Rabu, Juni 19, 2013

MENGKRITISI TEMA DAN GAYA LAWAKAN YANG DISISIPKAN DALAM SENI PERTUNJUKAN TRADISIONAL BALI

Setiap saya menonton pertunjukan kesenian tradisional Bali saat ini, ada perasaan kecewa dalam hati saya. Terutama sekali dari unsur lawakan yang disipkan dalam pertunjukkan kesenian tradisional (Bali) tersebut. Apakah itu Wayang Kulit, Topeng+Bondres, Drama Gong, Calonarang, Arja dan sebagainya. Setiap cabang seni ini berusaha menarik perhatian penonton yang sebanyak-banyaknya. Untuk itu maka humor adalah salah satu diantara cara dalam upaya menarik perhatian agar banyak yang menyaksikan yang ujung-ujungnya agar terkenal, tetap eksis dan tentunya menjadi laris. Dan puncaknya jelas ujung-ujungnya juga duit. Demi memperoleh semua keinginan itu, tidak jarang juga para seniman ini kemudian mencari jalan pintas tanpa memperdulikan lagi unsur pendidikan cq pendidikan moral tentunya. Atau kasarnya, menghalalkan segala cara ! Masih berkaitan dengan dunia seni pertunjukan. Saya pernah mendengar istilah melacurkan diri. Istilah ini pernah saya dengar bahkan baca, yang mana istilah ini ditujukan kepada para seniman (seni peran/dramawan/aktor dan aktris film) yang telah kehilangan idealismenya. Dan demi mengejar popularitas dan kelarisan, mereka lalu tidak lagi memperdulikan kaidah-kaidah yang sudah menjadi pakem dalam dunia seni peran tersebut. Dalam konteks ini, nampak ada pergeseran dalam pertunjukan seni tradisional Bali ini beberapa tahun belakangan. Apakah para seniman ini dikarenakan dapat membaca situasi dimana penonton mulai meninggalkan pertunjukan mereka jika masih memakai pola lama yaitu pertunjukan seni tradisional (Bali) yang mengutamakan kisah-kisah lama/Babad Bali, Kisah Mahabarata dan Ramayana. Dimana para penonton sering ngantuk jika disuguhi kisah-kisah yang ditampilkan dengan serius. Dan biasanya para penonton akan kembali melek matanya dan semangat bila ditampilkan adegan para punakawan yang lucu-lucu baik penampilan fisik, gerak-gerik atau ucapannya? Mengapa demikian? Ya mungkin saja masyarakat sekarang terlalu banyak dibebani berbagai persoalan dan masalah hidup yang menghimpit berat setiap harinya. Dan saat disuguhi pertunjukan dengan format yang serius, mereka malah bosan dan tidak mampu menelaah isi cerita berupa babad kuno atau kisah epos keagamaan Mahabarata-Ramayana itu. Banyak penonton meninggalkan pertunjukannya atau masih di tempat tetapi ...tidur! Menyadari hal ini, maka belakangan format dibalik oleh para seniman pertunjukan ini. Jika dahulu kisah-kisah/babad-babad zaman dahulu atau epos-epos Mahabarata dan Ramayana itu sekitar 70 % ceritanya, sedangkan 30 % disisipi lelucon oleh para punakawan, belakangan dengan membaca situasi dan kondisi yang diinginkan penonton maka jadi kebalik yaitu lelucon oleh para punakawan tersebut bisa menjadi bahkan 80 % dan malahan cerita babad atau pun epos tersebut malah hanya sebagai sekedar tempelan belaka. Celakanya lagi, demi kelarisan, tetap eksis, tetap populer dan diidolakan masyarakat, para seniman ini kemudian menghalalkan segala cara agar tetap eksis dan terkenal. Maka mereka pun melucu yang penting penonton tertawa terpingkal-pingkal apakah materi yang disampaikan dalam lelucon itu layak atau tidak, sopan atau vulgar, ini tidak mereka