuk menanggung si anak Desa ini ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi yakni SMP, tiba-tiba dating utusan dari Desa asal anak ini. Si anak ini diminta kembali ke Desanya untuk “Ngayah Desa”. Hal ini dikarenakan ia tidak punya ayah maka sebagai anak tunggal dan laki-laki pula maka menurut “awig-awig” Desanya ialah yang bertugas menggantikan ayahnya untuk “ngayah” di Desanya. Si anak Desa pun kembali ke Desanya. Maka gagalah usaha krabat tiang yang berhati mulya itu untuk menjadikan si anak Desa ini orang yang memiliki masa depan yang lebih baik dari pada nasib orang tuanya di Desa. Dan di Desanya pun ia “lepug” ngayah Desa. Bila ada suatu kegiatan adat, kegiatan ritual keagamaan (“Panca Yadnya”)di Desa tsb, maka ia pun “ngayah” dan juga kena “ayah-ayahan” seperti beberapa butir kepala, beberapa lembar klangsah dsbya. Sedangkan untuk bahan “ayah-ayahan” itu ia memerlukan uang untuk membelinya. Tentu beda dengan krama desanya yang lain dikarenakan masih punya tegalan dengan segala berbagai jenis tetanaman yang bisa dipetik semisal kelapa dsbnya. Sedangkan si anak Desa ini? Ia betul-betul miskin dan hanya punya “tegak umah” kurang dari setengah are. Nah, disatu sisi dibebankan dengan berbagai tugas kegiatan di Desa sebagai pengganti orang tuanya dan juga “ayah-ayahan” Desa dalam bentuk mentahan seperti beberapa butir kelapa dsbnya itu. Ya kalau hanya sekali dua kali, tapi kegiatan upacara adat di Desanya intensitasnya terbilang padat dan sering sehingga tentu secara ekonomi sangatlah memberatkannya. Disisi lain ia tidak memeiliki pekerjaan dan juga pemasukan serta masa-masa mudanya dimana saat-saat masa menuntut ilmu terbuang dan tidak adanya kesempatan dikarenakan oleh peraturan di Desanya yang tidak memberikan toleransi untuk itu. Tentu juga sangat mempengaruhi masa depan anak ini. Maka, ia akan mengulangi lagi nasib sang ayah almarhum. Tidakkah ada kesempatan si anak Desa ini merubah nasibnya? Kapankah lingkaran setan ini dapat diputus? Jika tidak, kelak keturunan si Anak Desa ini juga akan mengulanginya lagi? Lalu, apakah generasi “Krama Bali” terutama oleh situasi peraturan Desanya akan seperti ini turun temurun? Suka tidak suka, masih ada Desa di beberapa pelosok Bali yang menerapkan aturan adatnya ketat seperti di Desa anak ini. Nah, ini hanyalah salah satu contoh kasus dimana jika kita kurang bijaksana dan mengabaikan sisi humanisme maka pada masa yang akan datang kita “Krama Bali” juga akan terkendala dengan persoalan-persoalan seperti ini. Sekali lagi, tulisan ini hanyalah “raos kutang-kutang” namun siapa tahu juga dapat menginspirasi terutama krama Bali yang hidup dan berhadapan dengan kondisi, situasi kekinian. Bukankah Agama Hindu kita tercinta menyuratkan serta menyiratkan tentang Desa, Kala, Patra? Apa itu artinya. Tiang pernah dengar "pekrimik" beberapa “Krama Bali” bahwa kita terutama di pedesaan lebih takut pada adat yang notabene buatan manusia dibandingkan Agama yang notabene wahyu Ide Betare. Sekali lagi tulisan ini hanyalah “raos kutang-kutang”, Jika tidak berkenaan mohon dimaafkan dan jangan diingat dan anggap tidak pernah ada dan membacanya. Namun siapa tahu tulisan ini menginspirasi bagi Anda dari kalangan kawula muda utamanya yang kelak akan menerima tongkat estafet sebagai penerus tradisi leluhur kita di Bali.
Keterangan Foto : Krama Bali semakin kreatif dan inovatif dalam berjualan alat-alat dan bahan upakara Agama Hindu. Misalnya menjelang Galungan dan Kuningan 29 Agustus 2012 ini. Mereka jemput bola dengan menjajakan barang dagangannya diatas mobil mendatangi rumah warga/konsumen.

Rabu, Mei 16, 2012

KEKUASAAN CENDERUNG SEWENANG-WENANG DAN KORUP !

Manusia adalah makhluk paling cerdas yang diciptakan Tuhan. Manusia adalah makhluk beradab. Sebagai makhluk yang memiliki akal budi yang kemudian membuatnya jadi beradab. Dari sebab ini kemudian melahirkan budaya yang salah satu outputnya adalah adat. Yang mana adat istiadat mempunyai tujuan mulia dan memuliakan manusia serta sebagai wahana salah satu fungsi sosialnya untuk mencapai kesejahteraan lahir dan batin. Namun seperti dalam wacana kearifan lokal menyebutkan bahwasanya sifat-sifat dalam kehidupan ini bagaikan mata uang yang memiliki dua sisi yakni sisi baik serta sisi buruk atau rwa bineda gebitulah istilahnya. Sisi baiknya seperti sudah disinggung diatas dalam tulisan ini adalah untuk mencapai kebahagian lahir dan batin. Namun disisi lain tak jarang bahkan sering dipakai untuk tujuan-tujuan yang tidak baik. Di Bali dimana masyarakatnya sarat dengan kegiatan-kegiatan adat yang notabene sebagai wahana pengejawantahan ajaran Agama Hindu kemudian oleh segelintir oknum yang picik, Adat sering dimanfaatkan atau ditunggangi oleh rasa egoisme oknum picik tersebut untuk menekan sesamanya bahkan saudaranya! Tentu si oknum yang merasa dirinya lebih superior baik secara material dan sosial terhadap pihak yang inferior. Tidak sedikit yang inferior ini kemudian termarginalkan dalam masyarakat dan lingkungannya! Sudah saatnya kini adat ditempatkan pada tujuannya yang benar sesuai niat mulia leluhur kita membuatnya, sehingga adat-istiadat membuat semua umat kita merasa nyaman melaksanakannya. Bukannya beban dan juga bukan karena tekanan oleh wawasan picik segelintir oknum yang terlibat dan melibatkan diri di dalamnya. Sehingga dengan demikian, umat kita kemudian mencari jalan lain yang berbeda dari tradisi kebiasaan dilingkungannya sebagai jalan pintas untuk mengatasi persoalan yang tidak mampu diatasinya dan tiadanya solusi dari masalah yang dihadapinya. Itu masih mending, tidak sedikit kemudian muncul pikiran keluar dari komunitasnya yang sudah terwariskan secara turun-temurun sejak leluhurnya. Dan kini oleh tekanan oknum-oknum picik itu membuat mereka berniat PINDAH AGAMA! Yadnya yang baik mulai dilaksanakan dari pikiran yang baik dan bertujuan mulia. Kemudian dilaksanakan oleh yang memiliki rasa Bhakti dan rasa mengabdi yang tulus ikhlas. Akan semakin manjadi baik bila para penentu di dalam pelaksanaan Yadnya ini memiliki wawasan keagamaan dan landasan sastra agama sehingga memiliki dasar yang baik dan kuat dalam pelaksanaan Yadnya. Jangan dimulai dari pikiran-pikiran yang dikuasai rajasik dan tamasik! Suryak Siu serta pikiran-pikiran yang jauh sekali dari pikiran suci, tulus ikhlas, damai untuk suatu kemuliaan dan kebahagiaan lahir batin bersama-sama. Dengan demikian semoga Yadnya yang dilakdanakan dapat diterima oleh Tuhan ! Kata-kata dalam wacana bijak: PEMILIK KEKUASAAN CENDERUNG SEWENANG-WENANG DAN KORUP ! Tak terkecuali dalam masyarakat kita di Bali ! YA TUHAN, SEMOGA PIKIRAN YANG BAIK DATANG DARI SEGALA PENJURU !

