Jumat, Juli 31, 2009

LAYAKKAH KELOMPOK BELAJAR PAKET MENYANDANG PENDIDIKAN KESETARAAN?



“Pak apa saya bisa langsung ke kelas 3 nggak?”, kalimat ini diucapkan oleh salah seorang calon Warga Belajar Kejar Paket C saat mendaftar di lembaga kami. Yang dimaksud kelas 3 adalah kelas XII.
“Adik dulu pernah belajar dimana?”, Tanyaku.
“Dulu saya pernah SMA Pak. Tapi saya berhenti di kelas 1“, jawabnya.
“Ya, kalau dulu DO SMA kelas 1, sekarang kalau mendaftar disini adik kami terima di kelas 1 juga dong”, kataku tanpa kompromi.

Itu adalah sepotong dialog saat penerimaan pendaftaran warga belajar (siswa) Pendidikan Kesetaraan Kejar Paket tahun ajaran baru di UPT SKB Dinas Dikpora Kota Denpasar.

Suatu ketika ketika aku lagi ngajar di kelas, salah seorang warga belajar (selanjutnya disebut WB aja) kelas X Paket C nyeletuk, “Pak, disini kok belajarnya hampir setiap hari sih?”.
Aku heran dengan pertanyaan ini. WB yang bertanya itu adalah WB pindahan dari salah satu PKBM di kota ini. Kemudian aku tanyakan kepadanya cara belajar yang diterapkan di tempat dia belajar dulu,
“Kalau di….(dia menyebut salah satu PKBM di kota ini tempat WB tersebut belajar sebelum dia pindah ke UPT SKB Dinas Dikpora Kota Denpasar ini) kami diberikan berapa buku (modul), lalu kita disuruh belajar sendiri-sendiri dirumah”, katanya.
“Belajar sendiri dirumah tanpa didampingi Tutor (guru)? Kemana kalian akan bertanya kalau kalian tidak paham dengan salah satu pelajaran itu? Lalu bagaimana kalian mendapat nilai raport? Apakah ada ulangan harian dan ulangan umum?”, Tanyaku semakin heran.
“Ya raportnya sudah dibuatin oleh yang punya sekolah (maksudnya penyelenggara PKBM) dan sudah berisi nilai”, katanya.
“Lho, nggak pernah belajar di kelas, tidak pernah mengikuti ulangan, kok dapat raport dan sudah berisi nilai lagi. Kok bisa?”, tanyaku heran.
“Yang penting kita bayar Pak, semuanya beres!”, katanya lagi.
“Ooo begitu ya. Kok pindah kesini. Kan lebih enak belajar disana ya, ga perlu susah-susah lagi belajar dan setiap hari datang kesini”, kataku.
“Sekolahnya sudah bubar Pak”, katanya.
Pada saat lain ada sejumlah WB kelas XI ingin pindah “bedol desa” ke suatu PKBM. Alasanya di tempat itu mereka tidak perlu mengikuti proses belajar bertahun-tahun seperti yang diterapkan di UPT SKB Dinas Dikpora ini. Masih menurut sekelompok WB tersebut, dengan membayar sejumlah uang mereka langsung diterima di kelas XII dan dapat segera mengikuti UNPK tahun itu juga.

Demikianlah berbagai informasi yang aku peroleh seputar Pendidikan Non Formal cq Pendidikan Kesetaraan Kejar Paket.

Bulan Juni yang lalu tepatnya tanggal 23 sampai dengan 26 Juni 2009, aku mendapat tugas menjadi pengawas UNPK (Ujian Nasional Pendidikan Kesetaraan) Paket C Kota Denpasar. Pada setiap kelas dijaga oleh 2 orang pengawas. Aku bertugas dengan seorang Ibu. Ibu (namanya tidak usah aku sebutkan), beliau adalah seorang guru sebuah SMA Swasta di kota ini. Beliau mengajar bidang studi geografi, sama dengan mata pelajaran yang kupegang di kelas X Paket C “Saraswati” UPT SKB Dinas Dikpora Kota Denpasar.

Untuk mencairkan suasana dan mengakrabkan diri dengan beliau sebagai rekan pengawas, aku berbincang-bincang dengan beliau. Ketika kutanya mengapa beliau ikut menjadi pengawas dalam UNPK Paket C ini. Alasannya sederhana saja (sama dengan aku) yaitu karena beliau adalah salah seorang Tutor PKBM (tidak perlu aku tulis disini) di kota ini dan Dinas Dikpora Kota Denpasar menugaskannya menjadi pengawas UNPK Paket C.

Pembicaraanku dengan Ibu Guru yang merangkap tutor Paket C ini semakin nyambung saja karena profesi kami sama. Ketika obyek pembicaraan kami seputar proses belajar di kelompok belajar kami masing-masing, aku dibuat terkejut oleh perkataannya. Bagaimana tidak terkejut? Beliau bilang bahwa proses belajar mengajar kelas X, XI, dan XII di PKBMnya digabung menjadi satu dalam satu kelas.