perhatikan. Padahal lawakan mereka itu ditonton oleh segala umur. Sungguh disayangkan dan tidak mendidik. Demi kelarisan, keterkenalan, dan agar selalu ditanggap orang, mereka mengabaikan segi-segi pendidikan. Inilah yang dimaksud dengan para seniman seni peran pertunjukkan yang telah melacurkan seni (lawak dalam hal ini) seperti yang disindir diatas. Dan di Bali saat ini banyak bermunculan group-group seni pertunjukkan seperti ini dengan berbagai gaya yang mungkin menurut mereka itu adalah suatu inovasi. Ya, mereka menganggapnya suatu inovasi dalam berkesenian cq kesenian trasidisional Bali. Hal ini seperti telah saya uraikan diatas agar tetap menarik, eksis dan populer.. Misalnya yang dilakukan oleh dalang wayang Ceng Blong. Dalang ini melakukan beberapa perubahan yang sangat berani serta revolusioner. Diantaranya menyertakan teknologi sound system, sound efek, dan efek pencahayaan dengan permainan lampu. Dengan inovasi seperti ini, pertunjukan wayangnya terasa lebih hidup dan tentunya ini dapat menarik perhatian penonton. Hal ini merupakan penyegaran dalam pertunjukan wayang dimana pertunjukan wayang dengan pakem yang klasik semakin ditinggalkan penontonnya. Tentu upaya tersebut tidak hanya sampai disana saja. Maka sisi punakawannya kemudian lebih ditonjolkan. Misalnya mengeksploitasi kelucuan lewat para punakawannya seperti Delem, Sangut, Tualen dan Merdah. Bahkan dalam wayang Ceng Blong sesuai dengan gelar dan nama sekeha wayang ini yakni wayang Ceng Blong, maka tokoh Ceng Blong ini lebih dieksploitasi hebat lagi dan diberikan peran lebih luas dalam humornya dibandingkan punakawan sesuai pakem seperti Sangut-Delem dan Merdah-Malen atau Tualen. Juga mereka merevolusi gambelan dimana pada Wayang Kulit klasik hanya menggunakan gambelan gender, tapi dalam wayang Ceng Blong gambelannya ditambah dengan gambelan sejenis gambelan semar pegulingan. Juga disispkan dengan beberapa orang sinden. Pada umumnya, wayang kulit klasik di Bali dari zaman dahulu tidak pernah mengenal atau menyertai sinden seperti yang dilakukan oleh wayang kulit Ceng Blong dari Desa Blayu Tabanan ini. Lampu minyak pun diganti dengan lampu listrik. Namun betapapun juga, kadangkala kemampuan berhumor setiap seniman itu ada juga batasnya. Pada suatu titik puncak popularitas tidak sedikit diantara mereka kemudian kehabisan bahan lawakan. Hal ini mungkin karena kesibukan mereka “manggung” sehingga tidak sempat menggali humor baru dan humor lama selalu diulang-ulang. Oleh karenanya tidak ada kejutan yang dapat menggelitik syaraf-syaraf tawa para penggemarya. Humor lama yang diulang-ulang ini dengan mudah ditebak oleh penonton sehingga tidak ada lagi sesuatu yang baru dalam humor yang dipertunjukan sehingga lama-kelamaan kemudian penontonpun dibuat bosan. Dengan demikian para seniman ini pun kehilangan taksunya. Menciptakan bahan lawakan/humor ternyata tidak semudah yang diperkirakan oleh para penikmat atau penonton. Perlu kejeniusan, kecermatan, kepekaan dalam memperhatikan perkembangan situasi terkini di masyarakat sehingga lawakan/humor yang ditampilkan selalu update dan aktual. Nah, hal inilah yang banyak dialami oleh para seniman tradisional Bali. Celakanya, demi mempertahankan popularitas dan tetap disenangi serta laris ditanggap masyarakat, maka tidak sedikit