Sabtu, Oktober 15, 2011

TERINSPIRASI DAN TERMOTIVASI OLEH ORANG-ORANG YANG BERHATI MULIA


Hati saya selalu tergetar kalau melihat orang-orang yang berhati mulia dan berjiwa sosial. Lebih-lebih kalau mereka berprofesi pendidik dan berkecimpung dalam dunia pendidikan. Kemarin malam Sabtu 15 Oktober 2011, hati saya juga tergetar dalam tayangan Kick Andy di Metro TV tentang seorang wanita muda bernama Sinta Ridwan (kalau ga salah begitu namanya). Seorang penderita Lupus yang menurut dokter hidupnya hanya tingal 10 tahun kedepan. Ia juga menulis buku tentang kisah hidupnya dengan judul “BERTEMAN DENGAN KEMATIAN” dengan sub judul “CATATAN GADIS LUPUS”. Meski saya belum sempat mebaca buku beliau, namun dari judulnya saja sudah tersirat keharuan. Beliau yang usianya mungkin separuh kurang dari usia saya yang kini berkepala lima ini sungguh berjiwa sosial dan berhati mulia. Saat ini selain sebagai mahasiswa S2 Jurusan Filologi Universitas Padjadjaran, beliau juga menekuni aksara sunda dan mengajarkannya kepada mereka yang berminat mengenal budaya leluhurnya. Bahkan dalam jangka panjang beliau juga akan mempelajari aksara-aksara yang berada diseluruh Nusantara ini. Sungguh mulia sekali obsesi beliau itu. Kini beliau mempunyai sebuah kelas dimana beliau memiliki murid sekitar 40 an dan rata-rata dan sebagian besar berusia masih muda. Apa yang beliau lakukan yakni mengajarkan aksara sunda kepada para peminatnya, se sen pun beliau tidak memungut bayaran. Benar-benar mulia sekali. Mulia, selain mengajar tanpa memungut bayaran se sen pun, juga tidak lupa dengan warisan leluhurnya dan berupaya melestarikannya. Hati saya jadi tergetar dan terharu. Juga tersisip rasa malu. Ya malu, saya bertanya, apa yang sudah saya berikan kepada masyarakat dan bangsa saya ini? Sumbangan apa yang berarti dan bermanfaat yang sudah saya berikan kepada mereka yang membutuhkan setidaknya yang berguna bagi mereka? Kembali kepada orang-orang yang berjiwa mulia dan sosial ini. Selain beliau, saya juga pernah lihat di sebuah stasiun TV yang menayangkan prilaku mulia dan sosial yang juga dilakukan oleh seorang wanita. Wanita ini juga masih muda, tapi saya lupa nama beliau. Beliau pergi menuju tengah hutan di pedalaman kalimantan. Beliau bertemu dengan suku-suku terasing dan masih nomaden seperti suku dayak dan sebagainya. Dengan meninggalkan segala kesenangan duniawinya dimana selayaknya usia sebaya beliau sedang lagi suka-sukanya berhura-hura dengan segala kegembiraan mudanya bersama rekan-rekan sebayanya. Namun semua itu beliau tinggalkan dan lebih memilih hidup ditengah-tengah suku terasing dan komunitas masyarakat terpinggirkan dan belum tersentuh modernitas serta pendidikan. Disinilah beliau mengabdikan dirinya untuk memberdayakan mereka tanpa pamrih dan memperoleh serta mengharapkan imbalan se sen pun. Ah sekali lagi sungguh mulia hati mereka. Ya Tuhan, ditengah-tengah dunia dimana saat ini sebagian besar masyarakat menjadikan materi itu adalah Dewa, ternyata masih ada orang-orang seperti Sinta Ridwan dan Mbak yang pergi kepedalaman itu. Saya memang saat ini berprofesi sebagai pendidik untuk mereka anggota masyarakat yang kurang beruntung mendapatkan pendidikan di bangku sekolah formal. Namun pekerjaan saya ini jujur saja awalnya bukanlah panggilan jiwa saya. Namun karena dituntut oleh tugas serta tupoksi pekerjaan saya. Dan, saya memndapatkan honor dari pekerjaan saya kendati itu relatif kecil namun tetap saja saya mendapat imbalan dari pekerjaan saya tersebut. Namun demikian, dalam menunaikan tugas akhir-akhir ini saya tidaklah terlalu memikirkan imbalan dari apa yang saya perbuat. Perbuatan mulia Mbak Sinta Ridwan (maaf kalau namanya salah) dan Mbak yang pergi kepedalam Kalimantan itu sangat menginspirasi saya semakin mencintai tugas saya. Saya juga sangat terinspirasi oleh film “LASKAR PELANGI’ terutama sekali akan dedikasi seorang ibu guru yang bernama Ibu Muslimah dan Pak Harfan. Saya sering mengidentikkan diri saya seperti mereka. Dan menurut saya ini sah-sah saja. Dan ini merupakan cara saya untuk memotivasi diri agar saya memiliki rasa tanggung jawab terhadap pekerjaan dan profesi saya. Saya juga punya suatu obsesi, ingin sekali mengumpulkan anak-anak yang tidak mampu seperti gelandangan dan pengemis yang sering menadahkan tangannya dari rumah ke rumah, dari toko ke toko, dari pasar ke pasar, dan juga berserakan di jalan raya dan lampu merah. Mengumpulkan mereka ke suatu tempat yang meski sederhana. Dan disana ingin saya didik mereka CALISTUNG alias membaca, menulis, dan berhitung. Setidaknya meski sedikit, saya sudah menyumbangkan sesuatu kepada orang-orang yang papa seperti mereka ini. Lagian, dalam ajaran Agama saya -Hindu- dalam Catur Marga bahwa Jnana Marga (Jalan Ilmu Pengetahuan) merupakan Yadnya tertinggi. Sebab, memberikan ilmu pengetahuan kepada sesama tanpa pandang bulu dan pamrih adalah sangat mulia. Bagi saya, saya tidak malu meski memiliki pengetahuan yang cetek. Lebih baik berbuat sekecil apapun ketimbang tidak berbuat sama sekali. Saya orang yang paling tidak suka banyak bicara, dan saya lebih suka banyak berbuat. Setidaknya dengan berbuat saya harapkan akan ada hasilnya. Maksud saya, dalam masyarakat kita semakin banyak yang melek huruf. Hanya saja, dari mana ya saya memulainya? Ada yang dapat memberikan saran?