Weleh, weleh, welel, aku langsung garuk-garuk kepala, “Lha kok digabung? Gimana cara Ibu mengajar?”, tanyaku.

Menurut beliau, penyelenggara mengambil cara ini karena WB yang diperoleh masing-masing kelas sangat sedikit sehingga terpaksa digabung. Apa pun alasannya, solusi yang diambil oleh penyelenggara tidak dapat dipertangungjawabkan.

Tak dapat kubayangkan bagaimana ya 3 kelas dengan tingkatan yang berbeda diajar dalam satu kelas dengan mata pelajaran yang sama? Hm, dimana logikanya ya? Mungkin ini cara mengajar kelas yang paling aneh di dunia.

Ketika jam istirahat setelah sesi pertama berakhir, aku sempat ngobrol dengan salah satu peserta UNPK. Peserta ini adalah seorang perempuan yang sudah berumah tangga dan bekerja disalah satu art shop kerajinan perak di desa Celuk Sukawati Gianyar. Dari pembicaraan itu aku kembali menemukan suatu kejanggalan. Ketika kutanya mulai kelas berapa dia belajar di Kejar Paket C? Dia bilang kelas XII. Dia sempat belajar di sebuah SMA di Jawa hanya sampai kelas XII dan belum lulus UNPK. Oleh karena suatu alasan (tidak dia jelaskan) dia terpaksa DO.

Ketika kutanya apakah ada bukti bahwa dia pernah belajar di kelas XII SMA? Dia tidak bisa menjawab pertanyaanku. Kutanyakan lagi secara lebih spesifik misalnya apakan dia masih punya raport kelas XII? Dia bilang sudah hilang. Lalu kutanyakan lagi, kalau tidak punya raport apakah dia sudah menyertai bukti lain misalnya rekomendasi dari SMAnya dulu? Dia tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyanku bahkan sikapnya agak gugup. Kukejar lagi dengan satu pertanyaan kunci, bagaimana dia bisa ikut belajar di PKBMnya sekarang jika tidak ada bukti-bukti kalau dia pernah duduk di SMA kelas XII? Dia bilang bahwa sudah diurus oleh yang punya PKBM (maksudnya tentu penyelenggara). Kok bisa? Bisa kok Pak asal bayar, katanya sambil menyebutkan sejumlah uang yang membuat aku sampai meleletkan lidah. Hm, jumlah yang cukup besar. Penyelenggaranya mencari kesempatan dalam kesempitan.

Apa yang ku uraikan diatas bukanlah sebuah prolog yang bersifat fiksi dan mengada-ada, tapi betul-betul nyata dan kudengar sendiri. Dari ucapan-ucapan para WB dan salah satu Tutor diatas aku berkesimpulan dan menunjukkan adanya indikasi bahwa ternyata masih ada segelintir penyelenggar Pendidikan Kesetaraan yang “nakal” dan tidak melaksanakan proses belajar mengajar sesuai dengan Kep. Mendiknas RI No. 086/U/2003 tentang penghapusan Pelaksanaan Ujian Persamaan (UPER).

Dengan SK Mendiknas tersebut, tidak ada lagi penyelenggara yang memakai pola lama dimana tidak adanya proses belajar mengajar di dalam kelas tapi langsung menyertakan WBnya dalam UNPK.

Lalu apa hubungannya dengan tema blogku kali ini? Ya, aku hanya mau mempertanyakan, kalau model pembelajaran yang ku uraikan dari interaksiku dengan insan PNF diatas baik dari pihak warga belajar maupun Ibu Tutor pendidikan kesetaraan Kejar Paket tersebut, timbul pertanyaan dibenakku : MASIH LAYAK DAN PANTASKAH KEJAR PAKET MENYANDANG SEBUTAN PENDIDIKAN KESETARAAN? Apanya yang setara? Kualitas atau kuantitas materi mata pelajaran, waktu, sarana/prasarana belajarnya atau apanya? Jujur saja, dari usia sasaran didik/WB kita di Pendidikan Kesetaraan Kejar Paket C “Saraswati” UPT SKB Dinas Dikpora Kota Denpasar selama ini memberi toleransi (kalau tidak ditoleransi nanti dianggap diskriminatif dan melanggar pasal 31 ayat 1 Undang-undang Dasar RI tahun 1945) tidak terbatas terhadap sasaran didik. Akan tetapi untuk proses belajar mengajar, materi pelajaran, kualitas tutor dan beberpa komponen pembelajaran lainnya sangat kami perhatikan. Kami tidak sampai kebablasan seperti apa yang dilakukan oleh beberapa penyelenggara Pendidikan Kesetaraan oleh masyarakat yakni PKBM tertentu di kota ini.