kemudian diantaranya mengambil jalan pintas agar tetap lucu. Oleh karena itu kemudian munculah bahan lawakan yang tidak atau mengabaikan segi sopan santun yang bersifat mendidik. Muncullah lawakan yang vulgar baik dari segi ucapan maupun gerak-gerik yang tidak bermoral. Ucapan dan gerak-gerik yang tidak bermoral oleh para seniman tersebut sudah dapat dikatakan menabrak rambu-rambu kesopanan dan ketatasusilaan yang berlaku di masyarakat kita serta dalam perundang-undangan di negeri ini disebut dengan istilah porno grafi dan porno aksi. Dan sebagian dari seniman pertunjukan tradisional Bali ini kini telah terjebak dalam pola lawakan tidak bermutu seperti ini. Atau jangan-jangan ini hanyalah suatu bentuk ketidakberdayaan para seniman pertunjukan tradisional Bali saat ini untuk menggali lawakan yang cerdas dan bermutu? Dan para penonton atau penikmat seni pertunjukan tradisional Bali pun kini dituntut cerdas untuk mengetahui mana materi lelucon yang bermutu dan tidak bermutu. Saksikan saja pertunjukkan kesenian tradisional Bali baik siaran langsung maupun yang direkam kemudian sering ditayangkan beberapa stasiun televisi lokal Bali. Terutama sekali saat munculnya para punakawan atau bebondresan dalam kesenian ini. Dimana para pelawak tersebut dengan tanpa merasa berdosa sedikitpun mempertunjukkan pornografi atau porno wacana dan porno aksi dalam penampilannya. Perhatikan ucapan-ucapan yang keluar yang tujuannya untuk memancing tawa penonton. Demikian juga gerak-geriknya yang menunjukan gerakan-gerakan tubuh yang tidak senonoh. Memang penonton dibuat tertawa terbahak-bahak dan tentunya si seniman ini merasa puas karena menganggap lawakannya lucu dan dia merasa berhasil dan sukses dan oleh karenanya dia merasa bangga sekali. Tapi dia lupa bahwa apa yang dia lakukan lewat lawakannya itu sudah meracuni generasi muda bangsa ini. Sungguh sangat disayangkan, dan yang lebih menyedihkan lagi, akan menambah ratusan ribu orang yang tersesatkan lagi karena menyaksikannya jika direkam lalu ditayangkan lewat televisi. Porno wacana dan porno aksi itu akan membekas bahkan tertanam mengkristal dalam alam bawah sadar para penonton cq penonton dibawah umur. Yang mengherankan lagi, sudah jelas ini siaran tunda atau siaran hasil rekaman, kok tidak ada upaya dari televisi (lokal) bersangkutan untuk mengedit menghilangkan bagian-bagian yang tidak layak untuk dilihat dan didengarkan bagi pemirsa televisi ini. Atau ini juga bagian persaingan diantara stasiun-stasiun TV lokal Bali yang semakin banyak bermunculan? Dan mereka juga berperilaku sama dengan para seniman pertunjukan tradisional Bali ini untuk menggaet permisa sebanyak-banyaknya? Sungguh sangat disayangkan. Jadi, perlukah kita heran jika saat ini di Bali banyak kalangan usia muda yang terjangkit penyakit yang mematikan yaitu HIV-AIDS ? Pertengahan bulan Juni 2013 ini, keluarga kami melaksanakan upacara pernikahan keponakan saya. Dalam acara ini dilaksanakan dan disipkanlah salah satu jenis kesenian tradisional Bali. Saya tidak perlu sebutkan nama group kesenian ini. Saya juga kurang tahu konsep group ini. Apakah dia group lawak dengan busana Bali? Atau apa? Arja? Joget? Bebondresan? Ga taulah! Jenis kesenian ini sudah tidak murni lagi kalau disebut arja, prembon atau sejenisnya. Karena