Rabu, Juni 22, 2011

UNPK PAKET C PERIODE I 2011 DAN NILAI-NILAI PANCASILA YANG TERPINGGIRKAN


UNPK Pendidikan Kesetaraan Paket C dilaksanakan hari Selasa tanggal 5 Juli 2011 sampai dengan hari Jumat tanggal 8 Juli 2011. Pada hari H pelaksanaan UNPK Paket C tersebut tepat bersamaan dengan perayaan hari besar keagamaan bagi umat Hindu terutamanya di Pulau Bali. Perayaan hari keagamaan ini sudah dimulai hari Selasa tanggal 5 Juli 2011 yakni hari Penampahaan Galungan. Kemudian hari Rabu tanggal 6 Juni 2011 adalah puncaknya yakni hari Raya Galungan serta hari Kamis adalah Umanis Galungan. Jadi rentetan hari-hari yang disebutkan diatas adalah hari-hari yang sangat penting buat umat Hindu. Namun justru pada saat itulah UNPK Paket C dilaksanakan secara nasional. Tentu bagi peserta UNPK Paket C dari dan di Provensi Bali yang notabene mayoritas penduduknya beragama Hindu hal seperti ini menimbulkan dilemma. Meski secara nasional hari raya Galungan dan Kuningan belum diakui sebagai hari libur keagamaan dan menjadi libur nasional, setidaknya sebagai sesama anak bangsa yang merupakan bagian NKRI ini sepatutnya para pengambil keputusan di pemerintah pusat cq Departeman Pendidikan Nasional mempertimbangkan perasaan masyarakat Bali dan umat hindu. Apa yang terjadi pada UNPK gelombang pertama bulan Juli ini sungguh sudah mencederai perasaan masyarakat Pulau Dewata ini. Memang sudah ada usaha dari pihak petinggi pendidikan di Bali melakukan dan mengadakan pendekatan serta melakukan loby loby dengan pihak terkait di Jakarta. Terakhir ada kabar burung bahwa UNPK akan diundur menjadi hari Selasa tanggal 19 Juli 2011 sampai tanggal 22 Juli 2011. Namun kapan pastinya UNPK Paket C khusus untuk Bali ini dilaksanakan belum ada kepastiannya. Bukan bermaksud memperkeruh suasana atau membesar-besarkan atau mengompor-ngompori dari pelaksanaan UNPK yang tepat di hari besar Umat Hindu ini, dari apa yang telah diputuskan oleh pengambil keputusan di Jakarta dapat diambil kesimpulan serta dikaitkan dengan apa yang ramai dibicarakan berbagai kalangan akhir-akhir ini bahwa nilai-nilai Pancasila kini sudah mulai dilupakan dan terpinggirkan. Dan UNPK Paket C periode pertama bulan Juli ini semakin menguatkan indikasi tersebut. Para pengambil keputusan sudah tidak memiliki kepekaan sosial serta rasa keadilan dan bertoleransi dalam berbangsa dan bernegara. Namun demikian semoga ini hanyalah sebuah kealpaan sebagai manusia biasa dan bukan suatu kesengajaan apalagi ingin bermaksud mencederai masyarakat Bali cq umat Hindu di Indonesia. Semoga pada masa-masa yang akan datang dalam mengambil keputusan dalam bidang tertentu para pengambil keputusan tersebut lebih mengemukakan azas keadilan yang sesuai dengan rasa keadilan seperti telah tersurat dan tersirat yang terkandung dalam Pancasila sebagai dasar NKRI (smt).