Sebagai lembaga Pendidikan Non Formal dan penyelenggara Pendidikan Kesetaraan milik pemerintah, UPT SKB Dinas Dikpora Kota Denpasar, sudah berusaha melaksanakan aturan dan prosedur yang ketat sesuai TUPOKSI penyelenggaraan Pendidikan Kesetaraan Kejar Paket. Sebagai lembaga pemerintah, kami berusaha maksimal untuk menjadi contoh di ranah PNF dalam mengelola Pendidikan Kesetaraan Kejar Paket secara professional dan dapat dipertanggungjawabkan hasil didikannya kepada masyarakat dan pemerintah kita.

Namun upaya yang kami lakukan akan menjadi sia-sia apabila tidak dibarengi oleh jajaran PNF cq lembaga-lembaga pengelola Pendidikan Kesetaraan lainnya. Berkat kerja keras pemerintah kita, Pendidikan Kesetaraan Kejar Paket akhir-akhir ini sudah semakin di percaya oleh masyarakat. Citra pendidikan kesetaraan Kejar Paket sudah semakin baik. Apalagi dengan adanya Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dimana Pendidikan Non Formal cq Kejar Paket sudah disejajarkan dan DISETARAKAN dengan Pendidikan Formal. Kejar Paket A setara SD, Paket B setara SMP dan Paket C setara SMA. Ini artinya PNF mendapat kepercayaan dari pemerintah sehingga mendapat pengakuan setara dengan Pendidikan Formal. Suatu berkah dari Tuhan dan suatu amanah pemerintah Indonseia yang harus segera dibuktikan dan dipertanggungjawabkan.

Kita juga harus ingat bagaimana gigihnya Mendiknas RI Bapak Prof. Bambang Sudibyo mengangkat dan menaikkan citra Pendidikan Kesetaraan ke level yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya. Bahkan untuk meningkatkan harkat dan martabat Pendidikan Kesetaraan Kejar Paket ini beliau sampai mengeluarkan pernyataan yang bernada ancaman kepada beberapa Perguruan Tinggi agar menerima WB Pendidikan Kesetaraan Paket C ini. Dan apabila ada diantara Perguruan Tinggi tersebut yang masih diskriminatif terhadap lulusan Paket C, tak segan-segan beliau akan mencabut izin operasional Perguruan Tinggi tersebut.

Nah, luar biasa bukan? Sepanjang ingatanku semenjak mengabdikan diri di lembaga pendidikan terutama sekalai Pendidikan Non Formal, belum pernah rasanya ada Menteri Pendidikan yang begitu perhatian terhadap Pendidikan Non Formal terutama Kejar Paket. Sudah selayaknya kita sebagai insan PNF dan penyelenggara Kejar Paket dengan segala upaya meningkatkan kualitas Pendidian Kesetaraan ini sebagai imbangan dan rasa terima kasih terhadap kegigihan Bapak Mendiknas dalam meningkatkan citra PNF khususnya Pendidikan Kesetaraan.Kejar Paket.

Namun apabila kita para insan PNF tidak bisa menjaga mutu dan menjaga citra Pendidikan Kesetaraan oleh ulah segelintir pengelolanya yang kurang professional dalam mengelola manajemen lembaganya, dikhawatirkan citra yang sudah susah payah dibangun akan kembali terperosok seperti yang terjadi pada kurun waktu sebelum reformasi.

Janganlah hanya karena ingin mendapatkan dana dari pemerintah dan meraup keuntungan sesaat dari masyarakat, kemudian beberapa penyelenggara Pendidikan Kesetaraan terutama beberapa PKBM di kota ini menghalalkan segala cara agar lembaganya tetap jalan. Membuat laporan ABS kepada pemerintah agar PKBM yang dikelolanya dapat kucuran dana dan masih dapat melanjutkan eksistensinya. Mengumpulkan WBnya dan mengadakan “Show Proses Belajar Mengajar Sesaat” untuk dipertunjukkan kepada para pejabat daerah (Kadis Dikpora Propinsi, Kadis Dikpora Kota/Kabupaten, Kasubdin PLSPO, BPKB) atau pejabat pemerintah pusat (PTK-PNF, PNFI, BPPNFI) tatkala para pejabat tersebut mengadakan pemantauan ke lembaga Pendidikan Kesetaraan bersangkutan. Dan begitu para pejabat dan tamu tersebut pergi, kemudian back to basic kepada kebiasaan aslinya.

Sikap dari para pengelola tersebut jelas-jelas merupakan sikap pembohongan kepada pemerintah dan pembodohan terhadap masyarakat. Jika pola pikir dan sikap mental seperti itu tidak segera diubah maka PNF cq Pendidikan Kesetaraan Kejar Paket hanya tinggal menunggu keruntuhannya saja.