bentuk kesenian ini merupakan suatu hasil inovasi dimana dalam seni pertunjukkan ini lebih ditonjolkan unsur humornya. Sedangkan pakemnya sudah ditinggalkan. Tidak ada lagi cerita yang pasti. Misalnya cerita yang berhubungan dengan upacara ini (pernikahan). Tidak ada nasihat-nasihat untuk keponakan-keponakan kami yang menikah ini. Yang ada hanyalah full humor. Dan tujuannya kalau tidak salah saya analisa hanyalah bertujuan semata-mata untuk menghibur para undangan yang menghadiri acara Pawiwahan (pernikahan) ini. Celakanya lagi, humor yang saya maksud disini persis seperti yang sudah saya uraikan panjang lebar diatas. Maka yang terjadi adalah pertunjukkan yang sarat porno aksi, porno wacana, dan pornografi. Dibilang pertunjukkan topeng juga bukan (karena senimannya tidak ada yang bertopeng). Pertunjukkan arja juga bukan. Mungkin ini inovasi dan kreasi baru yang didominasi tarian joged bumbung hot dan sayang.....sangat...sangat tidak mendidik. Tidak ada sedikit pun manfaat yang dapat dipetik dan patut diambil dari pertunjukan kesenian ini. Misalnya salah seorang pemeran utamanya yang kebanci-bancian (apa bancin beneran?), yang dengan improvisasinya merayu kemudian duduk dipangkuan salah seorang undangan. Tidak cukup dipangku, bahkan tangan undangan itu malah diraih dan....maaf diarahkan ke salah satu...payudaranya dan diremas-remaskan. Sungguh terlalu ! Lucu oke, tapi hanya itu saja tujuannya? Kalau cuman itu, rasanya setiap orang dapat berbuat lucu-lucuan. Bahkan gampang sekali. Coba saja dimana Anda berkumpul dengan teman-teman Anda. Sekarang sampaikan humor dengan tema yang ngesek dan cabul, niscaya semua yang hadir pasti akan tertawa terbahak-bahak. Setidak-tidaknya teman-teman yang ada dihadapan Anda saat itu. Apalagi kalau disertai gerakan-gerakan yang tidaksenonoh pastilah hadirin akan tertawa terpingkal-pingkal. Jadi, tak usah jadi seniman yang katanya profesional. Tapi apa hanya kelucuan itu yang kita inginkan? Tidakkah kita pikirkan dampak dari perbuatan aksi serta ucapan para seniman yang tidak senonoh itu yang harus kita tanggung dalam waktu jangka tertentu? Terutama sekali bagi anak-anak kita yang masih dibawah umur untuk disuguhkan hal-hal seperti ini? Melucu itu gampang, kalau seperti yang dilakukan oleh para seniman tradisional yang saya sebutkan diatas. Tapi bagi saya, itu melucu dengan cara murahan. Yang sulit adalah melucu yang intelektual dan cerdas tapi mengandung segi pendidikan ! Sekarang era informasi dan komunikasi begitu canggih. Anda dengan mudah mencari informasi di Internet, bahkan via smart phone pun dan berbagai jenis alat digital mobile sudah dapat. Serta banyak alat elektronik-digital yang tersedia. Dan dengan sekali klik, kita dengan mudah memperoleh informasi. Anda saksikanlah bagaimana para pelucu-pelucu yang ditampilkan oleh beberapa televisi nasional. Ada berbagai pertunjukan komedi yang dapat mengundang tawa. Berbagai tayangan komedi dengan berbagai program. Opera Van Java, Pesbuker dsbnya. Itu hanyalah salah dua dari sekian puluh lawakan bergroup di televisi nasional. Sekarang yang lagi ngetren adalah lawakan tunggal yang disebut standup comedi. Saksikanlah mereka, adakah bahan lawakan mereka itu berbau porno yang kasar dan vulgar? Baik itu porno aksi maupun porna wacana? Kalau