Sabtu, November 13, 2010

MANUSIA SOMBONG, SUKA MENGHINA/MENYAKITI ORANG LAIN, KERAS KEPALA, SOK PANDAI SERTA MENIMBULKAN SUASANA GERAH DALAM KERJA


Dalam sebuah web tentang ajaran Hindu yaitu agama yang saya peluk, saya baca tentang Dasa Mala. Menurut Upanisad, dasa mala adalah sepuluh sifat-sifat manusia yang buruk dan yang patut dihindari dalam upaya menumbuhkembangkan kesucian dan keluhuran budi. Dalam tulisan blog saya kali ini karena saya akan membahas tentang kesombongan yang sering membuat orang disekitarnya sakit hati maka saya akan singgung yang namanya Kulina. Juga tentang Kuhaka yakni sifat keras kepala. Keras kepala yang saya maksud disini adalah yang negatife. Sebab boleh saja orang keras kepala kalau itu untuk kebaikan dan ada dasarnya yang kuat (bukan asal ngomong). Selain itu juga tentang Sapta Timira.
Hampir dua tahun ini saya kenal orang yang menurut saya memiliki sifat-sifat buruk yang membuat orang-orang disekitarnya gerah, tidak nyaman, sakit hati, tersinggung, direndahkan dan akibat-akibat buruk lainnya. Saya menulis blog ini bukan untuk menjelek-jelekkan seseorang. Hanya dengan cara inilah saya menyalurkan uneg-uneg yang mengganjal dihati. Jadi mohon maaf kalau ada dari para pembaca yang tidak setuju dengan cara saya ini dengan alasan saya suka menjelek-jelekkan seseorang. Toh ini juga pendapat saya atau opini saya.
Orang ini boleh dibilang kawan saya juga karena ia ada dalam komunitas kami yang kehadirannya dalam komunitas kami karena melaksanakan tugas sesuai dengan aturan yang berlaku. Jadi suka tidak suka ya ia memang ditugaskan dikomunitas ini. Maka, oleh karena tugas maka jadilah ia disebut rekan saya.
Kegerahan, keresahan, ketidaknyamanan yang hampir dua tahun kami rasakan ini disebabkan oleh sifat-sifat kulina dan kuhaka yang ada pada orang ini. Ia sombong banget. Yang ia sombongkan adalah “kepandaiannya”. Saya sengaja isi tanda petik disini karena pengertian kepandaian itu kan luas. Pandai itu relatif. Pandai dalam bidang apa dulu, kan begitu. Pandai hanya dalam satu bidang ilmu tentu tidak dapat dijadikan tolok ukur, dan dengan tolok ukur tersebut kemudian dipakai sebagai parameter untuk menilai orang lain. Sungguh tidak bijaksana kalau tidak dapat dikatakan sangat sombong dan sekaligus menggelikan. Katakanlah orang ini pandai dalam bidang ilmu matematika (ini hanya contoh, oknum yang saya maksud menguasai satu bidang ilmu tertentu) begitu ada orang lain yang tidak atau belum bisa matematika lantas orang itu disebut atau di cap bodoh dengan kata-kata yang menghina dan merendahkan sekali yang mana dapat menyinggung perasaan dan membuat orang yang disebut “bodoh” tersebut sakit hati? Padahal setiap orang dilahirkan dengan bakat yang berbeda-beda. Boleh saja dia belum menguasai matematika, tapi orang yang dihina ini memiliki kemampuan yang baik dalam bidang ilmu lainnya.
Rekan kerja saya ini yang dengan “kepandaian” yang dimilikinya mempunyai kebiasaan yang sangat tidak bijaksana yakni suka mengecam orang lain didepan umum atau dihadapan orang banyak. Terkesan dengan kemampuannya itu ia ingin menunujukkan dihadapan orang banyak itu bahwa ia orang pandai. Ia memamerkan kepandaiannya itu dengan merendahkan orang lain didepan umum. Beberapa contoh peristiwa yang pernah saya saksikan sendiri. Suatu ketika di tempat kami ada suatu pelatihan dimana dalam pelatihan ini tentu ada nara sumbernya. Nah saat si nara sumber lagi memberikan materinya kepada peserta, rekan saya --yang sombong ini-- sengaja ikut menyusup jadi peserta (padahal ia juga adalah salah satu nara sumber yang akan ikut memberikan materi dalam acara ini). Nah saat nara sumber tersebut lagi asik-asiknya mengajar eh rekan saya ini melakukan interupsi kemudian mengatakan bahwa apa yang disampaikan si nara sumber tersebut kuarang tepat. Selanjutnya dengan panjang lebar dan dengan kesan menggurui menyebutkan tentang permen ini permen itu (eh permen itu manisan ya bung!). Rekan saya ini memojokkan si nara sumber sampai mati kutu dibuatnya. Saya yang menyaksikan ini merasa tidak enak. Pikir saya, apa tidak lebih baik si nara sumber itu diberitahukan dengan baik-baik tapi tidak didepan peserta pelatihan. Cara yang dilakukan oleh rekan saya ini yang menurut saya sangat tidak bijaksana. Terkesan sombong dan ingin menonjolkan diri bahwa ia pandai. Ia sombong dengan kepandaiannya. Pernahkah ia berpikir bagaimana kalau ia yang diperlakukan oleh orang lain seperti apa yang ia lakukan terhadap nara sumber itu? Hal seperti saya contohkan diatas itu bukan satu-satunya atau sekali itu ia lakukan tapi beberapa kali ia lakukan ditempat lain. Jadi sudah cukup banyak orang yang direndahkan dan jadi korban oleh cara-cara yang ia lakukan ini.
Ia juga mempunya sifat iri. Bila ada orang lain dipuji-puji didepannya akan kemampuan orang lain itu dalam suatu bidang ilmu, mimik dan air mukanya memperlihatkan kesinisan pertanda dari ketidaksenangannya. Suatu ketika salah satu teman saya bercerita bahwa ia punya pisau dengan harga 200 ribu rupiah, eh tiba-tiba si sombong ini berkata, “Saya punya pisau yang harganya 1 juta rupiah!” katanya dengan pongah. Saya hanya dapat geleng-geleng kepala saja, kok ada ya orang seperti ini?
Rekan saya (saya berat hati mengatakan ia rekan saya) ini juga keras kepala. Keras kepala ada juga yang baik (positif) asal pendapatnya itu ada dasarnya. Tapi keras kepala yang tidak jelas dasarnya. Ini namanya ia mau menang sendiri atau asbun alias asal bunyi/ngomong. Bekerja disebuah lembaga Negara tentu setiap pekerjaan itu ada aturannya atau tupoksinya, petunjukknya, acuannya dsbnya. Semua itu bisa berupa SK, buku pedoman dsbnya, tapi orang ini sering kukuh dengan pendapatnya tentang suatu hal berkaitan dengan tugas yang harus dikerjakan. Lucunya saat diperlihatkan buku-buku petunjuk yang mengatur pekerjaan itu sebagai dasarnya eh ia masih kukuh dengan pendapatnya bahkan tidak mengindahkan petunjuk tersebut (dalam hati saya bilang: kalau lo pandai ngapain lo ga jadi Dirjen saja. Kan buku-buku petunjuk tersebut dikonsep oleh para pejabat tinggi yang notabene para pakar yang setidaknya bergelar doctor). Ah dasar lo sombong! (Dalam sebuah lagu Bali klasik ada syair yang berisi nasihat bijaksana; "Ede ngaden awak bise, depang anake ngadanin". Betapa kita dinasehati oleh para leluhur kita lewat lagu ini agar jangan sekali-sekali menjadi orang sombong yang mengagul-agulkan kepandaian. Hendaklah tetap rendah hati kendati pandai. Seperti ilmu padi, semakin berisi semakin merunduk).