Marilah kita para insan PNF terutama penyelenggara Pendidikan Kesetaraan Kejar Paket agar bekerja dengan penuh integritas, bertanggung jawab dan profesional dalam menyelenggarakan Pendidikan Kesetaraan ini. Tunjukkan sisi pengabdiannya kepada masyarakat, bangsa dan Negara. Jangan hanya mengeksploitasi sisi komersilnya saja. Ingat juga bahwa Pemerintah memberikan kepercayaan kepada masyarakat menyelenggarakan Pendidikan Kesetaraan ini untuk membantu warga masyarakat yang kurang mampu dan tidak medapat kesempatan memperoleh pendidikan di sekolah formal. Jadi jangan manfaatkan kebutuhan mereka untuk memperoleh layanan pendidikan dengan mengeruk keuntungan pribadi. Kalau bukan kita para insan PNF yang berdiri paling depan dalam membangun dan mengajegkan PNF, siapa lagi? Dengan demikian, PNF tentu tidak dipandang sebelah mata lagi dalam kontribusinya pada dunia pendidikan kita. Sehingga apa yang kita cita-citakan bersama sesuai dengan pembukaan Undang-undang Dasar 1945 yakni mencerdaskan kehidupan bangsa dapat diwujudkan. Dengan kecerdasan itu maka kesejahderaan bangsa pun dapat dicapai.

Tulisan yang kupublikasi di blog ini bukan maksudku meludah ke atas, bukan juga maksudku menggurui, tapi ini adalah auto kritik demi untuk kebaikan bersama. Kita harus mulai dan segera merubah paradigma serta sikap mental yang mengambil jalan pintas bersifat instant. Atau juga meng iming-imingi masyarakat dengan kemudahan memperoleh pendidikan dengan jalan pintas dan cepat dengan imbalan sejumlah uang atau tujuan lain misalnya untuk menjaring warga belajar yang lebih banyak. Suatu cara bersaing diantara penyelenggara Pendidikan Kesetaraan Kejar Paket yang sangat tidak sehat serta dapat mengganggu proses belajar yang baik dan benar dari penyelenggara yang jujur dan professional. Dan pada akhirnya akan mencoreng dan merusak citra Pendidikan Kesetaraan Kejar Paket di mata masyarakat, bangsa dan Negara.

Sekali lagi kusebutkan bahwa perbuatan para penyelenggara Pendidikan Kesetaraan yang “nakal” itu adalah pembehongan kepada pemerintah dan pembodohan kepada masyarakat. Tidak heran jika cara-cara seperti itu adalah salah satu faktor yang ikut memberi kontribusi dan membuat SDM bangsa kita hingga kini peringkatnya masih seputar 107, 111 bahkan pernah 117 dari 170 negara anggota PBB. Indek pembangunan manusia (Human Development Index) merupakan peringkat pembanguan manusia yang dikeluarkan secara berkala oleh UNDP salah satu dari badan PBB. Kalau kita mengacu pada HDI maka kita kalah jauh dibandingkan Negara-negara tetangga kita di kawasan Asia Tenggara. Ini menurut survey yang dilakukan UNDP, bukan mengada-ada.

Produk manusia terdidik yang dihasilkan dari cara-cara jalan pintas untuk kepentingan dan keuntungan sesaat dari beberapa penyelenggara tersebut berdampak tidak baik untuk jangka panjang. Apa yang dapat diharapkan dari output pendidikan seperti itu dalam menyongsong era globalisasi yang penuh daya saing ini?

Kembali kepada tema tulisan ini, yang kukritisi disini terhadap para penyelenggara Pendidikan Kesetaraan ini tentu tidak kugeneralisasi. Masih banyak penyelenggara Pendidikan Kesetaraan yang melaksanakan proses belajar mengajar dengan benar sesuai dengan prosedur. Bagi para penyelenggara Pendidikan Kesetaraan yang “salah jalan”, sebaiknya segera bertobat dan kembali ke “jalan yang benar”. Tinggalkan pola pikir yang sudah ketinggalan zaman itu dan segeralah melakuka reformasi diri. Kita ini punya hati nurani, bersihkanlah hati nurani ini dari “debu-debu” tersebut agar ada niat “meyadnya” demi kemajuan dunia pendidikan kita cq Pendidikan Kesetaraan Kejar Paket.

Jika masih membandel dan melanjutkan cara-cara seperti itu nampaknya pemerintah perlu melakukan tindakan tegas yang bersifat shock therapy seperti mancabut izin operasionalnya, tidak memberikan segala bentuk bantuan baik yang bersifat teknis maupun administrasi. Atau pun tindakan yang besifat membina, Melaksanakan sertifikasi terhadap para penyelenggara Pendidikan Kesetaraan. Hal ini untuk menentukan layak tidaknya suatu lembaga untuk melaksanakan tugas sebagai penyelenggara Pendidikan Kesetaraan Kejar Paket.
Kuakhiri tulisan blog ini dengan memetik ucapan bijak, Katakanlah kebenaran meski pun itu pahit.