pun ada yang “kilaf” maka lawakan mereka tidak akan ditampilkan, atau ditampilkan tapi sudah diedit serta disensor. Atau paling jelek sangat halus penyampaiannya. Hal ini setelah berkali-kali saya menonton lawakan mereka. Saya benar-benar dibuat terpingkal-pingkal saking gelinya lawakan mereka. Dan saya ketawa terpingkal-pingkal dengan lawakan yang sedikitpun tidak ada unsur pornonya. Saya benar-benar kagum. Ini tidak mudah dan ini memerlukan kecerdasan. Bagaimana melawak dengan cara yang santun dan sopan tapi dapat menggelitik syaraf geli kita. Sungguh luar biasa. Kita puas tanpa moral kita diracuni. Salut ! Kemudian saat saya menonton lawakan Bali yang disipkan dibeberapa pertunjukan kesenian tradisional Bali, baik itu wayang kulit, bondres, arja, drama gong dsbnya, saya tidak melihat kelucuan atau cara melawak dengan cara-cara yang cerdas beretika, serta sopan santun dari group-group tersebut beberapa tahun belakangan ini. Yang ada hanyalah ucapan-ucapan vulgar dan gerakan-gerakan tubuh yang tidak senonoh bahkan melakukan sentuhan-sentuhan terhadap bagian-bagian terlarang pada teman mainnya bahkan juga para penonton. Celakanya, ini dilakukan di depan umum dimana tidak hanya disaksikan para penonton yang sudah cukup umur, tapi juga anak-anak kecil. Hal serupa dapat saya lihat secara langsung dengan kepala dan mata sendiri dalam pertunjukkan kesenian lawak dengan format tradisional Bali(karena menggunakan busana kesenian tradisional Bali) di acara pernikahan keponakan saya ini. Dalam pertunjukan ini unsur tradisional Balinya dari segi pakem sudah tidak nampak. Yang ada hanya beberapa jenis tarian ala Bali yang sudah diselewengkan. Seperti tari joget bumbung dengan goyangan-goyangan yang hot sarat gerakan cabul dan tidak senonoh, disertai juga ucapan-ucapan yang tidak patut diperdengarkan di depan umum. Kalau demikian halnya, alangkah tidak mulianya jika seseorang saat ini berprofesi sebagai seniman cq seniman pertunjukkan tradisional Bali bila tema lawakan yang disampaikan tersebut hanya seperti apa yang sebagian besar dipertontonkan oleh para seniman tradisional (tapi modern) tersebut. Padahal, sesungguhnyalah bahwa menjadi seniman tradisional Bali itu mestinya adalah suatu profesi yang dimuliakan. Selain itu seniman adalah profesi yang strategis, mulia dan terpandang. Mengapa? Karena seorang seniman seperti yang saya sebutkan ini pada hakikatnya adalah juga seorang guru, pendakwah keagamaan (Hindu), dan juga juru penerang bagi masyarakat yang masih awam dalam bidang keagamaan, juga tradisi Bali. Pada zaman dahulu kala, kesenian tradisional Bali seperti Arja, Wayang Kulit, Tari Topeng dsbnya tersebut merupakan media pembelajaran. Dan para seniman yang terlibat di dalamnya itu sekali lagi boleh dibilang dan dapat disamakan perannya seperti seorang guru. Karena mereka memberikan atau menyampaikan pelajaran cq tentang sejarah atau babad Bali atau Agama Hindu dengan epos Mahaberata dan Ramayana misalnya. Dengan menonton pertunjukan-pertunjukan ini, kita akan memahami akan sejarah/babad raja-raja zaman dahulu yang berkuasa di Bali (Babad Dalem dsbnya) atau di luar Bali (Singosari, Daha, Kediri, Majapahit dsbnya) atau juga tentang ajaran Agama Hindu lewat kisah-kisah Ramayana dan Mahaberata. Namun kini, apakah yang kita