Cara orang ini mengoreksi pekerjaan teman-teman juga sering menjengkelkan dan menyakitkan. Terkesan ingin menguji. Hal ini sering dikuatkan oleh kata-kata yang keluar dari mulutnya yang bernada sinis, “Saya kira teman-teman disini sudah pada pandai eh…..” demikianlah kata-kata yang keluar dari mulutnya yang tidak pernah membuat orang-orang disekitarkan merasa nyaman. Bahkan seorang waker yang notabene posisinya paling rendah di lembaga kami saja bisa menilai betapa sifat orang ini membuatnya tidak nyaman. Saya pernah mengikuti seminar ke PR an (PR = Public Relation). Pakar PR ini mengatakan, sebenarnya gampang saja menilai sifat-sifat baik seorang pemimpin (dalam konteks ini kepala; kepala lembaga). Jika seorang pesuruh dilembaga itu begitu senang dengan kepala lembaga dimana ia mengabdi, itu pertanda bahwa pemimpin itu orang yang memiliki sifat-sifat baik. Secara tindakan misalnya saat si kepala lembaga itu turun dari mobilnya maka si pesuruh/waker itu akan mendatanginya dan bilang, “Pak biar saya yang bawain tas Bapak” dstnya, dsbnya. Lha ini, jangankan menyapa, dekat dengan si kepala saja ia sudah tidak senang). Indikasi lainnya adalah: setiap orang tidak betah datang ke kantor dimana si sombong ini menjadi kepala. Setiap ia datang ke kerumunan bawahannya, maka para bawahannya yang tadinya ngumpul pada membubarkan diri. Dan itu sesuai sekali dengan apa yang dikatakan oleh pakar PR tadi dan saat ini sedang terjadi dilembaga kami.
Dalam ajaran agama yang saya anut yakni agama Hindu, ada juga yang disebut dengan SAPTA TIMIRA. Sapta Timira antara lain: 1. Surupa yaitu sombong karena ganteng/cantik. 2. Dana yaitu sombong karena kaya. 3. Guna sombong karena pandai. 4. Kulina yaitu sombong dan suka menghina dan menyakiti hati orang lain. 5. Yowana yaitu sombong akan keremajaan. 6. Kasuran yaitu sombong karena menang. 7. Sura yaitu mabuk/tidak sadarkan diri karena makanan/minuman yang berlebihan. Dari Sapta Timira yang diuraikan diatas ini yang paling menonjol selama ini kami raskan adalah Surupa, Dana, Guna, Kulina yang tersirat dari prilaku oknum ini. Tentang Surupa, memang sih samar-samar tersirat dari sifatnya namun sesekali muncul juga terutama akan kelihatan jika dalam berkomunikasi dan berinteraksi ia terlihat lebih antusias jika berhadapan orang yang cantik (kalau dengan orang dekil seperti waker kami, tampak sekali ia kurang perhatian). Dana atau sombong akan kekayaan, seperti yang saya contohkan diatas bagaimana reaksinya ketika seorang rekan saya bilang punya pisau seharga 200 ribu rupiah ia nyeletuk dan bilang punya pisau yang harganya 1 juta rupiah. Pokoknya sombong tidak mau kalah dari orang lain (mungkin dalam segala hal). Guna yaitu sombong karena pandai, ia tunjukkan dengan sikapnya hampir setiap waktu seperti sudah diuraikan diatas yaitu suka merendahkan kemampuan orang lain didepan umum atau didepan para peserta saat ada suatu pelatihan. Atau contoh lainnya, ia juga pernah bilang bahwa para Pembina dari lembaga atasan kami adalah orang-orang bodoh yang tidak sepantasnya memberikan pembinaan di lembaga kami. “Lain kali janganlah mengirimkan orang-orang bodoh itu untuk membina kami” demikian katanya (sombong banget. Sombong karena merasa dirinya pandai. Ingat ia cuma merasa dirinya “pandai”. Jadi yang bilang ia pandai hanya dirinya. Entah orang lain, apa ada yang bilang ia orang pandai. Yang saya dengar selama ini hanya bahwa orang ini sombong!). kemudian Yowana yaitu tentang keremajaan/kemudaan? Biar tidak mengada-ada, belum pernah saya lihat ia membanggakan bahwa ia remaja/muda. Lha gimana mau muda remaja kalau usia sudah diatas kepala 4?) Kasura yaitu sombong karena menang. Kalau sifat yang ini pada orang yang saya maksud akan muncul ada kaitannya dengan sifat Guna dan Kulina. Ia yang merasa dirinya pandai karena kepandaiannya itu timbullah kesombongannya disertai sifat suka menghina dan menyakiti orang lain yang dianggapnya bodoh didepan umum, setidaknya akan timbul bahwa ada terbersit rasa kemenangan disini. Kemudian Sura yaitu mabuk/ tidak sadarkan diri karena makanan/ minuman yang berlebihan, jika diterjemahkan begitu saja ya memang belum pernah saya lihat secara badani ia suka mabuk-mabukan karena minuman. tapi kalau dilihat dari prilakunya, ia memang mabuk akan kepandaiannya.
Membicarakan tentang kuhaka, kulina, dana, guna, yang ada dalam diri orang ini tentu tidak akan habis-habisnya dan akan menghabiskan berlembar-lembar kertas atau halaman weblog ini. Namun dari hasil pendapat orang lain yang pernah kenal orang ini, 99 persen mengatakan ia adalah orang sombong! Saya tidak pernah sengaja melakukan investigasi tentang karakter orang ini, tapi setiap saya ketemu dengan orang yang kenal mendalam dengan sifat orang ini karena pernah cukup waktu sebagai rekan kerja dalam 1 lembaga, maka orang tersebut tanpa saya minta akan membicarakan tentang oknum ini dengan nuansa yang negatif. Bahkan mantan atasannya sebelum ia mutasi kelembaga kami sekarang ini pernah keceplosan bilang, “Saya tidak butuh orang pintar, yang saya butuhkan adalah orang yang dapat saya ajak kerja sama” demikian kata beliau. Jadi…. Apa salah penilaian saya atau orang-orang yang kenal dia kemudian sampai pada saya bahwa ia ini memang orang yang sesuai saya gambarkan seperti yang terdapat dalam ajaran Dasa Mala dan Sapta Timira ini?
Sekali lagi, saya tidak bermaksud menjelek-jelekkan teman sendiri yang tentunya kelakuan saya ini dapat dinilai tidak terpuji, “Apa Anda dapat dibilang orang baik-baik kalau Anda suka menuliskan di blog ini tentang ketidakbaikan sifat teman Anda?” kira-kira seperti itu kemungkinan kritikan yang akan saya terima. Namun sekali lagi saya katakan sekalian saya mohon maaf atas tulisan saya ini, inilah uneg-uneg saya yang juga dirasakan beberapa rekan saya lainnya dalam satu lembaga dimana kami dibuat gerah, tidak nyaman, tersinggung (ada juga yang sakit hati) serta sifat kurang kondusif lainnya. Jika didiamkan terus menerus akan menimbulkan suasana kerja yang tidak produktif. Kami yang selalu disalahkan, begini salah, begitu salah, juga ada kesan mencari-cari kesalahan, tidak bisa memberikan motivasi, yang ada malah pembunuhan karakter yang dapat menurunkan motivasi untuk menjadi orang yang lebih baik dan ada peningkatan kinerja dikemudian hari.

Kamis, Oktober 21, 2010

PANDAI MENASIHATI TAPI TIDAK BISA MEMBERIKAN CONTOH


“Anak-anak morokok itu tidak baik karena dapat mengganggu kesehatan baik kesehatan sendiri maupun orang lain disekitarnya” demikian nasihat seorang guru kepada murid-muridnya saat mengajar di kelas. Anehnya Pak Guru yang memberikan nasihat itu malah asik menghisap-hisap rokoknya dan menghembuskan asap rokoknya keudara sehingga udara di ruangan kelas dipenuhi asap rokok dan tercemar. Beberapa murid yang ikut menghirup asap rokok itu sampai terbatuk-batuk. Itu hanyalah sebuah ilustrasi dimana dalam ilustrasi diatas digambarkan bahwa kadangkala seseorang begitu pandai menasihati orang lain akan tetapi tidak disertai contoh nyata dari si pemberi nasihat.
Mengapa saya membuat ilustrasi seperti diatas? Ya karena saya mengalaminya sendiri. Beberapa hari yang lalu tepatnya hari Jumat tanggal 14 Oktober 2010 seseorang menasihati saya. Orang itu sebenarnya lebih muda 2 tahun dari saya. Disini saya bukan mempersoalkan usianya dia yang lebih muda dan menganggapnya lancang menasihati orang yang lebih tua darinya yakni saya ini. Tidak, saya bukan orang –setidaknya merasa – berpikiran kolot seperti itu. Saya tidak diskriminatif soal usia dalam hal-hal tertentu seperti masalah nasihat ini. Yang menimbulkan ganjalan dihati saya sampai saat ini adalah orang yang menasihati saya itu persis seperti Pak Guru yang menasihati murid-muridnya seperti yang di ilustrasikan dalam pembukaan tulisan ini.
Kejadiannya begini, saat itu saya dipanggil karena beliau (beliau yang oleh karena beberapa syarat terpenuhi ditunjuk dan dipercaya menjadi seorang kepala). Saya dan seorang teman (sebenarnya ada 4 teman, 2 orang lainnya permisi pulang) dipanggil oleh beliau (mungkin atas laporan seseorang. Saya bilang mungkin karena saya tidak melihat. Tapi saya berani bilang mungkin karena tanpa laporan seseorang apa mungkin beliau mengetahui mengingat ruang beliau dengan tempat saya bicara berjarak 10 meter dan dihalangi oleh tembok-tembok dan beberapa ruangan? Ini logika lho). sebenarnya saya guyon saja nyeletuk begini, “Ya, kalau saya ingat uangnya akan saya kembalikan”. Kata-kata itu keceplosan begitu saja saat seorang teman menanyakan apakah uang transport yang saya dan kawan-kawan lainnya terima itu pemberian atau pinjaman kantor yang menugaskan saya mengikuti suatu acara (acara/tugas kantor tentunya) di luar daerah? Dan apakah akan dikembalikan? Celetukan saya yang keluar begitu saja dari pikiran alam bawah sadar saya itu rupanya ada salah seorang rekan menyampaikannya ke atasan saya itu. Disinilah saya menerima nasihat yang mirip banget dengan apa yang disampaikan Pak Guru dalam ilustrasi diatas pada muridnya. “Pak Agung yang namanya meminjam itu pasti mengembalikan”.
Ya kalau kita meminjam (apapun itu kan Pak?) mesti mengembalikannya. Jadi ingat minjam, ingat mengembalikannya. Tentu saya terima dan senang banget menerima nasihat itu….seandainya saya dan kawan-kawan selalu melihat contoh seperti apa yang dinasihati itu. Tapi disinilah persoalannya. Kadangkala seseorang begitu pandainya menasihati orang lain tapi sayang tidak disertai contoh, tentu saja yang paling penting adalah contoh dari orang yang memberikan nasihat tersebut. Nah kenapa kemudian muncul celetukan saya yang spontan itu? Celetukan saya itu adalah celetukan yang keluar dari alam bawah sadar saya yang selama ini sering disuguhi hal-hal yang tidak sesuai antara perkataan dan perbuatan. Terutama sekali oleh beliau yang memberikan nasihat. Semua itu terekam oleh alam bawah sadar saya dan terakumulasi lalu terlontar dalam celetukan tersebut. Coba saja, beliau pernah meminjam wireless milik kantor yang notabene juga berarti milik pemerintah (karena tempat saya kerja ini lembaga pemerintah). Tapi sampai 4 bulan barang tersebut tidak juga dikembalikan ke kantor sehingga muncul pikiran, ini barang mau dipinjam atau mau dimiliki sendiri? Kalau pun akhirnya dikembalikan itu bukanlah dikembalikan secara tulus ke kantor, tapi karena trik teman-teman saja. Sebab kalau langsung meminta beliau mengembalikan itu tidak salah, hanya ini menyangkut perasaan yang ewuh pakewuh saja dari para bawahan terhadap atasannya (meski sudah dikembalikan namun barang tersebut dalam keadaan rusak dan tidak lengkap. Padahal saat dipinjam dalam keadaan baik dan utuh).
Apa yang saya sebutkan itu hanyalah satu contoh saja. Saat ini beliau masih meminjam LCD Proyektor beserta layarnya (sampai saat ini tanggal 22 Oktober 2010 belum juga dikembalikan setelah sebulan dipinjam). Tulisan yang saya buat ini bukanlah untuk bermaksud menjelek-jelekkan seseorang, tetapi marilah kita menjadi insan yang baik dan benar (apakah kita ini insan pemerintah atau swasta yang penting sebagai warga Negara Indonesia sehingga kelak kita menjadi Negara yang dikenal sebagai bangsa yang bersih dan dihormati. Apaka lagi sebagai abdi Negara seperti PNS misalnya. Sebab waktu kita disumpah salah satu bunyi teksnya adalah lebih mengutamakan tugas dari pada kepentingan pribadi. Dapat membedakan mana tugas dan mana kepentingan pribadi tentunya). Dipemerintahan, seorang atasan (sama dengan seorang guru di sekolah) dapatlah menjadi contoh, sehingga saat beliau memberi nasihat kepada bawahannya si bawahan dapat menerima dengan legowo. Bagaimana si bawahan mau menerima nasihat dengan tulus dan senang hati kalau si atasan yang memberikan nasihat tidak dapat memberikan contoh? Seorang pemimpin adalah di depan member contoh dan menjadi teladan, ditengah-tengah dapat memberikan semangat, dan dibelakang mengawasi. Ahya, saya lupa kalau seorang kepala itu itu belum tentu seorang pemimpin. Kepala adalah jabatan. Jabatan yang dipercayakan kepada seseorang untuk memimpin sebuah lembaga. Tapi pemimpin? Ada yang bilang pemimpin itu dilahirkan. Jadi seseorang yang punya bakat sebagai pemimpin sudah dibawa semenjak ia lahir, contohnya Bung Karno (benar tidaknya, anda cari saja di buku-buku atau di web-web yang kini begitu banyak tersebar di dunia “maya” tentang apa itu pemimpin dan apa itu kepala serta apa perbedaannya). Dan beliau ini bisa saja hanya seorang kepala tapi bukan seorang pemimpin.
Terlepas apakah beliau itu seorang kepala atau pemimpin bukanlah topik utama tulisan ini. Yang paling penting disini adalah JANGANLAH HANYA BISA MENASEHATI, NAMUN BERIKANLAH CONTOH sehingga orang-orang yang menerima nasihat anda merasa senang dan berterima kasih. Lha, bagaimana mau menasihati orang lain kalau diri sendiri saja tidak dapat memberikan contoh?

Selasa, November 10, 2009

BERSYUKUR


Dalam pembinaan dan pengarahannya kepada PNS di Kota Denpasar pada bulan Oktober dan Nopember 2009 ini dimana aku sudah 2 kali mengikutinya, Bapak Sekretaris Kota Denpasar A. A. Ngurah Rai Iswara mengatakan, hendaknyalah kita selalu bersyukur atas nikmat yang diberikanNYA karena kita berprofesi sebagai PNS.
Aku sangat setuju dan sepaham dengan pikiran beliau itu. Ini bukan bentuk penjilatan karena beliau adalah atasanku sebagai PNS di Pemkot ini. Hal ini jauh-jauh hari sudah aku tuangkan pada blogku yang berjudul “CURAHAN HATI SEORANG PNS 2” sebelum Bapak Sekretaris memberikan pengarahan seperti itu. .
Masih ribuan orang ingin menjadi PNS. Lihat saja pendaftaran penerimaan PNS di BKD Kota Denpasar dan juga tempat-tempat lainnya di negeri ini. PNS yang dibetuhkan hanya beberapa ratus orang (Denpasar mencari 400 orang), tapi lihatlah, para pelamar yang ikut mendaftar sudah mendekati 7000 orang (saat blog ini kutulis). Ini artinya, bahwa profesi PNS sangat diminati oleh masyarakat kita.
Sedangkan disisi lain, diantara PNS masih juga banyak yang kurang profesional dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tupoksinya. Mengapa? Ya, karena mereka tidak pernah bersyukur atas pekerjaan yang sudah mereka peroleh. Ada yang malas-malasan, ada yang mengeluh, mengomel, ada yang masuk kerja sudah siang dan pulang lebih dini dan sebagainya. Ada saja alasan para PNS yang tidak bisa bersyukur ini sebagai pembenaran atas prilakunya. Jobnya tidak sesuai dengan keahliannyalah, Instansi dimana yang bersangkutan dimutasi kurang berkenan di hatinyalah, dan sebagainya dan lain-lainnya.
Bahkan saya pernah mendengar kasak-kusuk diantara teman-temanku, bahwa seorang PNS yang dimutasi ke kantorku mengatakan bahwa ia kurang suka bekerja di tempatnya yang baru ini. Ia juga konon bilang bahwa semenjak dimutasi ke kantor ini pendapatannya menurun. Ia juga konon bilang dengan pongahnya bahwa ia hanya cukup beberapa bulan saja di tempat ini bekerja sesudah itu akan pindah dan akan mutasi ke sebuah Instansi (sambil menyebutkan sebuah Instansi yang dikenal “basah” dan di inginkan oleh banyak PNS). Kalau besik-bisik yang KONON itu sampai benar ada, aku cuma bisa geleng-geleng kepala saja sambil berbisik “Emang pemerintah ini milik Bapak Moyang lo? kok se enaknya saja mau pindah kesana-kemari sekehendak hatinya?”. Apa sudah lupa ya terhadap bunyi sumpah PNS yang diucapkan dibawah acungan kitab suci bahwa saya akan lebih mengutamakan tugas Negara dari pada kepentingan pribadi; siap ditempatkan dimana saja diseluruh wilayah Negara Republik Indonesia. Lha ditempatkan di Kota Denpasar yang notabene Kota Internasional karena menjadi tujuan utama wisatawan dunia dan juga notabene wilayahnya tidak begitu luas dan tidak ada wilayah yang terbelakang ini saja sudah mengeluh, apalagi kalau di tempatkan di pedalaman Irian Jaya atau Kalimantan, bisa-bisa mati dia.
Ironisnya, disisi lain masih banyak saudara kita yang nganggur, masih banyak yang ingin menjadi PNS, tapi toh diantara kita malah masih ada yang kurang bisa bersyukur. Masih mengeluh, meggerutu atau meminjam istilah Pak Sekot yakni mekapal Rusia “ngemig-mig”. “Kalau saudara-saudara masih saja “ngemig-mig”, silahkan saja membuat surat pengunduran diri dari PNS. Masih banyak dan ribuan orang yang mengantri dibelakang saudara ingin menjadi PNS”.
Ya, sebaiknya begitu ketimbang mengeluh, “ngemig-mig”, malas-malasan, dan berbagai bentuk prilaku sebagai wujud rasa kurang mensyukuri nikmatNYA. Kantorku yang satu atap dengan BKD Kota Denpasar, tahu betul kondisi para pelamar itu. Setiap hari aku disuguhi wajah-wajah penuh harap untuk dapat diterima menjadi PNS. Mungkin segala doa sudah dipanjatnya. Sudah ribuan personifikasi TUHAN disebutkan. Aku sangat trenyuh melihat mereka, sedih dan ingin menangis. Mereka harus antri panas-panasan, keringatan, belum makan-minum, kelelahan dan banyak lagi bentuk beban yang tergurat di wajah mereka yang tidak dapat aku lukiskan.
Sungguh akan sangat berdosa kita yang sudah mapan menjadi PNS malah kurang bersyukur dengan berbagai ekspresi ketidakpuasan dan sangat berlawanan dengan ekspresi anak-anak, adik-adik, dan saudara-saudara kita yang melamar PNS itu. Akan lebih baik saudara-saudaraku para PNS yang saat ini masih kurang dapat bersyukur untuk sekali waktu memantau penerimaan PNS di kota anda agar dapat mengambil pelajaran dan hikmah dari apa yang anda lihat disana. Dengan demkikian semoga saja hati anda tersentuh kemudian terjadi perubahan dalam diri anda untuk dapat bersyukur dan tentu yang terpenting dan signifikan adalah sikap mental yang selama ini kurang professional menjadi lebih profesional.
Blogku ini, sekali lagi aku sampaikan pada setiap tulisanku bukanlah kutulis untuk menggurui atau sok paling sudah menjalankan dan melaksanakan disiplin PNS, akan tetapi sebagai sesama PNS dan warga Negara yang baik adalah tidak salah kalau saling mengingatkan bukan? Kita ini menjadi PNS adalah sebagai abdi Negara dan bangsa. Bukan minta dilayani masyarakat tetapi melayani masyarakat. Gaji kita sebagai PNS di bayar oleh masyarakat. Oleh karena itu tunjukkanlah kepada masyarakat bahwa kita yang sudah mapan jadi PNS ini memang layak dipilih sebagai PNS. Kita patut menjaga citra PNS yang selama ini telah beredar dimasyarakat bahwa PNS itu santai, masuk siang pulang lebih dini. Di kantor baca Koran saja dan lain-lain dan lain sebagainya. Tentu malu rasanya citra kita seperti itu di masyarakat.
Bapak Sekot mengatakan, “Belajarlah saudara-saudara masuk kerja lebih pagi dari hari-hari sebelumnya. Jika biasanya ngantor jam 09.00, cobalah masuk kerja jam 08.30. dan setahap-demi setahap masuk kantor lebih dini lagi. Demikian pula yang biasanya pulang jam 13.00 hendaknya belajar pulang lebih sore dari hari-hari sebelumnya”.
Soal ijin tidak masuk kerja, beliau juga mengatakan tidak terlalu ketat dan penuh toleransi asal yang bersangkutan betul-betul membutuhkan ijin tersebut. Tentu toleransi itu kemudian jangan disalahgunakan, karena sekali saja orang berbohong maka ia akan melakukan kebohongan-kebongan berikutnya. Hal seperti ini kuamati memang sering terjadi. Toleransi yang diberikan oleh atasannya, sering disalah artikan dan kemudian disalahgunakan. Sehingga ada oknum PNS selalu saja ijin dengan alasan inilah, itulah. Kalau 1 minggu 5 hari kerja bagi PNS, apa masuk akal oknum bersangkutan hanya 2 hari kerja saja nongol di kantor sedangkan hari-hari lainnya selalu di isi dengan ijin dengan berbagai alasan, itu pun kehadirannya maksimal hanya sekitar 2 sampai 3 jam saja. Tentu hal ini sudah ada yang tidak beres bukan? Lagian, kewajibannya “boleh-boleh” saja, akan tetapi haknya kok diambil penuh? Kejadian ini paling menjolok kuamati tatkala Pemkot Denpasar mulai memberi uang lauk-pauk per bulan September tahun 2009 ini. Timbul keriuhan karena kitika pimpinan kami mengatakan bahwa uang lauk-pauk yang diberikan kepada para pegawainya berdasarkan kehadirannya sesuai dengan absen, ada juga yang tidak terima. Dan yang membuat aku geli dan tidak habis pikir, justru mereka yang malas-malas itu justru paling keras protesnya. Meski kehadirinnya di kantor paling sedikit (menurut absen dan itu memang kenyataan), tapi mereka minta dibayar penuh yakni kalau tidak salah dihitung 22 hari kerja.
Ah, benar apa yang disampaikan Pak Sekot, “Kewajibannya ga mau, tapi haknya mau”. Mental PNS yang seperti itu memang masih ada.
Kuakhiri tulisanku ini dengan ajakan kepada teman-teman PNS, marilah kita bersyukur karena kita sedah diberikan kesempatan menjadi PNS. Dengan menjadi PNS, kita dapat mengabdikan diri kepada nusa, bangsa, negara, dan masyarakat.