Rabu, Juli 15, 2009

KEPUASAN BATIN SEORANG TUTOR


“Selamat Sore Pak Tutor!”, itulah kata-kata yang selalu kudengar setiap malam minggu (hari sabtu jam 18.00 wita).

Kata-kata itu diucapkan serempak oleh sekitar 70 warga belajar Kejar Paket C “Saraswati” dimana aku mengabdikan diriku menjadi seorang Tutor merangkap wali kelasnya.

Tutor adalan sebutan guru pada Pendidikan Non Formal atau Pendidikan Kesetaraan Kejar Paket. Apakah itu kejar Paket A, B, atau C.

Sebagai PNS yang bertugas di jajaran PNF (Pendidikan Non Formal), jabatanku adalah tenaga fungsional yang bertugas di Sanggar Kegiatan Belajar yaitu sebuah lembaga Unit Pelayan Teknis (UPT) Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kota Denpasar. Atau juga sering disebut Pamong Belajar. Dan aku adalah Pamong Belajar Penyelia. Suatu jabatan untuk Golongan III/d non sarjana.

Salah satu Tugas Pokok dan Fungsi (TUPOKSI) Pamong Belajar adalah melaksanakan proses belajar mengajar pada Pendidkan Non Formal.

Di UPT SKB Kota Denpasar ini, aku ditunjuk oleh Penyelenggara cq Kepala SKB mendampingi adik-adik kita warga belajar Kejar Paket C kelas 1 atau kelas X.

Dalam melaksanakan tugasku, aku enjoy saja kendati saat ini para tutor Paket C di SKB ini tidak mendapat honor lagi sejak awal tahun 2009 ini.

Ini dapat aku maklumi karena Paket C bersifat swadaya (mungkin kalau kelak pemerintah melaksanakan wajib belajar 12 tahun, saat itulah Paket C akan memperoleh kucuran dana dari pemerintah RI).

Yah, anggap saja meyadnya dan ini sesuai dengan ajaran agama yang kuanut seperti tersirat dalam kitab suci Bagawad Gita Bab IV tentang Jnãna Yoga tepatnya sloka 33 sbb:

Srayãn draryamayã yajnay
Jnãnayajnah paramtapa
Sarnam karmã ‘kulam pãrtha
Jnãna perisamãpyate

Artinya :

Persembahan berupa ilmu pengetahuan
Lebih bermutu dari pada persembahan materi
Dalam keseluruhan kerja ini
Berpusat pada ilmu pengetahuan

Atau dalam bahasa kesehariannya adalah :
Jangan berikan ikan, lebih baik berikan kail.

Menjadi Tutor adalah tugas mulia karena dapat mengangkat nasib masyarakat yang terpinggirkan dalam bidang pendidikan.

Ya, warga belajar Kejar Paket adalah warga masyarakat yang terpinggirkan karena beberapa faktor antara lain faktor ekonomi, faktor geografis (jauhnya letak sekolah seperti yang dialami oleh warga masyarakat pedalaman dan sukun terasing di beberapa daerah Indonesia), faktor kelalaian warga bersangkutan atau keluarganya (salah pergaulan) dan beberapa faktor lain yang menyebabkan terhambatnya atau drop outnya mereka dari komunitas Pendidikan Formalnya.

Kini aku baru merasa ada kebanggan menjadi seorang Tutor. Waktu masih muda (mungkin waktu SD), bagaimana guru-guruku selalu berkata, Bapak (atau Ibu) guru merasa begitu bangga jika murud-muridnya berhasil menjadi “orang”. Padahal aku tahu waktu jaman itu penghasilan guru sangatlah jauh dari pantas utuk menunjang kehidupan keluarganya. Toh beliau tetap bangga menjadi guru.

Kini setelah berkecimpung pada profesi yang hampir sama (bedanya guru mengajar di penididkan formal sedangkan tutor mengajar di pendidikan non formal) aku rasakan apa yang dirasakan oleh Bapak dan Ibu guruku itu.

Ya, kebanggaan seorang pendidik atas berhasilnya sang anak didik tidak dapat diukur oleh uang. Lebih-lebih bagiku yang berkecimpung dalam Pendidikan Non Formal ini karena yang ku urusi adalah warga masyarakat yang bermasalah. Ya masalah ekonomilah salah satu faktornya sehingga mereka tidak dapat masuk ke sekolah format, juga masalah kelewatan umur dsbnya.
Ya, hanya pendidikan non formalah yang mampu menampung mereka karena faktor-faktor tsb. diatas.

Pendidikan Non Formal tidak mengenal diskriminatif. Misalnya diskriminatif terhadap kemampuan ekonomi warga masyarakat, diskriminatif terutama juga pada usia belajar sasaran didik. Padahal dalam Undang-Undang Dasar 1945 tidak tercantum batasan usia peserta didik. Yang tersirat pada ayat-ayat UUD 1945 ini malah menyangkut hak setiap warga negaranya memperoleh pendidikan bahkan wajib.

Misalnya pasal 31 ayat 1 berbunyi; Setiap warga Negara berhak memperoleh pendidikan. Kemudian ayat 2 berbunyi ; setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Selanjutnya pada pasal 3 tersirat bahwa pemerintah meyelenggarakan pendidikan beserta sistem pendidikannya untuk meningkat kualitas hidup warga negaranya.

Nah, dalam pasal-pasal yang menyangkut pendidikan itu jelas tidak ada ayat-ayat yang diskriminatif, bukan?. Tapi kenyataannya masyarakat yang tidak mampu secara ekonomi dan juga lewat umur tidak dapat di tampung dalam pendidikan formal. Sehingga sebagai alternatifnya kitalah insan pendidikan non formal yang menangani mereka. Itulah yang kumaksud salah satu unsur bahwa warga yang kita tangani di pendidikan non formal (cq Kejar Paket) adalah warga masyarakat sasaran didik yang bermasalah.

Namun justru disinilah tantangannya. Mendidik warga masyarakat yang bermasalah tentu banyak tantangannnya. Namun bila mampu mengatasinya kita selaku pendidik (Tutor) sangatlah bangga. Kita berhasil menyelamatkan mereka yang tadinya sudah tidak ada harapan menjadi punya harapan dalam bidang pendidikan.

Kita berhasil mendaur ulang “sampah” yang tadinya tidak berguna menjadi sesuatu yang berguna. Nah, bukankah ini sangat membanggakan sekali?
Aku masih ingat beberapa tahun yang lewat. Pada saat itu ada suatu wacana politik dimana para caleg harus memiliki syarat “serendah-rendahnya berpendidikan SMA”.
Wacana ini menyebabkan lembaga pendidikan dimana aku mengadikan diriku menjadi tutor diserbu oleh para caleg yang rata-rata sudah lewat umur ini.

Itu hanyalah sebagian kecil contoh bagaimana peranan pendidikan non formal itu penting juga dalam meningkatkan kualitas pendidikan (SDM) serta kualitas harga diri masyarakat dalam bidang pendidikan.

Kalau saja tidak ada pendidikan non formal ini entah bagaimana ya nasib para caleg tersebut.
Sekali lagi, aku bangga menjadi seorang Tutor. Dari segi materi memang tidak dapat diharapkan, tetapi kepuasan batin yang kuperoleh tak dapat dinilai dengan materi.

Suatu hari ketika aku makan di warung nasi, tiba-tiba seorang pemuda mendekatiku sambil mengulurkan tangannya bersalaman. “Pak masih ingat dengan saya?”. Kuamati wajahnya sambil mengingat-ingat. Namun ingatanku akan pemuda ini tak juga muncul-muncul.

“Saya murid Bapak”, katanya lebih lanjut. Lalu ia memperkenalkan namanya. Ternyata ia adalah muridku angkatan ke 2. kalau tidak salah dia tamatan tahun 2004. Ia bercerita bahwa kini ia sudah kuliah disebuah Perguruan tinggi di kota ini. Yang lebih membuat aku terharu ternyata ia sudah diangkat menjadi PNS bahkan satu instansi induk lembaga tempat aku bekerja. Hm, muridku ini kini sudah jadi “orang”. Sudah kerja, sambil kuliah lagi.

Tak terasa mataku menjadi basah saking terharunya.
Mantan muridku ini yang ketika melamar jadi warga belajar di Kejar Paketku umurnya sudah cukup melewati batas ketentuan kalau ia belajar di sekolah formal (SMA). Untung ada Kejar Paket C, kalau tidak ya sampai disana saja nasibnya.

Jadi sekali lagi, orang-orang seperti muridku ini (yang sudah tidak ada harapan lagi diterirama di sekolah formal) nasibnya terselamatkan berkat adanya pendidikan kesetaraan Kejar Paket ini. Ya, inilah kepuasan batin seorang Tutor ketika muridnya berhasil menjadi "orang".
Sudah ratusan warga belajar Kejar Paket yang berhasil kami luluskan melalui Ujian Nasional. Diantaranya ada yang melanjutkan ke perguruan tinggi. Ada yang bekerja dan berbagai profesi lainnya.

Kita harapkan masyarakat dapat menghargai pendidikan non formal ini. Dan arah kesana nampaknya sudah mulai berhasil. Kini masyarakat sudah tidak gengsi lagi untuk belajar di Kelompok-kelompok belajar baik Kejar Paket A, B, dan C.
Marilah kita KEJAR ilmu dengan belajar di KEJAR PAKET. Di KEJAR kita bisa beKErja sambil belaJAR. KEJAR, kejarlah ketertinggalanmu dalam bidang pendidikan.

Selasa, Juli 14, 2009

CURAHAN HATI SEORANG PNS BAG. 2

DESIPLIN

Suatu siang dikantorku kedatangan seorang SPG (Sales Promotion Girl). SPG ini sebenarnya sudah beberapa kali ke kantorku. Mungking dagangan yang dibeli pada kunjungan sebelumnya masih utuh, maka teman-temanku tidak ada lagi yang berminat membeli. Lagian barang-barang yang diwarkan ya jenis-jenis itu saja seperti obat urut, madu, obat luka dari produk perusahaan yang sama.

Hanya karena kasihan saja, aku sudah 2 kali membeli produk yang sama. SPG itu penampilannya agak kumuh, salah satu panca indranya buta. Rambutnya rada awut-awutan, sekujur tubuh berkeringat, pakaian lusuh yah penampilan yang kurang segarlah. Aku memaklumi ini karena SPG ini harus berjalan keliling dari rumah ke rumah, dari kantor satu ke kantor lainnya hingga sampailiah ke kantorku.

Membandingkan dengan SPG itu, aku sering bersyukur karena Tuhan memberkahiku menjadi sorang PNS.

Sebagai PNS, tentu aku tidak ditargetkan untuk mengejar setoran seperti SPG itu. Yang penghasilannya dari persentase dari barang yang berhasil dijual.

Hm, sehari berapa ya dia mendapatkan penghasilan. Belum tentu barangnya laku karena sekarang banyak SPG-SPG yang penampilannya cantik dan sexy dengan berbagai gaya cara menawarkan barangnya batinku.

Belum lagi dia harus makan dan minum dan mungkin juga biaya transportasi. Berpikir seperti itu, sekali lagi aku mensyukuri tentang profesiku sebagai PNS. Dengan pikiran itulah aku berusaha tekun bekerja mengabdikan diri kepada nusa dan bangsa.

SPG yang ku ilustrasikan di atas hanyalah salah satu contoh saja. Masih banyak lagi orang-orang yang menjajakan berbagai produknya ke kantorku. Ada dagang pisau, dagang radio, dagang pakaian dsbnya. Mereka begitu enjoy masuk ke dalam kantorku karena di pintu tidak ada papan larangan. Di kantor lain akan ada tulisan : “MAAF KAMI TIDAK MEMBERI SUMBANGAN”, atau “PARA PEDAGANG DILARANG MASUK” dsbnya.

Kembali ke pokok persoalan. Bercermin dari upaya para pedagang asongan tersebut sekali lagi aku bersyukur menjadi PNS oleh karena itu aku menjalankan tugasku sebaik dan sedisiplin mungkin. Mulai dengan bekerja jam 07.00 sampai jam pulang jam 15.30 (bahkan aku sering masih di kantor sampai jam 17.00 bahkan lewat tentu saja menyelesaikan tugas-tugas kantorku).

Namun yang membuatku sedih ternyata masih banyak yang tidak dapat mensyukuri diri menjadi PNS. Kadangkala aku dan ada seorang temanku seperti aku, kita berdua saja yang masih di kantor sampai jam pulang yakni jam 15.30. Sedangkan rekan-rekan yang lainnya mungkin sudah pada ngorok atau mungkin juga sedang menjalankan bisnisnya di luar profesi PNSnya.

Tidak saja pulang mendahului, masuk kerja pun lebih siangan. Ada yang masuk kerja sudah jam 09.00 bahkan ada yang jam 11.00 lagi. Padahal rumah mereka ada yang hanya berjarak 500 meter saja dari kantor kami. Kemudian pulang mendahului dari jam kerja yang sudah ditentukan pemerintah yakni jam 15.30. Ah, betul-betul sikap mental yang tidak terpuji. Bagaimana bangsa ini bisa maju kalau abdi negaranya seperti ini?

Aku pernah lihat berita di sebiah stasiun televisi tentang penerimaan PNS.
Sebuah instansi pemerintah membuka lowongan PNS. Calon PNS yang di butuhkan hanya beberapa orang saja, tapi yang melamar sampai ribuan orang. Dalam memasukkan lamaran terjadilah antrean yang maha panjang buanget. Karena banyaknya pelamar, maka waktu penerimaan lamarannya pun sampai sore.

Yang membuat aku geleng-geleng kepala adalah, beberapa pelamar malah ada yang sampai buka tenda dan menginap di halaman instansi bersangkutan. Dan ke esokan harinya masih subuh sekitar jam 4 pagi beberapa diantaranya sudah ada yang berdiri di depan loket tempat memasukkan lamaran.

Disini aku gambarkan seperti itu (dan ini memang kenyataan) karena betapa antusiasnya pelamar untuk melamar menjadi PNS. Dengan semangat melamar seperti itu, aku pikir kelak seandainya mereka diterima menjadi PNS, apa semangat seperti itu akan masih ada dalam dirinya?

Kalau aku melihat mentalitas PNS di sekitar tempat aku kerja, aku sering dibuat kecewa. Dari segi hak semangat yang sama yang diperlihatkan oleh pelamar PNS seperti yang kuilustrasikan diatas masih ada. Misalnya saja hak akan naik pangkat (dikantorku sebagian besar PNS nya adalah tenaga fungsional sehingga untuk naik pangkat mereka menggunakan system kredit seperti guru-guru sekolah formal).

Dalam menuntut haknya, mereka sangatlah bersemangat dan menggebu-gebu. Bila biasanya yang bersangkutan masuk kerja jam 09.00 bahkan jam 11.00, namun saat mengerjakan segala persiapan administrasinya, mereka dapat masuk kerja jam 06.30 pagi. Mereka akan ngotot dan berani mengorbankan waktunya sampai sore bahkan tak jarang sampai malam di kantor.
Itu hanyalah salah satu hak yang mereka tuntut demi kepentingannya sendiri. Hak-hak lainnya masih banyak seperti kenaikan gaji berkala, insentif dsbnya.

Namun tatkala saatnya mereka melaksanakan kewajibannya, disinilah kelihatan sikap mentalnya yang sangat berlawanan dengan sikap saat menuntut haknya, mengecawakan sekali. Ada yang malas-malasan, ada yang beralasan akan mengantar/menjemput anaknya yang sekolah atau pulang sekolah, ada yang ini itu dsbnya. Yang jelas, mereka meninggalkan tugas pokoknya sebagai PNS dan lebih mementingkan tugas pribadinya. Jadi, apa artinya sumpah pegawai ketika mereka dilantik sebagai pegawai atau pejabat kalau mentalisanya hanya seperti itu?

Mengapa mereka tidak mampu memberi kontribusi yang seimbang (apalagi lebih) atas hak yang telah mereka terima? Bukanlah pemerintah sudah menaikkan gaji PNS? Memberikan insentif setiap bulan? Memberi gaji ke 13 setiap tahun? Dan berbagai tambahan diluar gaji yang sah sesuai dengan aturan pemerintah yang berlaku? Kok masih saja tidak bisa memberikan kontribusi yang baik kepada pemerinrtah dan Negara?

Lihatlah para SPG yang sudah di ilustrsikan pada awal tulisan ini? Mereka bekerja begitu berat untuk memperoleh sesuap nasi untuk keperluan keluarganya. Ingat juga saat-saat melamar menjadi PNS seperti terlukiskan diatas, mengapa kita tak sesemangat itu?
Demi menjalani profesi yang kita kejar sepeti diatas, seharusnya dalam melaksanakan pengabdian pun kita berani pasang tenda dan bermalam di kantor. Tapi ah sungguh mengecewakan.

Tapi apa yang kutulis sebagai curhatku ini bukan kutujukan kepada semua PNS. Tidak semua PNS seperti itu. Masih banyak yang baik dan jujur serta berdisiplin. Seperti pelajaran kearifan local warisan leluhur kita, bahwa di dunia ini selalu ada dua unsur yang bertentangan satu dengan lainnya. Ada baik ada buruk, ada siang ada malam, ada rajin ada malas dstnya.

Demikian hal nya dengan PNS. Ada yang rajin sudah tentu ada yang malas. Ada yang jujur ada yang tidak jujur dstnya. Marilah kita bersyukur, semoga dengan bersyukur atas kemurahanNya, bersyukur karena keadaan kita lebih baik dibandingkan para SPG dan pedagang acung ataupun profesi-profesi lain yang tidak senyaman profesi PNS, supaya kita segera sadar dan kemudian dapat bekerja dengan lebih baik dan berdisiplin.

Kututup saja curhatku ini dengan ucapan-ucapan bijak yang pernah kudengar : “JANGANLAH KAMU MELIHAT ORANG BERMOBIL KETIKA KAMU HANYA BERSEPEDA MOTOR. TAPI LIHATLAH MEREKA YANG BERSEPEDA GAYUNG. JANGANLAH KAMU MELIHAT ORANG YANG BERSEPEDA MOTOR TATKALA KAMU BERSEPEDA GAYUNG, TAPI LIHATLAH MEREKA YANG JALAN KAKI. JANGANLAH KAMU LIHAT ORANG YANG BERSEPEDA GAYUNG TATKALA KAMU BERJALAN KAKI. TAPI LIHATLAH MEREKA YANG CACAT TAK BERKAKI”.

Kusadari mutu tulisanku sangat rendah. Mungkin tak layak dikonsumsi oleh para cerdik pandai. Namun aku akan tetap menulis di blogku ini untuk menyalurkan uneg-uneggu. Kendati untuk itu aku menjadi bahan tertawaan ataupun olok-olokan. Sekian sampai Jumpa.