dapat dari pertunjukan-pertunjukan kesenian tradisional Bali yang sering kita saksikan secara langsung maupun melalui televisi lokal Bali ini? Apakah demi tetap populer dan laris lalu kemudian sah-sah saja para perkumpulan kesenian tradisional Bali ini berbuat diluar batas-batas kesopanan, tata-susila sesuai ajaran Agama Hindu yang kita cintai ini? Katanya kita orang Bali adalah orang yang sangat agamis karena hampir tiada hari kita selalu melakukan upacara ritual keagamaan? Tidakkah ini merupakan suatu kemunduran dan degradasi dalam bidang seni pertunjukkan cq lawakan Bali? Dimasa lampau kita punya pelawak dan seniman lucu semisal Dalang Wayang Kulit Ida Bagus Ngurah Buduk, Dadap-Kiul, yang mana mereka melucu tanpa harus berpornogafi dan berpornoaksi? Toh mereka tetap dikagumi dan menjadi seniman tradisional Bali yang melegenda hingga saat ini. Jadi, benarlah apa yang pernah saya baca dan dengar dalam suatu diskusi manyangkut seni peran dan pertunjukan bahwa ada beberapa seniman ini yang telah “melacurkan diri” demi popularitas, demi keeksisan, dan tentunya demi tetap laris agar dapurnya tetap ngebul. Tapi semua itu ia perbuat dengan mengorbankan akhlak dan merusak moral generasi muda. Oh alangkah tidak nikmat dan tidak mendapat rido Tuhan profesi mereka ini. Tulisan ini hanyalah sebuah auto krirtik tehadap diri kita selaku orang Bali. Kita meski bersikap lebih kritis dan selektif. Terutama sekali peranan para tokoh formal (yang ada di pemerintahan) dan para tokoh non formal yang disegani di masyarakat. Kita harapkan mereka akan lebih aktif untuk dapat memfilter segala sesuatu yang nantinya dapat merusak tatanan kehidupan bermasyarakat. Dari lembaga formal sebenarnya kan sudah ada KPI (Komsisi Penyiaran Indonesia), juga ada lembaga sensornya. Tentu agar lembaga-lembaga ini dapat lebih tajam “gunting” sensornya terutama yang akan ditayangkan via televisi. Para seniman tradisional yang saya sebut diatas juga kita harapkan lebih bertanggung jawab terhadap profesinya yang strategis ini. Sadarilah karena jika salah dalam menyampaikan pesan maka ribuan generasi muda telah rusak moralnya hanya gara-gara ambisi sesaat Anda yang ingin tetap eksis, populer, laris demi mempertebal pundi-pundi tabungan Anda tanpa Anda pedulikan akan masa depan generasi muda kita yang mana kelak merekalah yang akan meneruskan kehidupan kita ini. Apakah kita ingin mewariskan yang rusak-rusak kepada mereka? Apakah keeksisan, kepopuleran dan kelarisan Anda selaku seniman diatas lalu ribuan korban kerusakan moral generasi muda bangsa cq Bali? Sungguh sangat disayangkan. Dan tulisan ini saya buat sebagai bentuk keprihatinan dan juga kekhawatiran saya sebagai putra Bali terhadap saudara-saudara serta anak-anak penerusnya kelak. Semoga saja, meski tulisan ini jauh dari bermutu setidaknya dapat ditangkap maksudnya dan syukur dapat dipikirkan bahkan ditindaklanjuti. Bisa saja diseminarkan, dibahas, didiskusikan demi kebaikan kita terutama masyarakat dan generasi muda Bali kedepan. Astungkara. Juga mohon maaaf apabila ada yang kurang dapat menerima dan berkenaan dihati. Sekali lagi suatu sikap kritis adalah salah satu upaya atau cara menyampaikan rasa kekhawatiran. Membuat tulisan opini seperti ini adalah salah satu dari upaya tersebut.

Tidak ada komentar: